Bab 26

2565 Kata
Suasana hati Novan sedikit membaik sepulang dari rumah sakit. Ternyata mencurahkan banyak hal pada psikiater itu tidak ada salahnya ya. Sejak dulu, dia tidak mau di ajak ke psikiater, meski Stevan sering kali memaksanya. Ia akhirnya mengiyakan ajakan itu setelah merasa jenuh dengan ribuan kali ajakan yang terus berulang. Ia ingin meminta maaf pada dokter Rizaldi, karena sudah merepotkannya dengan pingsan dan pikiran skeptis kalau mereka yang pergi ke psikiater adalah orang yang tidak waras. Ya, kita perlu ke psikiater untuk memperbaiki ketidak warasan tersembunyi di dalam pikiran kita. Melihat ramainya antrian tadi, mereka yang terlihat normal itu sebenarnya hanya ingin mencari kedamaian dalam kehidupan. Setidaknya dia tidak merasa dirinya sendirian. Ternyata banyak orang yang berperang dengan dirinya. "Gimana tadi?" Tanya Stevan. "Hem ya, lumayanlah. Dokternya ramah. Nggak kayak yang aku bayangin sih." "Memang yang kamu bayangin gimana?" "Em, yang galak. Yah, yang agak galak gitu dah. Gak murah senyum." Stevan tertawa kecil. "Kenapa aku kepikirannya guruku yang dulu ya?" Gumam Stevan pelan. "Itu ada di kasih obatnya kan? Kamu minum terus tuh ya obatnya selama seminggu. Jangan ada yang bolong." Novan mengangguk. "Siap bos!" Novan menyalakan radio di dashboard mobil. "Tapi aku gak nyangka bakalan ramai. Kukira paling ramai ya sekitaran 10 orang doang." "Ya, karena banyak orang yang berperang dengan pikirannya sendiri. Mereka mungkin terlihat baik- baik saja, tapi tidak dengan perasaan mereka. Mereka yang terlihat baik- baik saja itu, adalah mereka yang paling sakit. Paling membutuhkan pertolongan, sebelum mereka melakukan hal- hal aneh yang merusak diri mereka." Novan mangut- mangut. "Ya, kau benar. Sedikit banyak aku paham tentang hal itu." **** Mobil berhenti di depan minimarket dekat rumah Novan. Novan melepas seatbelt. Stevan juga melakukan hal yang sama. "Ke minimarket dulu yuk," ajak Stevan. Mereka keluar dan masuk ke minimarket. "Memangnya kamu mau beli apa?" Tanya Novan. Stevan tidak menjawab. Ia menghampiri rak cemilan dan mie instan. "Tolong ambilin keranjang Van," pinta Stevan. Novan memberikan keranjang dorong pada Stevan. Stevan memasukkan beberapa bungkus cemilan ke sana. Ia juga menghampiri kulkas. Ia mondar- mandir di depan kulkas dan akhirnya mengambil beberapa minuman kemasan dari sana. "Es krim enak kali ya," gumam Stevan. Ia menghampiri freezer es krim. Ia memperhatikan freezer itu dengan seksama. "Kamu mau es krim yang mana Van?" Tanya Stevan. Novan mengernyitkan alisnya. "Hem... Mungkin ..." Novan memperhatikan freezer es krim dengan seksama. "Ini enak, ini juga enak. Tapi ini seger sih." Novan menunjukkan es krim coklat, vanilla, dan popsicle warna- warni. "Ya udah, kamu ambil aja," ujar Stevan. "Lah, boleh nih?" Stevan mengangguk. "Ambil aja sesukamu." "Yes!" Novan membuka kulkas dan mengeluarkan berbagai macam es krim di sana. "Nih anak. Malah ambil es krim yang paling mahal," ujar Stevan. Novan nyengir lebar. Ia memasukkan beberapa es krim itu ke dalam keranjang. Stevan menyeret keranjang itu ke meja kasir. Setelah bayar, mereka keluar dari mini market sambil menenteng kresek belanjaan. "Nah." Stevan memberikan kresek di tangannya. "Buat kamu." Novan mengernyitkan alis. "Semua? Buat aku?" Tanya Novan. Stevan mengangguk. "Ya, buat kamu dan adikmu. Bagi dua deh sama dia," jawab Stevan. "Bener nih kan? Thanks ya Van!" Novan mengambil kresek dari tangan Stevan. Stevan menganguk. "Yaudah, aku balik duluan ya." Stevan masuk ke dalam mobil. Ia melongokkan kepalanya di kaca mobil yang setengah terbuka. "Oh ya, kali ini aku titip salam buat adikmu. Nanti kirimin foto adikmu juga ya, aku pengen liat." "Iya iya, nanti aku fotoin. Makasih ya!" Novan menunjukkan kresek yang penuh di tangannya. "Ya udah, aku balik dulu ya." Stevan memundurkan mobilnya. Ia menyalakan klakson sebelum pergi meninggalkan Novan. ***** Novan membuka pintu pagar yang tidak terkunci dan masuk ke dalam. Terdengar langkah kaki yang tergopoh- gopoh di belakangnya. "Abang!" Mikel lari dari teras dan memeluknya. Novan tersenyum simpul. "Abang abang, abang darimana sih? Kok lama banget pulangnya?" Tanya Mikel. "Abang kan pergi sekolah. Ini baru pulang. Oh ya, coba lihat! Abang bawa banyak cemilan!" Novan menunjukkan kresek di tangannya. "Ada es krim loh. Mikel mau nggak?" Mata Mikel seketika berbinar. "Es krim bang? Mikel mau mau!" Mikel loncat kegirangan. Novan duduk di kursi teras. Ia membongkar kresek berisi es krim. "Nih." Novan memberikan es krim vanilla pada Mikel. Mikel menerimanya dengan girang. Ia langsung membuka bungkusan es krim dan memakannya. "Enak gak?" Tanya Novan. Mikel mengangguk. "Enak bang! Makasih banyak bang!" Ujar Mikel girang. "Ya, sama- sama. Ayo kita masuk ke dalam. Sisa es krimnya kita taruh kulkas ya. Besok kita makan lagi." "Ada lagi bang es krimnya?" Tanya Mikel antusias. Novan mengangguk. Mikel melompat kegirangan. "Yeay! Makan es krim lagi! Yeaay!" Novan tersenyum kecil melihat adiknya yang amat kegirangan. Ah, hanya karena es krim saja dia sudah senang. Memang anak kecil lucu sekali. **** Novan masuk ke kamarnya. Ia menyimpan kresek berisi cemilan ke dalam box khusus ia menyimpan makanan. Ia mengganti bajunya dan mengirimkan video ke Stevan. Ia tadi merekam Mikel yang sedang makan es krim dan mengucapkan terima kasih untuk Stevan. Tak lama, smartphone miliknya berdering. Ia melirik layar. Tertera nama Stevan di sana. "Ya. Hal..” "Heh! Kenapa om sih hah?! Aku masih muda tua, masih abang- abang!" Gerutu Stevan di ujung sana. Novan terdiam sesaat dan tertawa kecil. "Ya ingat umur dong. Kamu kalo di bandingin sama Mikel mah, udah pantas jadi om dia!" Novan tertawa kencang. Stevan mendengus. "s****n. Gak rela aku di panggil om, belom nikah gini," ujar Stevan di ujung sana. "Makanya nikah! Kan udah masuk umurnya." "Udah masuk umurnya, tapi belum masuk jodohnya." Novan tertawa kecil. "Tapi adikmu imut banget sih memang. Semoga nanti aku kalo punya anak bakal seimut adek kamu, lebih imut lagi juga boleh." "Ngomongin anak. Calonnya aja belum ada," timpal Novan. "s****n. Awas kamu nanti aku nikah, aku tanyain 'mana jodohnya? Kok sendirian aja kemari?'" "Ya biarin aja. Nanya aja kayak gitu, toh aku masih muda. Nggak kayak kamu udah berumur." "Anjrit. s****n memang nih anak," gumam Stevan. Novan tertawa terbahak- bahak. "Oh ya Van. Itu obatnya kamu minum setiap pagi ya. Jangan sampai kelupaan. Pokoknya pagi dah habis sarapan kamu minumnya. Tuh, setel pengingat di hp biar gak lupa." Stevan memberitahu. "Iya dah iya. Bawel amat lu ah." "Memang harus di bawelin, karena aku tau kamu susah minum obat. Pokoknya harus di minum ya, nanti aku telpon buat ngecek kamu minum apa enggak. Udah ya." Telpon di matikan. Novan geleng- geleng kepala. "Emang agak lain si Stevan ini." **** Novan keluar dari kamar mandi dengan menggunakan jubah handuk. Segar sekali rasanya bisa keramas. Ia melirik jam wekernya. Hem, ini sudah waktunya makan malam. Sebentar lagi ibunya akan memanggilnya untuk makan. Novan mengganti jubah dengan kaus dan celana pendek. Ia mengeringkan rambutnya yang basah dengan hair dryer. “Novan.” Pintu kamar terbuka dan muncullah ibunya di sana. Novan hanya menoleh. “Udah waktunya makan malam.” Novan mengangguk. “Iya buk, sebentar.” “Turun ke bawah ya, kita makan di meja makan.” “Mm.” Ibu Novan menutup pintu. Novan kembali mengeringkan rambutnya, tak lupa ia memakai vitamin rambut. Setelah beres, dia turun ke bawah. Sebenarnya dia malas sih kalau harus makan malam di meja makan dengan yang lainnya. Tapi tak apalah sesekali. Toh hari ini suasana hatinya sedang baik. Meja makan sudah penuh dengan hidangan makan malam. Ada ayam kalasan, sup sayur, lalapan, sambel, telur dadar dan sosis goreng, serta kerupuk. Hem, hidangan yang tidak jauh berbeda dengan makan siangnya tadi. Ibu Novan menaruh telur dadar dan sosis goreng di piring Mikel. Hanya itu yang mau Mikel makan, selain cemilan dan makanan manis. “Novan bantu ya bu,” pinta Novan. “Nggak usah, nggak perlu. Ini udah mau selesai juga kok. Nanti malah makin repot kalo kamu bantuin,” tolak ibu Novan. “Kamu duduk aja tuh di sana.” Ibu Novan menunjukkan kursi di sebelah Mikel. “Baik bu.” Novan menarik kursi dan duduk di sana. “Mikel, Mikel sayang. Udahan nonton kartunnya nak, kita makan dulu ayo. Mikel ..” Ibu Novan memanggil Mikel. Ia menaruh sendok sup sayur di atas meja dan menghampiri Mikel di ruang tengah. Ayah Novan masuk ke dapur dan duduk di sebrang kursi Novan. “Tumben kamu mau makan malam bareng,” ujar ayah Novan. “Ya, sesekali kan nggak apa.” “Jangan sesekali, tapi sering. Kamu selalu di kamar terus, kayak nggak punya keluarga aja,” gerutu ayah Novan. “Iya pa.” Ibu Novan menggendong Mikel ke dapur. Mikel bersungut kesal. Bibirnya manyun, wajahnya cemberut. “Mikel nggak mau makan! Mikel mau nonton kartun lagi ma …” Mikel merengek. “Eh, makan dulu. Nanti kita nonton kartunnya lagi ya?” Bujuk ibu Novan. Mikel mengeleng. “Nggak mau! Mikel mau nonton kartun dulu!” Mikel menangis kencang. Ayah Novan menghampiri Mikel. “Eh, Mikel nggak boleh gitu. Yuk yuk kita makan dulu, nih mama udah siapin loh telur dadar sama sosis goreng kesukaanmu.” Ayah Novan ikut membujuk, tapi tidak mempan. Mikel masih menangis kencang. “Nggak mau! Mikel mau nonton kartun!!” Mikel menangis lebih kencang. Novan menghampiri Mikel. “Bu, biar Novan aja yang gendong Mikel,” pinta Novan. Ibu Novan memberikan Mikel kepada Novan. Novan menggendongnya dan mengelus pelan rambut Mikel. “Mikel, kalo Mikel nggak mau makan, nanti es krimnya buat abang semua. Kalo Mikel mau makan, nanti siap makan kita makan es krimnya,” bisik Novan. Mikel berhenti menangis. Ia menoleh pada Novan. “Bener nih bang?” Tanya Mikel. Novan mengangguk. “Udah, udah, jangan nangis lagi ya.” Novan mengusap air mata Mikel. Ia memeluk Mikel. “Yuk makan yuk, tapi kamu jangan bilang sama mama dan papa kalo ada es krim,” bisik Novan. Mikel mengangguk. Matanya kini berbinar. “Ma, Mikel mau makan!” Ujar Mikel dengan yakin. Ibu Novan menghela napas lega. “Yuk sini, Mikel duduknya samping abang ya.” Novan menurunkan Mikel di kursinya. “Kamu mau abang suapin, atau makan sendiri?” Tanya Novan. “Makan sendirilah. Mikel kan udah gede!” Mikel membusungkan dadanya. Novan tersenyum kecil. “Iya iya, Mikel udah gede. Pinter Mikel ya. Kalo makan sendiri harus habis oke?” Mikel mengangguk. “Kalo Mikel habis, nanti Mikel makan es krimnya dua buah ya bang,” bisik Mikel. “Udah malem, jangan banyak makan es krim. Es krimnya satu aja, satu lagi mamam coklat. Mau nggak?” Novan menawarkan. Mikel mengangguk. Ia mengangkat sendoknya. “Mari makan!” Mikel menyendokkan telur dadar ke dalam mulutnya. Ia mengangguk kegirangan sambil mengunyah. “Mama, telur dadar buatan mama … numero uno!” Mikel mengacungkan jempolnya. Ibu Novan tertawa kecil. “Enak kan? Udah di bilangin enak. Kamunya aja yang susah banget buat makan.” Mikel nyengir lebar. “Lain kali kalo di ajak makan mau ya?” Mikel mengangguk. Makan malam Mikel hanya telur dadar dan sosis goreng, tanpa nasi. Mikel tidak suka makan nasi, mau di olah seperti apapun itu. Mikel memakan sosis gorengnya dengan lahap. “Pelan- pelan makannya Mikel, nanti kesedak.” Novan memperingatkan. Mikel mengangguk. Ia mengunyah makanannya lebih pelan. Ibu Novan menuangkan nasi ke piring ayah Novan. Novan mengambil piring dan menuangkan nasi ke piringnya. Ia mengambil sepotong paha ayam yang besar. “Itu punya papa,” ujar ayah Novan. “Oh, oke.” Novan menaruh kembali paha ayam itu dan mengambil potongan ayam yang lain, yang lebih kecil. Ia menuangkan sambal di atas ayam dan mengguyur nasinya dengan kuah sup. “Van, kamu makan juga sayur di sup itu. Nanti adikmu ikut nggak suka sayur kalau kamu nggak makan sayur,” perintah ayah Novan. “Iya pa.” Novan menuangkan sayuran yang ada di dalam sup ke piringnya. Sebenarnya dia tidak suka sayur, tapi tak apalah. Demi Mikel. Jangan sampai dia meniru yang tidak baik darinya. Novan menyantap nasi dengan potongan wortel. Ia mengunyahnya perlahan, berusaha mengabaikan rasa dari wortel yang tidak ia sukai itu. “Abang, sayurnya enak bang?” Tanya Mikel. Novan tersenyum kecil dan mengangguk. “Enak, nanti Mikel makan sayur juga ya. Biar makin sehat, biar cepet gede. Cepet jadi abang- abang,” jawab Novan. Mikel mengangguk. “Mama, mama, besok Mikel mau makan sayur! Sayur yang kayak di makan abang!” Pinta Mikel. “Besok mama buatin ya. Mikel makannya pakai nasi, mau?” Mikel menggeleng. Ia menyilangkan tangannya. “Nggak, nggak pakek nasi. Sayur aja!” “Ya udah, oke. Besok mama siapin ya.” Mikel mengangguk dan senyum sumringah. Makan malam berlangsung dengan khidmat. Setelah makan dua suap, Mikel mengaku sudah kenyang. Novan membujuknya untuk makan lagi, tapi dia tetap tidak mau. “Mikel kalo nggak habis makannya nggak dapat loh es krimnya nanti,” bisik Novan. “Yuk makan lagi yuk, abang suapin ya makannya.” Sepertinya bujukan es krim itu mempan. Mikel mau makan meski harus di suap oleh Novan. Novan menyuapinya hingga habis tak bersisa. Novan menghela napas lega. Akhirnya dia bisa lanjut makan. Mikel meminum air putih hingga habis. “Abang, Mikel udah habis makannya nih!” Ujar Mikel. “Iya sebentar ya, abang belum siap makannya. Abang makan dulu, ya.” Mikel cemberut. Ia menarik lengan baju Novan. “Abang, abang cepet makannya! Mikel mau es krimnya abang! Abang cepet makannya!!” Rengek Mikel. Ibu dan ayah Novan saling tukar pandang. Mereka menatap Novan penuh selidik. Novan mengabaikannya dan lanjut menyelesaikan makan. “Nggak, nggak ada makan es krim malem- malem! Nanti pilek!” Mikel cemberut. Bibirnya manyun. “Mama, tapi abang udah janji. Katanya kalo Mikel udah selesai makan, bakal di kasih coklat!” Mikel menunjuk Novan. Ibu Novan menatapnya tajam. “Abang, makan es krimnya besok kan bang? Ya kan bang? Nggak boleh malam ini kan?” Ibu Novan mengedipkan matanya, memberi kode. Novan menghela napas. “Mikel, anu .. maaf ya. Kita makan es krimnya besok aja ya?” Novan mengelus rambut Mikel. “Tapi kenapa bang? Kan abang udah janji sama Mikel. Kalo udah habis makannya, Mikel boleh makan es krim.” “Tapi mama nggak bolehin tuh. Kalo kamu mau, izin sama mama dulu.” Mikel menepis tangan Novan. “Kan Mikel janjinya sama abang bukan sama mama! Pokoknya Mikel mau es krim! Mau es krim!” Rengek Mikel. Ia menggebrak meja. “Mikel, jangan begitu!” Bentak ayah Novan. Mikel tersentak kaget. Ia terdiam sesaat dan kemudian menangis kencang. “Papa, jangan gitu. Mikel takut kan jadinya,” gerutu ibu Novan. Ayah Novan mendengus kesal. Ia kembali melanjutkan makan. Ibu Novan menghela napas dan menghampiri Mikel. “Mikel, Mikel sayang … udah ya nangisnya ya? Sini sayang sini.” Ibu Novan memeluk Mikel yang tengah menangis. Ia mengelus pelan punggung Mikel. “Mikel, Mikel mau makan pudding nggak?” “Pu.. Puding?” Tanya Mikel sambil sesengukkan. Ibu Novan mengangguk. “Iya, pudding. Mikel mau?” “Tapi Mikel maunya es krim ma. Es krim kan dingin, pudding enggak,” jawab Mikel. “Eh, kan puddingnya dari kulkas. Jadi dingin juga toh. Puddingnya juga manis kayak es krim. Mikel mau nggak?” Mikel senyum sumringah. “Mau ma mau! Mikel mau pudding! Yeaay, makan pudding!” Mikel melonjak kegirangan. “Ya sudah, mama ambilin dulu ya puddingnya. Kamu tunggu di sini dulu ya.” Mikel mengangguk. Ia duduk manis di tempatnya sambil bersenandung. “Makan pudding, yeay makan pudding.” Novan menghela napas lega. Syukurlah ibu Novan bisa menenangkan Mikel. Kalau tidak, Mikel akan terus merengek dan jadi tantrum. Ayah Novan menatap Novan lamat- lamat. “Novan, lain kali jangan buat janji macam- macam sama Mikel. Buat repot aja kamu,” ujar ayah Novan. “Maaf pa.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN