Bab 14

2512 Kata
      “Sini aja!” Novan menepuk pelan pundak Stevan. Refleks, Stevan langsung memberhentikan motornya.            “Loh? Rumah kamu di sini?” Tanya Stevan. Novan turun dari motor.            “Nggak, di dalam g**g itu. Jalan dikit dari sini juga nyampek kok,” jawab Novan sambil menunjukkan g**g kecil di depannya. Stevan mendongak.            “Lah, kalo dikit lagi gitu mending sekalian aku anterin aja deh sampai depan rumah. Daripada kamu jalan lagi.”            “Nggak usah Stev, di sini aja. Dikit lagi sampai kok. Aku juga … lagi pengen jalan. Biar sehat.” Stevan menatap Novan lamat- lamat.            “Yakin nih?” Tanya Stevan lagi. Novan mengangguk kencang.            “Ya udah, terserah kamu deh. Oh iya btw, kamu ganti nomor ya? Kemarin aku coba hubungi kamu kok nggak bisa.”            “Iya, aku ganti ke nomor baru sih, dari awal pindah kemari.” Stevan berdecak.            “Kan, udah aku duga. Sini sini, mana nomor baru kamu.” Stevan mengeluarkan smartphone. Novan mengeja nomor telponnya. Stevan mangut- mangut sambil mengetiknya. “Nah, oke. Ini aku coba miscall ya.”            Smartphone Novan melantunkan ringtone. Ia mengeluarkan smartphone dari saku celana. Tertera nomor yang tidak di kenal di sana. Novan mematikannya. Pasti Stevan.            “Nah, itu nomor aku. Wajib kamu save pokoknya. Oke?” Novan mengangguk sambil mengetik sesuatu di smartphone.            “Oke. Udah. Nih udah aku save.” Stevan memutar kunci dan menyalakan mesin motornya.            “Oke deh kalo gitu. Aku balik duluan ya. Salam buat kak Lita dan bang Danu. Bilang nanti kapan- kapan aku mampir!” Stevan melambaikan tangannya. Motornya melaju perlahan. Novan membalas lambaian tangannya.            “Nggak usah mampir!” ****            Novan merebahkan dirinya di kasur. Ah, melelahkan sekali. Kayaknya ini jam pulang sekolahnya yang paling lama, di luar kegiatan ekskul yang pernah di ikuti. Rambutnya meneteskan air yang membasahi sprei. Sesampainya di rumah tadi, dia langsung mandi keramas karena badannya lengket dan bau keringat. Sudah kebiasaannya, mandi sehabis pergi dari luar. Kadang meski hanya keluar 15 menit, dia tetap mandi. Wajib baginya untuk mandi 2x sehari, bahkan kadang lebih.            Novan melirik rambutnya yang masih meneteskan air sisa keramas. Ia bangkit dari duduk dan mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Tidak lupa ia semprotkan hair tonic. Ia mengambil smartphone yang sedari tadi berisik dengan notifikasi yang masuk. Danus Mencari Rezeki (7) Kirana Ges Bisa kumpul bentar ga? @Taal @Dewi @Karyo @Gisel @Fiona @Novan Andriansyah Taal Y kk Dewi Ya, kenapa kak? Karyo Ada apa Kir? Novan Andriansyah Ya Fiona Hadiiir Gisela Ada apa ni? Kirana Sori ya gais. Ini sori bangeet. Si Valdi tadi ada nanyain, soal rencana kita. Tapi aku bilang, kita belum tau pasti kan. Terus dia suruh buat pastiin paling lambat lusa, Itu udah kelar hampir semuanya. Gisela Hah?Lusa? Gila! Fiona Mana mungkin lusa udah beres. Karyo Hah? Nih valdi ngadi- ngadi! Kirana Ya maksudnya gak lusa juga kelar semua. Maksudnya tuh seenggaknya tuh udah tau mau jual apaan, mau lakuin apaan. Jadinya bisa segera buat proposal dll gitu. Soalnya kata dia bapak kepsek ini lagi susah di tempat, jadi kalo mau urus apa- apa itu kalo bisa secepatnya gitu kata dia tadi. Kirana Jadi, kalo kita rapat bentaaraan aja malem ini bisa ga? Sisanya lanjutin besok, yang kurang- kurangnya. @Fiona bisa nyicil dikit ga buat proposalnya? Fiona Lah? Aku yang buat ni? Eh gimana cara buatnya? Kirana Hampir sama kok, kayak biasa buat proposal buat ekskul Gak beda jauh Sama si @Karyo ada tuh nyisa proposal punya tahun lalu, keknya. @Karyo masih ada ga yo? Karyo Ada nih, nanti aku kirim ya @Fiona Lewat WA aja, kalo dari sini ada batas waktunya            Novan berdecak kesal membaca grup chat. Baru juga dia mau istirahat, tapi udah di ajak rapat. Padahal tadi juga udah rapat di sekolah. Harusnya tadi di selesaikan terus rapatnya sampai clear.            “Males banget,” gumam Novan. Ia mengecek notes di smartphone. Biasanya dia mencatat semua keperluannya di sana. Notes teratas, ah. Dia baru ingat, kalau masih ada tugas Sejarah. Meringkas kembali sejarah tentang penjajahan Jepang dengan bahasa sendiri, di buat seperti sebuah cerpen. Tugas Sejarah rasa tugas Bahasa Indonesia, itu yang di bilang oleh murid sekelas.            “Hem, ini sih takutnya nggak keburu ya. Mana gurunya agak galak lagi,” gumam Novan sambil melirik jam dinding di kamar. Dia ingin izin tidak hadir di rapat online malam ini. Tapi dia tidak mau chat Kirana. Kalau dia tidak izin, Kirana bakalan samperin dia langsung besok. Duh, dia paling malas kalo di samperin. Mungkin baiknya …            “Izin ke Karyo ajalah.” Novan Andriansyah Yo Aku izin gak ikut rapat ya. Karyo Loh kenapa bilangnya ke aku? Bilang ke Kirana gih. Novan Andriansyah Tolong sampein ya ke Kirana Karyo Kenapa gak kamu bilang aja sih? Chat aja dia gih Kalo gak kamu bilang aja di grup            Novan berdecak kesal. “Ck, ini si Karyo, banyak nanya banget. Minta tolong dikit juga,” gerutu Novan. Novan Andriansyah Tolong bilangin dong Yo. Deadline tugas sejarah nih, besok kumpul. Takut gak keburu, baru inget. Karyo Oh, bu Sur ya? Iya emang tugasnya agak ribet. Yaudah aku bilangin. Novan Andriansyah Thanks yo.             “Gini kek daritadi,” gumam Novan. Ia menaruh smartphone di atas meja. Ia memasangkan headset ke smartphone dan mengeluarkan buku PR. Iringan lagu menemaninya mengerjakan tugas di malam itu. ****            Novan mengira, dengan menitip izin melalui Karyo, maka urusan beres. Dia tidak perlu lagi izin ke Kirana. Tapi ternyata dia salah. Seperti biasa, Novan selalu tiba di sekolah saat kelasnya masih sepi. Saar itulah, Kirana datang menghampirinya. Hanya ada mereka berdua di kelas. Anak- anak lain yang datang lebih cepat pergi ke kantin untuk sarapan.            “Oi, Novan,” panggil Kirana. Novan terbelak kaget melihat Kirana berdiri di sebelahnya. Ia memalingkan wajah. Kirana memutar kursi di depannya, lalu mendudukinya sehingga mereka saling berhadapan.            “Kamu kenapa semalam nggak ikut rapat?” Tanya Kirana. Novan menelan ludah. s****n. Karyo nggak bilang ya semalam soal dia izin itu?            “A … aku udah izin kok … ke …” Jawab Novan terbata.            “Iya, kamu udah izin memang. Tapi kamu izinnya ke Karyo.” Kirana menatapnya. Novan menundukkan kepalanya. Ia mengepalkan tangannya erat. “Kamu kenapa nggak izin ke aku? Atau bilang di grup aja gitu? Kenapa harus ke Karyo?”            Novan menelan ludah. Dia merutuk dalam hati. Dih, soal izin begini aja ribet banget. Kan yang penting dia udah izin, meski lewat perantara. Lebih bagus kan daripada hilang tanpa kabar seperti Gisel kemarin?            “Oi, orangnya di sini. Nggak di bawah sana,” ujar Kirana. Novan meliriknya sekilas, lalu balik menundukkan wajahnya. Kirana menghela napas, lalu berdiri. “Ya udahlah, yang penting kamu emang udah izin. Tapi lain kali kamu izinnya ke aku, atau bilang ke grup. Jangan lewat perantara.”            Kirana menepuk pelan pundak Novan. Novan terbelak kaget. Tubuhnya seketika kaku. Keringat dingin yang di tahannya tadi mulai bercucuran.            “Ya udah, aku balik dulu. Nanti kita bakal rapat lagi di taman, bahas sedikit lagi yang tertinggal. Wajib datang semuanya.”            Kirana pergi meninggalkan kelasnya. Novan masih terpaku di tempat, dengan keringat dingin yang mengucur semakin deras. ****            Jam istirahat sudah tiba. Murid- murid berhamburan keluar kelas, begitu pula Novan. Kali ini waktu istirahat bukan waktu yang ia nantikan. Ia masih terbayang dengan Kirana yang pergi menemuinya tadi pagi. Ia mengusap pelan pundaknya yang di tepuk Kirana dan seketika bulu kuduknya berdiri.            “Ndi, kamu ke kantin?” Tanya Novan.            “Eh nggak deng. Sori. Hari ini aku ada rapat dengan petinggi OSIS lain di ruang OSIS,” jawab Andi. Yah, gagal sudah rencananya untuk kabur ke kantin. “Duluan ya, udah di tungguin sama Valdi.”            Novan sedikit was- was karena tidak ada Andi. Selama ini dia di temani oleh Andi, jadi anak- anak perempuan tidak ada yang mengikutinya. Tapi karena dia sendirian, beberapa anak perempuan mulai mencuri pandang. Ia berjalan sambil menundukkan wajahnya dan tanpa sadar, dia menabrak seseorang.            “Eh sori aku nggak senga …” Novan mendonggakan wajahnya.            “Loh? Novan?” Tanya Karyo. “Kamu ngapain nunduk gitu? Uang kamu jatuh?”            “Hah heh .. enggak kok ..” Novan mengelengkan kepalanya. “Yo, semalam kamu ada bilang ke Kirana nggak, kalo aku izin?”            Karyo mengernyitkan alis dan mengangguk. “Ada, aku ada chat dia. Bilang kamu izin. Kenapa memangnya?”            “Oh, ada ya. Enggak, itu tadi …”            “Kirana datengin ya?” Tebak Karyo. Novan mengangguk.            “Iya, tadi pagi dia ke kelas, terus nanyain kenapa aku nggak izin ke dia, kenapa lewat perantara gitu.” Karyo geleng- geleng kepala.            “Udah aku bilang kan. Izinnya itu ke Kirana langsung, atau nggak chat di grup. Dia itu agak ribet soal izin, dia nggak mau kalau ada perantara gitu. Bisa di kiranya kamu nanti cari alasan aja.”            “Lah, anaknya gampang suudzon.” Karyo tertawa kecil.            “Memang gitu anaknya. Tapi dia baik kok, emang dasarnya aja sering overthinking,” ujar Karyo. “Kamu mau kemana nih? Kita ada rapat kan katanya di taman? Pergi nggak?”            “Ya pergilah. Nanti Kirana suudzon samaku, di datanginnya lagi. Males.” ****            Novan bersyukur bisa ketemu dengan Karyo. Kalau dia sendirian, mungkin bakalan nyasar hanya untuk cari taman tempat di adakannya rapat. Taman di sekolah ini ada banyak dan sekolahnya juga lumayan luas. Bakal kewalahan nyarinya. Taman ini tidak jauh dari kantin. Beberapa anak yang tidak kebagian kursi di dalam kantin memilih untuk makan di sini. Taman ini ada banyak gazebo dengan kursi taman di sana.            “Kir, udah lama nunggu?” Tanya Karyo. Mereka menghampiri Kirana yang duduk sendirian di gazebo paling pojok. Kirana menoleh dari layar laptopnya.            “Oh kalian. Duduk dulu.” Kirana kembali menatap layar laptopnya. “Nggak lama sih, baru juga. Tadi yang lain udah datang, tapi izin buat jajan bentar di kantin.”            “Kamu nggak jajan juga?” Tanya Karyo.            “Nitip aja sih tadi.” Ia melirik kami sekilas. “Kalian nggak makan dulu?”            “Aku sih tadi udah ke kantin.” Karyo nyengir lebar. Kirana menatap Karyo dengan tatapan penuh selidik.            “Jangan kebiasaan deh cabut ke kantin Yo. Nanti ketangkep sama pak Heru, baru kapok. Pak Heru katanya lagi sering ke kantin kalo jam pelajaran, sekalian ngecek anak- anak bolos.”            “Tenang! Aku ada backing mbak Sum kok!” Karyo menepuk dadanya. Kirana geleng- geleng kepala.            “Serah deh, aku ingetin aja sih. Malas nanti kena hukum sama pak Heru, repot.” Kirana melirik Novan sekilas. Ia sedikit menurunkan layar laptopnya. “Kamu, Novan. Kalo lagi rapat jangan terlalu diam. Kalo kamu memang ada saran apa gitu, bilang aja. Kalo ada pendapat, atau ada hal yang nggak setuju, bilang aja. Jangan sungkan.”            “Mungkin dia masih malu- malu Kir. Kan namanya juga anak baru, belum juga seminggu kan di sini? Tapi udah di tarik Valdi aja jadi panitia,” bela Karyo. “Pake orang dalam kamu ya? Susah loh buat di lirik ama si Valdi itu.”            Novan mengedikkan bahunya. “Gara- gara Andi sih. Tadinya di jadiin kandidat apa itu, Pangeran apa dah itu, pasangan sama Sarah. Tapi aku nggak mau, jadinya di masukin ke panitia aja,” jawab Novan. Kirana dan Karyo melongo.            “Hah? Kamu jadi kandidat Pangeran dan Putri Sekolah Samudera? Pasangan sama Sarah?” Karyo memegang kedua bahu Novan. Novan mengangguk pelan. “Terus kamu tolak? Wah …” Karyo geleng- geleng kepala. Ia menepuk tangannya.            “Agak lain kau memang ya,” gumam Kirana. “Biasanya tuh cowok- cowok pada rebutan buat jadi Pangeran, apalagi kalo jadi pasangannya Sarah. Tapi kamu malah nolak, lain memang.” Karyo mangut- mangut.            “Iya. Dia kan nggak sukak ikut begituan ya. Tapi tumben banget dia mau ikutan tahun ini. Tahun lalu capek di ajak malah tolak terus,” timpal Karyo.            “Ya mungkin karena ada Novan makanya dia mau ikut. Tapi sayangnya Novan nolak, dia mau mundur juga pasti malas bilang ke Valdi. Yaudah maju terus aja,” celetuk Kirana. Karyo menyikut tangan Kirana. Kirana berdecak kesal.            “Eh, itu yang di omongin ada di sana tuh.” Karyo melirik sekilas ke sebelah kirinya. Sarah serta kedua temannya, Lili dan Rissa duduk di gazebo yang tak jauh dari mereka. Sarah yang sempat menoleh ke arah mereka langsung memalingkan wajahnya saat Kirana menoleh padanya.            “Yaudah sih biarin aja,” ujar Kirana. “Tapi kamu kenapa nggak mau deh pasangan sama si Sarah? Kenapa? Kan dia cantik, nggak suka ya?”            Novan mengernyitkan matanya. “Males aja sih. Dia juga biasa aja kok,” jawab Novan. Kirana dan Karyo terbelak, lalu geleng- geleng kepala.            “Memang dah agak lain anak ini,” celetuk Karyo.            “Aku kira semua anak bakalan naksir sama dia, secara dia cantik. Ternyata ada juga yang anggap dia biasa aja ya,” timpal Kirana. Novan mengernyitkan alisnya.            “Cantik itu relatif, kadang tiap orang berbeda definisi cantiknya. Menurutku, dia biasa aja,” ujar Novan. Kirana menyinggungkan senyum kecil.            “Ada juga yang berpendapat kayak gitu ternyata, menarik.”            “Ternyata ada juga yang sependapat sama aku.” Karyo merangkul bahu Novan. Kirana berdecak.            “Ah, bacot kamu Yo. Kemarin itu kan kamu sempet galau sedih berminggu- minggu karena di tolak sama si Sarah. Udah kayak zombie tuh berminggu- minggu, raganya ada jiwanya ilang,” celetuk Kirana.            “Heh! k*****t malah di ingetin! Kan itu dulu, bukan sekarang! Sekarang mau aku udah move on!” Karyo membusungkan dadanya.            “Iya deh terserah kamu.”            “Halo,” sapa sebuah suara. Mereka menoleh. Novan terbelak kaget dan menundukkan wajahnya. Sarah dan kedua temannya menghampiri mereka. Sarah duduk di sebelah Kirana.            “Hai, The Mean Girls,” sapa Kirana balik.            “Kalian ngapain di sini?”            “Mau rapat,” jawab Kirana tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. “Orang luar nggak boleh ikutan.”            “Nggak kok. Ya elah, aku nggak ganggu kok. Aku mau ngasih ini.” Sarah mengeluarkan kotak bekal dan membukanya. Ada beberapa onigiri di sana. “Buat kalian. Tapi ini beli sih, aku kebanyakan belinya.”            Kirana mengernyitkan alisnya. “Ada apa nih kok tiba- tiba ngasih beginian?” Tanya Kirana curiga.            “Ya, memangnya nggak boleh ya kasih ke temen? Kan kita udah temenan dari dulu Kir.” Sarah menepuk pundak Kirana. Ia sedikit mendekatkan wajahnya ke kuping Kirana. “Jangan sok kedekatan deh sama Novan, dia bentar lagi bakal jadian sama aku,” bisiknya pelan.            Kirana tertawa kecil mendengarnya. Sarah melotot. “Iya iya, kan kita bestai ya. BesTAI dari dulu kan.” Kirana merangkul Sarah. “Kamu ambil aja, aku nggak peduli,” bisik Kirana pelan. Sarah bangkit dari duduknya. Ia melirik Kirana dan Karyo bergantian.            “Kir, kamu sama Karyo cocok deh kayaknya,” gumam Sarah, yang diikuti oleh anggukan Lili dan Rissa. Karyo dan Kirana saling lirik satu sama lain.            “Nggak, nggak cocok. Soalnya dia udah ada pawangnya.” Sarah terbelak.            “Hem, cepat juga ya move on si Karyo. Selamat Yo, semoga langgeng.” Sarah menepuk tangannya. “Eh ya, kami duluan ya. Silakan di makan ya onigirinya. Bye guys!”            Sarah melambaikan tangan dan pergi dari sana bersama dengan kedua temannya. Kirana membalas lambaian tangan itu.            “Ya, good bye besTAI.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN