Bab 13

1049 Kata
      “Kamu yakin nggak mau aku antar?” Tanya Andi setibanya kami di parkiran. Tinggal motor Andi yang ada di sana. Dia terlambat pulang karena harus membereskan ruang OSIS, Valdi yang memerintahkannya langsung. Sedangkan Valdi malah pulang tanpa menunggu Andi. Novan mengeleng.            “Nggak apa, aku naik angkot aja. Kayaknya masih ada jam segini,” tolak Novan.            “Bener nih? Kalo kamu mau nebeng nggak apa kok, aku ada helm lebih, bensin juga masih full,” Tanya Andi lagi. “Jam segini mah udah agak susah angkot di daerah sini Van.”            “Kan masih ada ojol,” jawab Novan. “Nggak apa, kamu tenang aja. Pasti aku bakal sampai rumah kok.”            “Yaudahlah.” Andi menyalakan mesin motornya. “Aku duluan ya, nanti kalo ada apa- apa kabarin aja.”            “Iya iya, udah sana pulang. Hati- hati.”            Motor Andi perlahan meninggalkan lingkungan sekolah, meninggalkan Novan sendirian di parkiran. Ia memperhatikan sekeliling. Sepi, hanya ada pak satpam sepertinya di posnya. Dia melenggang pergi keluar gerbang sekolah.            “Loh, kamu si anak baru itu kan? Kok telat pulangnya nak?” Tanya satpam sekolah, pak Dudung.            “Iya pak, tadi nunggu temen saya selesai rapat,” jawab Novan. “Duluan pak.” Andi sedikit membungkukkan badannya.            “Oh iya nak, hati- hati. Kalo kamu mau nunggu angkot, jangan tunggu di sini. Jam segini udah jarang angkot lewat sini. Mending kamu tunggu di halte sana aja, masih banyak yang lewat di sana.” Pak Dudung memberitahu. Novan mangut- mangut.            “Halte yang di sebelah sana ya pak?”            “Iya, itu halte di sana. Rame kalo di sana, memang agak jauh sedikit sih ..”            “Oh iya iya, makasih banyak pak. Saya pamit dulu ya pak, mari …” ****            Novan bersyukur ketemu pak Dudung tadi. Benar ternyata apa yang di bilang pak Dudung dan Andi, tidak ada lagi angkot yang melewati sekolahnya. Memang haltenya sedikit jauh, tapi setidaknya banyak angkot yang berseliweran. Ia duduk di kursi kosong. Halte ramai dengan murid dari sekolah lain, pegawai kantoran, dan beberapa mahasiswa yang tampak sibuk dengan laptop di pangkuan.            Segerombolan anak perempuan dari sekolah lain berbisik- bisik sambil melirik Novan. Ia tidak memperdulikannya. Novan mengeluarkan headset dari tasnya. Ia memilih mendengarkan lagu saja sambil menunggu. Ia menyalakan volume yang lumayan besar agar merendam kebisingan di sekitarnya. Perlahan ia mulai terbenam dengan alunan lagu.            Ia langsung tersadar dari buaian lagu saat seseorang menepuk pundaknya pelan. Ia melepas salah satu headsetnya dan menoleh. Ia tersentak kaget dan bangkit dari duduk. Sarah ada di sana, berdiri di belakangnya sambil menyinggung senyum tipis.            “Hai Novan,” sapanya ramah. Novan tidak menggubrisnya. Ia langsung memalingkan wajahnya.            “Kamu belum pulang ya?” Novan mengangguk. “Kamu ngapain di sini? Nunggu angkot? Nunggu ojol?” Novan mengangguk lagi.            “Hei hei!” Sarah beralih dan menatap Novan. Novan tersentak kaget. “Kamu mau pulang sama aku nggak? Itu aku udah di jemput sama supir, yuk biar aku anterin aja. Yuk!” Sarah menarik tangan Novan. Refleks, Novan langsung menepisnya.            “Eh, kamu … Sarah kan? Sarah Claryson?” Tanya salah satu anak perempuan di antara gerombolan tadi. Sarah menoleh ke arah anak perempuan itu.            “Eh, iya … aku Sarah Claryson,” jawab Sarah. Anak perempuan itu terbelak kaget. Ia terpatung di tempatnya.            “Ya ampun Sarah?! Kamu Sarah?! Ya ampun aku fans banget sama kamu..!” Anak perempuan itu teriak histeris. Ia langsung memegang tangan Sarah. Sarah hanya menyinggungkan senyum canggung.            “Eh ini Sarah Claryson? Selebgram itu?” Tanya anak perempuan lain di rombongan tadi.            “Iya! Ini Sarah woi!”            “Ya ampun kak, aku minta foto boleh nggak?”            “Ah eh … oh, boleh …” Anak perempuan itu mengeluarkan smartphone dan selfie dengan Sarah.            “Eh gantian dong gantian. Aku juga mau.” Gerombolan anak perempuan itu bergantian foto dengan Sarah.            Novan mengambil kesempatan itu untuk menjauh dari sana. Ia celingak celinguk, memperhatikan satu persatu angkot yang lewat. Tapi sialnya, tidak ada angkot yang menuju arah rumahnya. Ia menggerutu kesal.            “Eh, Novan?” Tanya seseorang di dekatnya. Ia memakai jaket kulit hitam dan helm full face. Motor ninja Kawasaki yang ia bawa berhenti tepat di dekat halte. Novan mengernyitkan alisnya.            “Siapa?” Tanyanya bingung. Orang itu membuka kaca helm. Novan terperangah.            “Kamu …” Novan belum selesai bicara. Ia masih terbelak kaget.            “Hei hei, Novan!” Sarah memanggilnya. Seketika Novan langsung tersadar. Ia langsung naik ke jok motor di belakang. Orang itu tersentak kaget.            “Hah heh, apaan nih …?” Tanyanya bingung.            “Aku nebeng ya, sampai rumah. Kayak biasa,” jawab Novan. Setelah melayani keriuhan fans- fansnya, Sarah kembali menghampiri Novan. Novan menepuk pundak orang itu. “Buruan!”            Sigap, ia menyalakan kembali mesin motor. Motor pun pergi meninggalkan halte itu. Meninggalkan Sarah yang tertegun di tinggal oleh Novan. *****            Mereka berhenti di dekat warung kecil dan memilih untuk duduk di sana sebentar sambil menikmati segelas es teh manis.            “Untung ada kamu datang.” Ia menepuk pelan pundak orang itu. “Makasih ya Stevan.”            Laki- laki yang bernama Stevan itu mengangguk pelan. Ia meneguk habis es teh manis itu hingga habis.            “Ya, sama- sama.” Ia menatap Stevan. “Itu tadi bukannya si Sarah Claryson ya? Si selebgram yang terkenal banget itu?” Tanya Stevan. Novan mengangguk.            “Iya, itu dia. Dia terkenal juga ya,” gumam Novan.            “Kok kamu bisa kenal sama dia?” Novan mengedikkan bahunya.            “Hem, ya, kebetulan satu sekolah, gitu,” jawab Novan. Stevan mangut- mangut.            “Gimana sekolah baru kamu? Sejak kapan kamu udah pindah kemari?” Tanya Stevan bertubi- tubi.            “Yah, baru 3 hari sih di sekolah itu. Lumayan, mereka ramah- ramah dan yah, baik- baik kok. Aku udah hampir semingguan lebih pindah kemari, tapi baru sekarang aja masuk sekolahnya.” Novan menceritakan secara singkat dan jelas. Stevan mangut- mangut.            “Tapi kayaknya kamu udah agak berubah ya daripada yang dulu. Yah, agaknya nih, sudah sedikit lebih terbuka sedikit. Tapi nggak banyak juga, toh kamu juga masih nggak mau kan deket sama beberapa orang,” ujar Stevan. Novan mengangguk. Stevan tidak salah. Dia sudah mengenal Novan sejak dulu, meski sempat berpisah.            “Jadi …” Stevan mengubah posisi duduknya menghadap Novan. “Gimana kabarnya tante Lita dan om Danu?” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN