Bab 31

2516 Kata
“Ada apa gerangan kok kamu antar aku ke sekolah?” Tanya Novan di tengah perjalanan. Saat ini mereka sedang terjebak lampu merah. “Ya, nggak apa.” Stevan berdehem. “Mungkin, secara nggak langsung, aku merasa wajib gitu buat tolongin kamu, buat bantu kamu. Yah mau gimana pun, kita kan udah kayak keluarga.” Novan melirik Stevan dan tersenyum kecil. “Ya, kayak keluarga ya … lebih kayak keluarga lagi sih kalo misalnya tadi kamu izin ke orangtuaku.” Stevan mendengus. “Gak ah. Bapakmu galak. Malas. Tapi kamu masih anggep orangtua juga ya.” “Hei, gimana pun mereka masih orangtua aku. Walaupun aku sering sebal, tapi ya uang jajanku kan dari mereka juga.” Stevan tertawa mendengarnya. “Makanya kamu cepet- cepet selesai pendidikan, terus lamar kerja, dapat kerja yang bagus, biar bisa nggak bergantung lagi sama orangtua,” ujar Stevan. “Iya iya, kamu doain aja deh pokoknya.” Tapi kayaknya sih dalam waktu dekat bisa dapat uang jajan sendiri gumam Novan dalam hati. “Bapakku mungkin galak, tapi ibuku kan nggak gitu. Nggak mau ketemu ibuku?” Tanya Novan. Stevan terdiam tak menjawab apapun. Matanya lurus ke depan. “Oh, udah hijau!” Stevan menekan pedal gas dan perlahan mobil meninggalkan jalanan itu menuju ke sekolah Novan. Yah, Stevan mana mau menjawabnya. Pertanyaan yang bodoh. **** “Kalo mau aku jemput nanti kamu telpon aku aja ya,” ujar Stevan dari dalam mobil. “Kayaknya walaupun nggak aku telpon kamu bakalan jemput juga deh,” gumam Novan Stevan tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Kalau sempat aku bakal jemput sih. Udah ya, salim dulu sini!” Stevan menyodorkan tangannya. Novan menyalim Stevan. “Tumben kamu mau di salim, biasanya nggak mau. Biar nggak nampak tua.” “Memang udah tua kan?” Stevan mendengus. “Dasar! Nih!” Stevan menarik tangan Novan dan menyodorkan sesuatu. “Buat beli permen. Kamu belajar yang rajin tuh, jangan bolos! Dengerin kata gurunya!” Stevan menasehati. Novan mengangguk dan langsung mengantongi pemberian Stevan. “Dahlah, aku balik dulu.” Stevan menutup kaca mobil. Ia memundurkan mobil sampai keluar pintu gerbang, lalu menyalakan klakson. Novan melambaikan tangan dari kejauhan. Ia masuk ke dalam saat mobil Stevan sudah jauh di sana. “Woi Van!” Panggil seseorang di kejauhan. Novan menoleh. Andi berlari menghampirinya sambil menenteng helm. “Kamu ngapain nenteng helm begitu? Kenapa nggak di biarin di motor aja?” Tanya Novan begitu Andi berdiri di sebelahnya. “Helm?” Tanya Andi. Ia melirik tangan kirinya dan menepuk jidat. “Ya ampun, iya aku lupa. Ah yaudahlah, malas aku balik ke parkiran lagi.” “Jadi mau kamu bawa ke dalam helm itu?” Tanya Novan. Andi mengangguk. “Yah, daripada hilang. Soalnya lagi marak juga sih helm hilang di parkiran, entah siapa yang ambil. Padahal kan di jaga sama satpam ya.” “Pas banget! Novan!” Panggil seseorang di depan kami. Novan menoleh dan langsung menundukkan kepala. Kirana menghampiri mereka. “Oh, ada kamu juga. Hai Ndi,” sapa Kirana. “Hai Kir. Ada perlu sama Novan?” Andi menunjuk Novan. “Iya nih. Oh ya Van.” Kirana hendak menepuk pelan pundak Novan. Novan menghindar. “Sori.” Ia menangkup kedua tangannya di d**a. “Anu, aku mau bilang. Mulai hari ini kita bakalan jual risol, ada yang di titip ke kantin, ada juga yang kita jualin dari kelas ke kelas gitu. Nanti kalau nggak ada guru, sebelum istirahat keluar aja. Atau waktu istirahat boleh juga. Kita ketemuan di belakang kantin ya, si Dewi udah nitip risolnya sama kang Ujang.” Kirana menjelaskan. Novan hanya mangut- mangut. “Oh, oke. Udah paham dia kok Kir. Nanti dia bakalan ke mana tadi? Belakang kantin kang Ujang ya?” Tanya Andi. “Iya, nanti ngumpulnya di sana. Sori ya baru bilang, aku lupa umumin di grup tadi.” Novan mengangguk pelan. Ia mengepalkan tangannya. “Oh oke. Kalau begitu kami duluan ya Kir.” Andi menarik Novan. “Oh ya, sori. Aku duluan juga ya, mau kasih tau yang lain. Bye!” Kirana melambaikan tangannya. Ia pergi meninggalkan mereka berdua. Novan menghela napas lega begitu Kirana menjauh. Andi menepuk pelan pundaknya. “Van? Kamu kenapa? Kok kayaknya agak pucat?” Tanya Andi. Novan melambaikan tangannya. “Nggak, nggak apa kok.” Ia mengadahkan kepalanya dan menegakkan pundak. Ia menarik napas dalam. “Kelas yuk.” Novan berjalan lebih dulu daripada Andi. Dia ingin sampai di kelas lebih cepat. Ia merogoh kantung celananya. Ia belum minum obat. Dia harus minum obat segera, sepertinya. Novan langsung duduk di kursinya begitu tiba di kelas. Ia mengeluarkan obat yang ada di kantung celananya. Ia membuka bungkusnya dan menegaknya. Ia meraba- raba untuk mengambil minum, tapi apes. Dia lupa kalau tidak bawa botol minum, padahal obatnya sudah di ujung tenggorokan. “Nih nih air!” Andi menyodorkan botol minumnya. Novan menegaknya sampai obatnya tertelan. Ia menghela napas lega. “Kamu kok minum obat? Kamu sakit?” Tanya Andi. “Iya, dia kan kemarin itu izin untuk pergi berobat katanya,” jawab Gilang yang datang menghampiri. Andi melongo. “Hah? Beneran?” Tanya Andi kaget. Novan mengangguk. “Kamu sakit apa memang?” “Ya .. biasalah. Penyakit bawaan kecil, lagi kambuh. Jadi ya, harus minum obat,” jawab Novan. Andi mangut- mangut. “Kamu kalo ada apa- apa, kalo semisal mau kambuh gitu atau apa bilang. Jangan diem- diem aja ya. Bahaya itu.” Novan mengangguk. Ia tersenyum kecil. “Iya, iya.” Yah, tapi kayaknya kamu nggak bisa banyak bantu juga. Karena kamu nggak mengerti dan nggak paham yang aku rasakan, gumam Novan dalam hati. Ya sudahlah. Memang hanya kita sendiri yang bisa menolong diri ini, bukan? **** Tidak ada guru di jam pelajaran Biologi. Katanya, seluruh guru sedang rapat di ruang Kepala Sekolah. Karena itu banyak murid yang pergi ke kantin. Lagipula bu Julia sedang tidak di tempat juga. Katanya sih, beliau pergi dinas di luar sekolah. Sekolah tanpa bu Julia, jelas kabar gembira yang jarang di rasakan, mengingat bu Julia nyaris tidak pernah absen. “Novan! Mana Novan?!” Tanya Karyo heboh. Ia tergopoh- gopoh pergi ke kelas Novan. Novan yang sedang asyik main game dengan Andi dan Gilang di sudut kelas menoleh. “Tuh Novan di sana,” ujar Iwan sambil menunjuk ke sudut kelas. Karyo mendongak dan menghampiri mereka. “Van, kamu nggak baca chat aku ya?” Tanya Karyo. Novan mengernyitkan alisnya. “Kamu ada chat aku ya? Bentar.” Novan keluar dari aplikasi game dan membuka aplikasi chat. Benar saja, ternyata Karyo spam chat. Dia lupa kalau ia mematikan semua notifikasi kalau sedang main game. “Oh ya, ada. Sori, aku matiin notif tadi,” jawab Novan. “Pinjem Novannya bentar ya!” Pinta Karyo pada Andi dan Gilang. Ia menarik Novan pergi keluar kelas. “Kenapa sih? Kok kamu panik gitu? Ada yang gawat?” Tanya Novan heran. Karyo berdecak kesal. “Ya gawatlah! Kamu ini! Kamu belum baca ya semua chat dari aku hah? Capek aku jelasin di chat, untung lagi nggak ada guru!” “Belum, memang kenapa?” Karyo menepuk jidatnya. “Tadi Kirana ada bilang kan sama kamu, kalau kita kudu bantu anak danus buat jualan risol istirahat nanti?” Tanya Karyo. Novan mengangguk. “Terus kamu inget nggak yang aku bilang semalam? Kalau ada yang mau joki?” Novan melongo da menepuk jidatnya. s****n. Dia lupa soal itu. “Ah iya, aku baru inget! Jadi gimana ini? Kan gawat kalau si Kirana tau.” “Makanya! Aku juga bingung ini. Mana si Kirana udah spam chat, udah suruh aku ke tempat kang Ujang.” Karyo berdecak kesal. Ia mengeluarkan smartphone dari saku celana. Novan juga mengecek smartphone yang bergetar sedaritadi. “Eh, ini si Kirana telpon aku!” “Angkat angkat!” Perintah Karyo. Novan mengeleng. “Nggak, nggak mau. Kamu aja!” Ia memberikan smartphone pada Karyo. Karyo berdecak kesal dan mengangkat telpon dari Kirana. “Halo Kir? Ah, iya. He’eh. Oh? Ini Karyo …” Karyo berbicara dengan Kirana di ujung sana. “Oh iya, ini aku lagi jemput si Novan. Iya, di kelas dia. Kalian udah ngumpul di sana ya? Oh ya udah, kami nyusul aja nanti ya. Eh Kir, tapi aku mau ke toilet bentar nih ye, biar si Novan yang nyusul duluan, oke?” Novan melongo. Karyo memberi kode dengan menganggukan kepalanya. Novan menepuk jidatnya. Setelah menutup telpon, ia mengembalikan smartphone ke Novan. “Kok aku duluan yang pergi kesana?!” Protes Novan. “Tolong Van. Kamu ke sana duluan ya? Biar aku pergi ke gudang itu buat ambil tugasnya, nanti aku simpen di dalam gudang dulu tugasnya. Ya? Ya?” Pinta Karyo. Novan mengeleng. “Nggak, nggak! Pergi sama aja! Aku nggak mau pergi sendiri ke sana Yo!” Tolak Novan. “Tolong Van, ini kan ide kamu juga. Demi kebaikan bersama juga ..” “Tapi aku nggak ada kenal mereka woi. Aku nggak deket sama mereka.” “Nggak apa, mereka baik- baik kok. Nggak bakal gigit kamu dah pokoknya, yang agak brutal palingan si Gisel,” ujar Karyo. “Udah ya, aku titip pokoknya. Aku ke gudang duluan, tolong bilangin ke Kirana ya!” Karyo pergi menjauh dari kelas, meninggalkan Novan seorang diri di depan kelas. Novan melongo. “Eh Yo! Tunggu!!” **** Novan menelan ludah. Ia merutuk Karyo dalam hati. Akhirnya ia terpaksa ke kanting kang Ujang sendirian. Tadinya ia mau ikut kabur dengan Karyo, tapi apes. Ia malah berpapasan dengan Kirana di tengah jalan dan terpaksa mengikuti Kirana. “Permisi kang Ujang, kami mau ambil risol yang tadi di titip sama Dewi,” ujar Kirana di pintu kantin. “Oh iya, tadi ada di bilang sama neng Dewi. Kalian dari danus ya? Iya iya, ini neng Kirana risolnya.” Kang Ujang membuka pintu kantin dan memberikan kotak berisi risol. “Makasih banyak ya kang, maaf ngerepotin.” Kirana menerima kotak berisi risol itu. “Sama- sama. Kalian nggak titip aja itu risolnya di kantin? Jadi kalian kan nggak perlu jualan ke kelas- kelas gitu,” tanya kang Ujang. “Ada kok kang, itu udah Kirana sisain buat di taruh di kantin.” Kirana menunjukkan kotak kecil berisi risol di antara jajaran gorengan yang di jual. “Oh itu punya kalian ya? Saya kira guru di sini yang titipin jualanannya. Enak risolnya, tadi kang Ujang ada cicip beberapa. Mantap! Pinter masak juga kalian!” Kang Ujang mengacungkan kedua jempolnya. “Syukurlah kalau enak. Kang Ujang, nanti kalau ada yang beli, tolong uangnya di pisah ya sama yang lain. Nanti pulang sekolah Kirana ambil ya,” pinta Kirana. Kang Ujang mengangguk. “Oh ya, yang kang Ujang cicip tadi gratis. Sampel buat kang Ujang.” “Wah, makasih banyak neng! Baik banget ih kamu neng. Semoga laris ya, kalian, jadi bisa bikin acara megah kayak dulu lagi!” Kang Ujang mendoakan. “Amin. Makasih kang Ujang. Kami permisi dulu ya kang, mari …” Pamit Kirana. “Oh ya, hati- hati ya neng bawanya.” “Iya kang. Ini aku titipin ke si Novan kok.” Kirana memberikan kotak risol itu pada Novan. Novan menangkup kotak itu agar tidak jatuh. Tangannya mulai basah. “Oke guys. Kita memang belum ngumpul semua ya, tinggal si Karyo doang yang belum. Entah kemana dah tuh anak, ke toilet aja lama kali kayak cewek,” gerutu Kirana. “Jadi kalian, ini kita bagi tugas ya. Dewi dan Thalita, kalian jualan di sekitaran kelas 10 ya. Terus Gisel dan Fio, kalian di kelas 11 IPA, aku kelas 11 IPS, Karyo dan Novan, kalian di kelas 12 ya.” Kirana membagikan tugas. “Ini, udah aku taruh semuanya di dalam kotak kecil ini ya. Ingat, dua buah 3000 ya. Kasih aja sampel satu buat nyicip, satu aja. Jangan banyak- banyak. Oke guys?” Kirana mengacungkan jempol, yang di balas juga dengan yang lain, kecuali Novan. Ia masih berkutik di tempatnya. “Oke, bubar terus ya ke tempat masing- masing. Nanti selesai istirahat kita kumpul dulu sebentar di sini.” Mereka bubar menuju ke tempat yang di tugaskan. Hanya Novan yang masih berdiri diam di tempatnya. Di mana kelas 12? **** Novan menghela napas lega begitu melihat Karyo di ujung sana. Karena ia tidak tahu di mana letak kelas 12, jadi dia duduk di kantin sambil membuka kotak berisi risol itu. Barangkali ada yang melihatnya dan tertarik untuk membeli. Tapi sedari tadi belum ada yang beli risol darinya. “Sini woi!” Novan melambaikan tangan. Karyo menghampirinya. Ia tampak terengah- engah. “Mana yang lain?” Tanya Karyo sambil celingak- celinguk. “Udah bubar. Jualannya pisah- pisah, udah Kirana tentuin tempatnya. Kita berdua di suruh jualan di kelas 12,” jawab Novan. “Terus kamu kenapa nggak langsung ke kelas 12 aja?” Tanya Karyo. “Memang kelas 12 di mana?” Tanya Novan balik. “Ah iya, aku lupa kalau kamu anak baru.” Karyo menutup kotak isi risol itu dan mengambilnya. “Ya udah, ayo. Nanti keburu habis jam istirahat.” Novan bangkit dari duduk dan pergi mengikuti Karyo. Ternyata kelas 12 ada di lantai 3, lantai paling atas. Lorong kelas 12 tampak lebih sepi daripada lorong kelas yang lain. “Kayaknya mereka lagi pada di kelas, belajar buat persiapan ujian univ,” ujar Karyo. Novan mangut- mangut. “Kalau sepi gini, gimana kita mau jualan?” Tanya Novan. “Tenang aja, aku ada cara kok.” Karyo mengeluarkan smartphone dan menekan suatu nomor. Terdengar nada panggilan tersambung di sana. “Hallo,” sapa seseorang di ujung sana. “Halo kak. Kakak dimana? Karyo lagi di lorong kelas 12 nih,” tanya Karyo. “Kelas nih. Kamu ngapain ke kelas 12 hah?” tanya seseorang di ujung sana. “Ini, biasalah danusan yak. Jualan risol,” jawab Karyo. “Kamu di kelas 12 mana nih?” “Kelas …” Karyo celingak- celinguk. “Oh, di kelas 12 IPS 3. Deket situ dah pokoknya, deket tangga.” “Ya udah tunggu situ.” Telpon di matikan. Karyo memasukkan kembali smartphone ke saku celananya. Dia melirik Novan. “Tenang, udah datang bala bantuan,” ujar Karyo. Novan mengernyitkan alis. Tak lama, seorang anak perempuan datang menghampiri kami. Ia memakai badge kelas XII di lengan bajunya. “Ck, ini danusan dari dulu jualan risol mulu dah,” gerutu anak perempuan itu. “Emang, kayak habis ide udah. Nggak tahu lagi mau jualan apa,” gerutu Karyo. Anak perempuan itu melirik Novan. “Siapa nih?” Tanyanya sambil menunjuk Novan. “Oh, anak baru. Dia anak danusan juga. Namanya Novan. Van, kenalin. Ini kakak kelas, tetanggaku. Namanya kak Niki.” Karyo memperkenalkan anak perempuan itu. “Hai, Niki, kelas 12 MIPA 3.” Anak perempuan itu memperkenalkan diri. Ia menyodorkan jabatan tangan. Novan tidak membalasnya, ia menangkup tangannya di d**a. Kak Niki menurunkan jabatan tangannya. “Kak, bantu kami jualan kek. Enak nih risolnya, rugi kalo nggak beli. Nih cobain!” Karyo menyodorkan sampel pada kak Niki. Ia menerimanya dan langsung melahapnya, lalu mangut- mangut. “Iya ya, enak. Isinya banyak juga. Hem, bisa nih bisa. Sini sini aku bawa!” Kak Niki mengambil kotak risol itu dari Karyo. “Ayo, kita mulai jualan!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN