Bab 27

3243 Kata
Novan kembali ke kamarnya setelah selesai makan malam. Ia mengunci kamar sebelum ayahnya naik ke atas untuk memarahinya karena tidak membantu ibunya merapikan sisa makan malam. Novan mendengus. Dih, memangnya dia siapa? Pembantu? Dia tidak akan membantu apapun untuk ibunya, kecuali yang berhubungan dengan Mikel. Novan duduk di meja belajar dan berputar di kursi komputernya. Samar- samar ia mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. Novan membuka laptonya dan memakai headset. Pasti ayahnya yang naik ke atas untuk memarahinya. Terdengar suara pintu di gedor, tapi Novan menggubrisnya. Tidak akan selesai kalau meladeni ayahnya yang marah karena hal sepele. “Novan! Buka pintunya!” Pinta ayah Novan. Novan tidak menggubrisnya. “Hei Novan! Buka pintunya! Jangan jadi anak kurang ajar kamu ya!” Ayah Novan menggedor pintu kamarnya dengan kencang. Novan tidak memperdulikannya. Ia malah makin mengencangkan volume laptop dan terbuai dalam lantunan iringan lagu rock metal. Sekalian saja gendang telinganya rusak, jadi dia tidak perlu lagi mendengar omelan ayahnya yang tidak berujung hanya karena hal sepele. “Novan! Hei! Buka pintunya! Dasar anak durhaka! Kamu memang anak kurang ajar ya Novan! Nggak denger apa kata orangtua! Mau jadi apa kamu hah nantinya? Jadi gelandangan aja sana, nggak guna kamu hidup tapi malah ngelawan orangtua seperti ini!” Novan mengerlingkan matanya. Terserah. Apapun yang ayahnya katakan, terserah. Novan tidak peduli. “Awas saja ya kamu Novan. Masih kecil tapi udah kurang ajar seperti itu,” ancam ayah Novan. Tak ada lagi suara gedoran pintu, berganti dengan suara langkah kaki yang menuruni tangga. Novan mematikan lagunya dan melepas headset. Langkah itu semakin menjauh. Novan menghela napas lega. “Mau apapun yang papa bilang, aku nggak peduli sih. Sekalian aja papa usir aku dari rumah ini, aku syukur banget malah kalau kaya gitu,” gumam Novan. Terdengar notifikasi chat beruntun dari smartphone. Novan mengeceknya. Ada banyak chat masuk dari Andi. Andi Van NOVAN Btw tadi kita di kasih tugas kelompok. Kita sekelompok. Ini tugasnya *sent file* Novan Andriansyah Thanks Ndi Kita berdua aja? Kapan kumpulnya? Andi Iya satu kelompok berdua doang Kumpulnya senin, katanya Mau kapan bikinnya? Dimana? Novan Andriansyah Nyicil aja dah buatnya Agak banyak kan? Besok nyicil kerjain di sekolah, bisa? Sabtu mau rapat sama anak danus. Andi Nggak masalah sih, Seberapa siap aja besok Terus kapan kita lanjutin? Dimana? Novan Andriansyah Nanti aja kita atur tempat. Besok ya. Pagi kerjainnya. Datang cepet. Andi Oke. Novan membuka file yang di kirim oleh Stevan. Hem, tugas Bahasa Indonesia. Membuat makalah dengan tema bebas. Untung ini tugas untuk berdua, karena akan ribet kalau mengerjakan makalah dengan banyak orang. Notifikasi chat beruntun kembali masuk ke smartphone. Kali ini dari grup panitia Dana Usaha. Kirana Lusa ya. Ngumpul di rumah Talita. Oh ya, sekalian kumpulin dana buat beli bahannya ya. Gisel Loh Nggak di tanggung OSIS kir? Kirana Hah? Manaada. Ya nyari dana sendirilah. Kumpulin aja dah minimal seorang 10k gitu. Udah dapet buat modal, agaknya. Karyo Takutnya 10k nggak cukup Kir 15k aja kumpulin, atau 20k juga bisa. Buat jaga- jaga. Gisel Buset dah banyak amat. Mau bikin gorengan premium apa gimana nih ceritanya? Karyo Jaga- jaga aja sih, takut nggak cukup. Kirana Boleh juga. Soalnya kan harga bahan makanan sekarang lagi mahal ya. Nggak premium, semi premium kayaknya @Gisel Demi menyukseskan acaranya kita. Gak apalah. Gimana yang lain? Setuju nggak? Gisel Ini beneran nggak ada dana sikit pun dari OSIS? Karyo Coba kamu tanyain dulu dah ke Valdi. Kirana Ya udah dah bentar. Aku coba tanya Kalo ada ya bagus, kalo nggak ada ya siap-siap aja ya gais. Dewi Ke rumah Talita jam berapa kak? Kirana Bisanya jam berapa? @Taal Taal Anu kak … Maaf kak sebelumnya. Mendadak ini. Mama bilang nggak bisa buat di rumah. Soalnya mau ada arisan, yang sebelumnya punya hajat mendadak ada sanaknya meninggal. Maaf kak, mama juga baru bilang sekarang. Kirana Walah Yaudah dah, nggak apa. Mendadak juga. Jadi mau di rumah siapa nih? Dewi Rumahku aja kak. Kebetulan lagi sendiri, mama papa lagi pergi dinas. Kirana Oke. Nanti kamu share lokasi aja ya. Kamu jam berapa bisanya? Dewi Jam berapa aja sih bisa kak, Asal nggak malem. Jam 11 aja gimana? Gisel Boleh juga Fioo Halo, sori baru nimbrung. Jadinya di rumah Dewi ya? Oke oke. Jam 11 Karyo Oke jam 11. Di announce coba. Biar pada ingat Nih KUMPUL DI RUMAH DEWI, HARI SABTU JAM 11 SIANG. NANTI DI SHARELOC RUMAHNYA. Tolong di announce Kirana Udah. Oke makasih guys. Ini aku coba nanya Valdi, nanti aku konfirmasi lanjutannya gimana. Bye. Novan mengambil kalendernya dan melingkari dengan spidol hitam di hari sabtu, lalu menuliskan pemberitahuan di sampingnya. ‘RUMAH DEWI, JAM 11 SIANG.’ Setelah itu, dia kembali menaruh kalender di atas meja. Smartphone berdering kencang. Ada telpon masuk dari .. Karyo? “Ya, halo Yo ..” “Halo Van. Jadi gimana nih?” “Gimana apanya Yo?” Novan mengernyitkan dahi. “Itu, yang masalah joki tugas itu. Jadi nggak? Ini joki tugas apaan memang?” “Tugas apa aja sih, selama bisa di bantu dan mau di bayar.” “Terus, patokan harganya berapa? Siapa dong yang ngerjain tugasnya? Kalo cuma kita berdua bakalan capek kayaknya sih.” Novan terdiam sesaat. Benar juga kata Karyo. Kalau dia buka joki dan banyak peminat, mereka tidak akan kuat mengerjakannya hanya berdua saja. “Hem, bener juga sih katamu. Atau, kita batasin aja kali ya? Sehari cuma nerima 4 tugas, misalnya. Jadi kitanya nggak keteteran gitu.” “Boleh juga kalo bisa gitu. Terus nanti gimana kasih tau ke mereka kalo ada buka joki tugas?” “Kita sebarin dari mulut ke mulut aja. Tapi kita harus sembunyiin identitas kita. Misal, kalo mau ada joki tugas tuh harus taruh barangnya dimana gitu. Nanti kita ambil di sana dan balikin lagi di sana. Gimana?” “Boleh juga. Ide bagus. Oke dah, aku tunggu perkembangannya. Kamu yang buat deh price list berapa, biar lebih jelas. Tapi jangan kemahalan kali juga sih, entar malah nggak ada yang mau pakek jasanya.” “Iya iya, aman. Beres itu mah. Nanti aku hubungi lagi deh ya.” “Oke, kabarin aja.” Novan menutup telpon. Ia selonjor di kursi. Joki tugas ya … sebenarnya ini agak tricky sih, bakalan berabe kalo semisal ketahuan. Padahal itu hanya ide isengnya saja, tapi dia tidak menyangka kalau Karyo mau melakukannya. Mungkin dia tergiur ya dengan hasil yang di dapatkan. “Hem, kalo jangan sehari nerima 4 tugas dah. Walaupun cuma berdua, bakal repot juga kan.” Novan mengambil kertas dan pulpen. “Hem, kayaknya lebih efisien kalau seminggu itu nerima 6 tugas, minimal. Terus tugasnya jangan yang di situ mau kumpul di situ minta joki, minimal tugasnya di kumpul minggu setelahnya. Makin lama di kumpulin, bakalan lebih mahal aja apa tarifnya. Hem, tarif tergantung susah tidaknya tugas, tapi harus ada tarif kasarnya sih biar bisa ada gambarannya. Lalu … tarifnya … paling murah lima puluh ribu aja kali ya, paling susah sampai tiga ratusan ribu. Tergantung tugasnya tulis tangan atau di ketik juga. Lalu …” Novan menuliskan ide- idenya di kertas. Ia mangut- mangut. “Hem, ini bisa nih. Oke. Kayaknya udah bisa bilang ke Karyo.” Novan mengambil smartphone dan menelpon Karyo. Nada panggilan masuk terdengar dari ujung sana. “Ya, hallo Van.” “Hallo Yo. Aku udah ada kasarannya buat joki tugas, kurang lebih kayak ginilah.” “Kayak gimana tuh Van?” “Bentar, aku kirim dulu ya. Aku kirim ke chat ya.” “Oke oke. Aku matiin ini ya.” Karyo mematikan telponnya. Novan memotret kertas coretannya dan mengirimkannya pada Karyo. Ia menjelaskan juga secara singkat tentang rencananya. Karyo Oh, udah bisa tuh. Udah oke. Besok kita coba cari tempatnya ya, buat transaksi tugas. Senin kita umumin. **** Kicau merdu burung terdengar di luar sana, bersamaan dengan terbitnya matahari. Membangunkan seluruh mahkluk di bumi untuk memulai aktivitas. Tapi sepertinya matahari gagal membangunkan seseorang pagi ini. Novan sudah bangun sebelum matahari terbit. Saat ini, dia sudah selesai mandi dan bersiap memakai seragam. Tapi smartphone berdering kencang mengalihkan perhatiannya. Stevan menelponnya. “Hallo Stev? Ada apa? Tumben nelpon,” tanya Novan. “Udah minum obatnya belum?” Tanya Stevan di ujung sana. Novan berdecak. “Ampun deh Stev, masih pagi banget juga. Belum juga ini sarapan, udah di tanyain soal minum obat. Obatnya di minum setelah makan kan?” Tanya Novan. Stevan mengangguk. “Ya kan, aku ingetin. Kamu juga pasti nggak pasang pengingat toh. Mana mau kamu minum obat,” jawab Stevan. Yah …. “Memang nggak salah sih. Toh, untuk apa minum obat, kan aku nggak sakit. Nggak demam. Jadi buat apa?” “Buat kebaikanmu. Udah minum aja. Pokoknya habis sarapan harus kamu minum loh ya. Awas kalo engggak.” “Iya iya, bawel amat kamu Van kayak emak-emak. Nih telpon aku cuma buat ingetin minum obat aja?” Tanya Novan. “Ya, emang khusus untuk itu.” “Mental emak- emak si Stevan ini memang.” “Oh ya, nih maaf sebelumya, aku nggak bisa antar kamu ke sekolah pagi ini. Ini aku mau berangkat, soalnya ada kerjaan yang belum beres. Sori ya. Kamu berangkat sendiri nggak apa kan?” “Ya, nggak apa. Sori ya Van.” “Sori kenapa?” “Karena ngerepotin kamu kemarin dan kerjaan kamu jadi keteteran kayak sekarang.” “Lah, nggak nerepotin kok. Kamu nggak ngerepotin, memang maunya aku buat bantu kamu. Jangan merasa di repotin ya?” “Iya. Tapi maaf sekali lagi ya.” “Gak apa. Santai aja. Eh sori, aku pergi duluan ya. Udah waktunya nih. Bye Van! Hati- hati ya pergi sendiri. Obat jangan lupa di minum itu!” “Iya iya. Hati- hati kamu.” Stevan mematikan telpon. Novan menghela napas panjang. Ia melempar smartphone begitu saja ke atas ranjang. Ia memakai seragamnya dan bercermin untuk merapikan penampilannya. “Oke, beres.” Novan membuka kotak cemilannya dan mengambil beberapa bungkus cemilan di sana. Ia mengambil cemilan yang menurutnya agak mengenyangkan karena dia tidak akan sarapan. Dia tidak ingin melihat wajah ayahnya setelah semalam menggedor pintunya dan mengucapkan sumpah serapah. Ia membuka sebungkus roti coklat dan memakannya. Ya, ini bisa mengganjal perutnya untuk sesaat. Ia melirik jam wekernya. Berangkat sekarang sepertinya lebih baik. Memang masih terlalu cepat, tapi itu lebih baik daripada dia harus berpapasan dengan ayahnya. Novan membuang bungkusan roti coklat itu ke tong sampah dan meminum s**u kotak yang ia simpan. Ia membuka pintu kamar dan melongokkan kepala. Oke aman. Sepi. Tidak ada siapapun. Bahkan ibunya belum bangun untuk siapin sarapan. Ya, ibunya memang sering bangun telat. Ia mengendap- endap menuruni setiap anak tangga. Ia mengambil sepatu sekolahnya di rak sepatu. Ia membuka pintu rumah perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Ia memakai sepatu di teras dan membuka pintu pagar begitu saja, lalu pergi ke depan lorong untuk menunggu angkutan umum. **** Oke, angkutan umum bukan opsi terbaik menurutnya. Terlalu ramai dan padat. Ia takut tidak bisa mengendalikan dirinya seperti di rumah sakit waktu itu. Akhirnya Novan memilih untuk pergi dengan ojek online saja. Lebih aman dan lebih cepat tentunya. Motor ojek online berhenti di lampu merah. Terdengar suara klakson motor di sebelahnya. “Woi Van!” Panggil seseorang di sebelahnya. Novan menoleh. Ia mengernyitkan alisnya. Orang itu menaikkan kaca helmnya. Novan terbelak kaget. “Loh, Andi?” Andi nyengir lebar. “Eh, kamu pergi sama aku aja. Nanti suruh abang ojolnya berhenti di simpang!” Ajak Andi. “Nggak usah, kamu duluan aja. Nggak apa.” “Oh, yaudah kalau begitu.” Lampu merah berubah jadi hijau. Andi langsung memutar gas motornya. “Duluan ya!” Satu persatu motor kembali jalan setelah lampu berubah menjadi hijau. Jalanan mulus kembali mereka lewati. “Mas, mas,” panggil abang ojek online setengah berteriak. “Ya bang, kenapa?” Tanya Novan. “Mas kenapa tadi nggak jadi pergi dengan teman mas? Kenapa tetap dengan saya?” “Ya, saya kan udah duluan pesan bapak. Nggak enak saya minta bapak berhenti di pinggir jalan. Mending bapak antar saya aja langsung ke tujuan,” jawab Novan. Toh, jadinya ongkosnya sama juga. Nggak ada potongannya. Jadi buat apa juga? Gumam Novan dalam hati. Abang ojek online mangut- mangut. “Makasih banyak ya mas. Mas pelanggan saya yang pertama hari ini. Ini hari pertama saya narik, agak takut juga kalau nanti nggak dapat pelanggan,” cerita abang ojek online. “Sama- sama pak. Tetap semangat kerjanya ya pak, rejeki itu selalu ada.” “Iya nak, kamu juga. Semangat sekolahnya. Belajar yang rajin, jadi orang sukses. Jangan jadi penipu, pemakan uang rakyat kayak koruptor jaman sekarang.” “Iya pak, amiin. Doakan saja saya jadi orang sukses ya bang.” Abang ojek online mengangguk. “Amiin nak, amiin.” Ojek online berhenti tepat di depan sekolah. Novan turun dari sana dan mengembalikan helm yang di pakainya. “Jadi berapa bang?” Tanya Novan. “Biasa nak, sesuai aplikasi.” Novan mengangguk. Ia mengeluarkan smartphone dan membuka aplikasi ojek online. “Ini bang uangnya.” Novan memberikan selembaran uang lima puluh ribuan. Abang ojek online itu menerimanya dan membuka tas selempangnya. “Bentar ya nak, kembaliannya …” “Ambil aja pak kembaliannya,” ujar Novan. Abang ojek online tertegun. “Serius nih nak? Lumayan banyak loh nak kembaliannya,” tanya abang ojek online tak yakin. Novan mengangguk. “Nggak apa, ambil aja bang. Itung- itung penglaris.” Mata abang ojek online itu berbinar. Ia tersenyum sumringah. “Alhamdulillah. Makasih banyak ya nak, makasih banyak. Murah rejeki kamu nak, di mudahkan segala urusan!” Abang ojek online mendoakan. Novan tersenyum kecil. “Iya bang, sama- sama. Saya masuk duluan ya bang.” “Iya nak, iya. Makasih banyak ya. Semoga kam jadi anak yang pintar!” Novan mengangguk. Ia masuk ke dalam gerbang bersama dengan anak- anak yang lain. Ia masuk ke dalam kelasnya. Seperti biasa, kelasnya tampak sepi. Ini masih terlalu pagi. Kelasnya akan ramai beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Novan menaruh tasnya di kursi. “Oh ya, belum minum obat,” gumam Novan. Novan mengeluarkan obatnya dari dalam tas. Ia hendak mengambil botol minum di kantung samping, tapi ternyata botol minumnya kosong. Ia berdecak kesal. Ia membawa botol minumnya ke kantin untuk mengisinya. Kantin lumayan ramai dengan anak- anak yang melewatkan sarapan pagi. Wangi semerbak makanan tercium di segala penjuru. Novan menghampiri kang Ujang, penjaga kantin. “Kang, mau isi botol airnya boleh nggak?” Tanya Novan. “Oh boleh, boleh nak. Silakan. Untuk anak tampan apa yang enggak sih,” jawab kang Ujang. “Kamu masuk aja, dispenser ada di dalam.” Kang Ujang membuka pintu kantin. Ia masuk ke dalam sana dan mengisi botol minumnya hingga penuh. “Oke. Makasih banyak ya kang.” Novan menutup botol minumnya. “Iya nak sama- sama. Mau sekalian sarapan di sini?” Kang Ujang menawarkan. “Ah, nggak u ..” Perut Novan berbunyi. Novan memegang perutnya. “Boleh deh kang. Mie nyemek pakai telor setengah mateng ya kang.” “Mau pakai sosis nggak? Spesial nih, cuma ada kalo belinya pagi gini,” tanya kang Ujang. “Boleh juga deh kang.” Kang Ujang mengangguk. “Oke, segera saya siapkan. Silakan menunggu dulu.” Novan keluar dari dalam kantin dan duduk di meja yang kosong. Nanti saja dia minum obatnya, setelah makan mie nyemek. “Kamu tadi yang pesen mi nyemek kan?” Tanya kang Ujang. Novan mengangguk. Kang Ujang menaruh mie nyemek pesanannya di meja. “Mau pesen minum lagi atau gimana?” Tanya kang Ujang. “Nggak usah kang, ini aja.” Novan menunjukkan botol minumnya. Kang Ujang mangut- mangut. “Oke. Kalo mau pesan lagi panggil akang ya.” Novan mengangguk. Kang Ujang kembali masuk ke dalam kantin. Novan menyendokkan mie nyemek dan memakannya. Ah. Akhirnya. Sudah lama dia tidak memakan mie nyemek. Eh, tidak. Maksudnya, sudah lama dia tidak makan mie instan. Mungkin, sudah 2 minggu? Karena biasanya dalam seminggu pasti dia ada makan mie instan setidaknya 2 kali. Mie instan adalah penyelamatnya ketika lapar. “Woi Van!” Sapa seseorang di belakangnya. Ia menoleh. Tampak Yudi berjalan menghampirinya. “Yo! Tumben pagi- pagi udah ke kantin. Belum sarapan?” Tanya Yudi sambil merangkul Novan. Novan mengangguk. “Mau sarapan juga?” Tanya Novan. Yudi mengangguk. Dia duduk di depan Novan. “Iya, tadi subuh antar ayah dulu ke bandara, terus langsung ke sekolah. Nggak sempat sarapan,” jawab Yudi. Ia melambaikan tangannya. “Kang! Kang Ujang! Mau pesen!” Panggil Yudi. “Pesen apaan lu hah? Yang kemaren kapan mau di bayarnya?” Tanya kang Ujang dari kejauhan. Yudi bersungut kesal. “Ck, aku bayar deh kang kali ini,” jawab Yudi. “Bener ya, kamu bayar ya kali ini?” Tanya kang Ujang yang tiba- tiba sudah berdiri di dekat meja. Yudi mengangguk. “Iya kang, aku bayar dah kali ini,” jawab Yudi. “Tapi yang hari ini aja,” gumam Yudi pelan. “Hah? Apa katamu hah?” Tanya kang Ujang. Yudi geleng- geleng kepala. “Nggak, bukan apa- apa kang. Nanti aku bayar kok kang. Ya kang?” “Iya iya dah, terserah. Bayar pokoknya ya. Jangan asik ngutang aja!” Yudi berdecak kesal. “Ih iya kang, bakal di bayar kok.” Kang Ujang mendengus. “Ya udah kamu mau pesen apa?” Tanya kang Ujang. “Sama kayak dia deh mang, tapi nggak pakek telor ya. Pakek sosis doang. Gak pakek sayur. Pakek kerupuk ya mang, kerupuknya di banyakin.” Kang Ujang mencatat pesanan Yudi. “Banyak maunya juga lu ye,” gumam kang Ujang. “Ya udah, lu tunggu sini! Jangan kabur lu, awas!” “Iya iya enggak ah!” Gerutu Yudi. Novan melahap makanannya hingga habis. Ia menegak air di botol minumnya. “Cepet amat habisnya lu,” ujar Yudi. “Kamu yang kelamaan berdebatnya,” balas Novan. Ia mengeluarkan bungkus obat dari kantung celananya. “Oh ya kemarin kamu kemana kok izin pulang?” Tanya Yudi. Novan terdiam sesaat. Ia menaruh bungkusan obat di meja dan membukanya. “Pergi berobat,” jawab Novan. Ia mengambil dua macam obat dan menegaknya dalam sekejap. Yudi memeriksa bungkus obat itu. “Udah tau sakit, nih anak malah makannya mie instan pula pagi- pagi,” ujar Yudi. Novan nyengir. “Ya, lagi pengen. Udah lama nggak makan soalnya,” jawab Novan. Yudi mangut- mangut. “Memangnya kamu sakit apa dah? Kalo sakit kenapa kamu nggak izin aja dulu hari ini?” Tanya Yudi. Novan gelagapan. Apa yang harus dia bilang ke Yudi? Tidak mungkin dia bilang kalau obat itu dari psikiater, nanti di kira dia gila. “Itu ... Em ... Sakit itu ...” “Nah ini pesanan kau Yud!” Kang Ujang datang sambil memberikan sepiring mie nyemek sosis pada Yudi. “Kau bayar tuh, kalo gak kau bayar nanti kusuruh kau muntahin lagi!” “Iya iya kang ah. Kang, sekalian minumnya dong. Biasa, es jeruk ya,” pinta Yudi. “Iya iya dah, asal kau bayar ajalah kuturuti.” Kang Ujang melengos pergi. Yudi menyendokkan mie dan meniupnya sedikit karena masih panas. Ia mengunyahnya perlahan. “Jadi kamu sakit apa Van?” Tanya Yudi. “Ya ... Biasalah ya. Penyakit dari kecil gitu. Jadi kemarin periksa lagi dan ambil obat, jaga- jaga kalau kambuh ada obatnya,” jawab Novan. Yudi mangut- mangut. “Aku kalo jadi kamu mah, udah izin gak datang hari ini,” ujar Yudi. “Nanggung, soalnya besok udah hari sabtu, udah libur.” “Ya masa aku izin nggak masuk, masih jadi anak baru udah bolong aja absennya,” balas Novan. Yudi mendengus. “Oalah kamu. Ganteng- ganteng tapi penyakitan!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN