Chapter 32

1250 Kata
“Hah? Wisma punya bapak?” Tanya Rendra. Pak Gugun mengangguk. Ia memberikan sebuah pamflet pada Rendra. “Ini wisma lama. Usaha yang saya jalanin selama beberapa tahun. Awalnya sempat ramai sih, tapi lama kelamaan jadi sepi. Saya salah strategi, sepertinya. Karena membuat wisma yang agak jauh dari kota. Sekarang wisma itu udah gak ada yang tepati. Udah beberapa bulan terakhir kosong. Saya sering ke sana, ngecek keadaan sambil bersih- bersih. Hanya sisa 2 pegawai setia di sana, kalian bisa hubungi mereka nanti setiba di sana. Nomor mereka tertera di sana.” Pak Gugun menunjukkan contact person yang ada di pamflet. “Itu nomor pegawai saya, Rani dan Rian.” “Mereka tinggal di sana? Mereka ada di sana kan pak?” Tanyaku beruntun. Pak Gugun mengulum bibirnya dan mengangguk ragu. “Sepertinya,” jawab pak Gugun. “Kok sepertinya pak? Kan mereka pegawai bapak,” tanyaku balik. “Yah, sepertinya. Biasanya mereka stay di wisma, ada kontrakan mereka juga di sebelah wisma. Tapi masalahnya, udah berapa hari ini saya tidak bisa menghubungi mereka. Saya juga belum ada ke sana, udah sebulan gak ke sana karena waktu itu sempat sakit parah.” Pak Gugun menjelaskan. “Loh? Mungkin ada sesuatu yang terjadi sama mereka pak.” Pak Gugun mengangguk pelan. “Ya, saya harap juga bisa pergi ke sana. Tapi kondisi saya saat ini juga tidak memungkinkan untuk pergi jauh.” “Pak, apa boleh saya periksa bapak?” Dokter Akar menawarkan. “Apa boleh? Ini di luar jam anda praktek,” tanya pak Gugun tidak yakin. Dokter Akar mengangguk. “Boleh pak. Saya ada bawa beberapa alat periksa dan obat di kotak P3K, bisa saya pakai untuk memeriksa bapak,” jawab dokter Akar. “Syukurlah kalau bisa. Saya akan sangat terbantu.” “Sebentar pak, biar saya ambil tahs P3K di mobil. Bapak boleh menunggu di sini.” “Boleh saya di periksa di kamar saja?” Tawar pak Gugun. Dokter Akar mengangguk. “Boleh, senyaman pak Gugun saja.” “Baiklah. Saya tunggu di kamar.” Pak Gugun pergi meninggalkan ruang tamu bersamaan dokter Akar pergi keluar. Kami menunggu di ruang tamu sambil menikmati cemilan pisang goreng dan teh hangat yang belum habis. Tak lama, dokter Akar balik sambil menenteng tas P3K yang besar dan stetoskop yang menggantung di lehernya. “Loh ini dokter beneran dokter ya?” Celetuk Dudut. Kami tergelak. Dokter Akar cemberut. “Memangnya kamu kira saya apa sebelumnya? Kan udah jelas saya di panggil dokter sama kalian,” jawab dokter Akar. “Yah, saya kira kan itu panggilan aja,” ujar Dudut. Kami geleng- geleng kepala. “Memang, dokter kalo gak pakek jas putih sama stetoskop gak nampak kayak dokter,” timpal Kara. Aku dan Rendra mangut- mangut setuju. “Iya, malah kelihatan kayak sugar daddy sih,” celetukku. Dokter Akar menjitak kepalaku pelan. “Ngaco kamu!” Ujar dokter Akar. “Udah ah. Saya mau ke kamar pak Gugun dulu. Dimana kamarnya?” “Di dapur, lihat aja ada pintu lain gitu di sudut. Itu kamarnya.” Aku memberitahu. “Oke thanks. Selagi saya periksa pak Gugun, kalian langsung kemas barang dan kumpul lagi di sini ya!” Pinta dokter Akar. “Iya dok.” **** Kami kembali ke kamar masing- masing. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Tak banyak barang yang perlu aku kemas. Aku belum membongkar isi tas, hanya mengeluarkan satu baju saja sejak kemarin. Aku mencium baju yang kupakai. Oke, ini saatnya aku ganti baju. Aku menatap diriku di cermin meja rias. Aku menatap wajahku lamat- lamat. Agaknya kompres mata itu bekerja dengan baik. Bengkak di mata sudah berkurang. Masih agak nampak sih, tapi sudah jauh lebih mendingan daripada tadi pagi. “Gak apalah, udah lumayan kok. Nanti juga bakal kempes sendiri,” gumamku. Aku memperhatikan wajahku di cermin sekali lagi. “Mirip banget ya memang.” Aku dulu tidak percaya kalau ada yang bilang aku mirip dengan papa. Menurutku kami itu berbeda jauh. Malah rasanya aku lebih mirip dengan mama. Tapi melihat foto papa sewaktu muda, jelas itu sangat mirip denganku, versi laki- laki. Mungkin kalau aku jadi laki- laki, bakal seganteng papa. “Tapi nanti tuanya bakal mirip kayak papa. Enggak deh.” Aku mengelengkan kepala. “Ah, ngaco. Udah deh, aku mending kemas aja.” Aku mengambil baju yang aku gantung di belakang pintu dan melipatnya. Aku mencium badanku. Bau. Ah. Aku baru ingat, kalau aku belum mandi dari kemarin. “Mandi dulu deh ya mending. Sekalian ganti baju.” Aku mengambil handuk dari dalam tas. Aku hendak keluar, tapi aku teringat akan sesuatu. “Kamar mandi dimana ya?” **** Aku celingak- celinguk memperhatikan sekitar. Sepi. Semuanya masih di dalam kamar. Aku menenteng handuk di bahu dan menjinjing keranjang sabun. Aku bolak- balik tak tentu arah. Duh, kamar mandi dimana ya? Aku mau nanya pak Gugun, tapi sepertinya dia masih menjalankan pemeriksaan dengan dokter Akar di kamar. Aneh sekali, tumben tidak ada robot yang berkeliaran di luar kamar. Biasanya mereka ada di ruang tamu untuk bersih- bersih. Tapi sekarang sepi tak ada siapa pun. “Sedang apa di sini?” Tanya sebuah suara di belakangku. Aku tersentak kaget dan menoleh ke belakang. Oh, ternyata ada robot di sini. Aku menghela napas lega. “Ya ampun, kamu bikin kaget saja,” gumamku. “Anu, kamar mandi di mana ya? Saya mau mandi,” tanyaku. “Ikut saya.” Pinta robot itu. Aku mengikuti robot itu. Anehnya, robot itu malah pergi ke teras. Aku mengernyitkan alis. “Loh? Kok ke teras?” Tanyaku heran. Robot itu tidak menjawab. Ia terus berjalan menuruni teras. Aku mengedikkan bahu dan memilih mengikuti robot. Semoga aja ini robot gak sesat kasih jalan. “Ini kamar mandinya nona.” Robot itu berhenti di salah satu ruangan yang ada di luar rumah. Aku melongo. “Hah? Ini kamar mandinya?” Tanyaku tak percaya. Ia mengangguk. “Benar nona. Ini kamar mandi di rumah ini.” Aku terpenjat kaget. Siapa yang mendirikan kamar mandi di luar rumah? Apa semua rumah tradisional seperti ini? Aku geleng- geleng kepala. Entah apa jadinya kalau mereka gerah di malam hari dan ingin mandi. Kayaknya bakalan lebih milih kegerahan daripada harus pergi mandi dengan kamar mandi di luar seperti ini. “Silakan nona.” Robot itu membuka pintu kamar mandi. Seketika aku melongo lebar. Hei, jangan nilai apapun dari luarnya. Seperti kamar mandi ini. Pintu luarnya memang nampak lusuh dan tidak meyakinkan, tapi bagian dalamnya berhasil membuatku terpana. Ini bahkan lebih besar daripada kamar mandi yang ada di hotel. Tampak seperti pemandian umum, dengan bath tub yang sangat besar dan beberapa shower tersampir di dinding. “Ini bath tub air hangat, di lengkapi dengan aroma bunga mawar.” Robot itu menjelaskan. Benar, aroma harum bunga mawar tercium dari bak itu. Bak itu lengkap dengan hiasan kelopak bunga mawar. “Dan shower ini, bisa untuk air dingin dan air panas. Anda tinggal menyetelnya saja di sini.” Ia menunjukkan sebuah tombol yang ada di gagang shower. “Sudah di sediakan shampo dan sabun juga, kalau anda ingin memakainya.” Aku mangut- mangut. “Tapi saya ada bawa sendiri.” Aku menunjuk keranjang yang sedari tadi aku jinjing. “Kalau ada yang kurang, anda bisa tekan tombol ini. Robot akan memberikan yang kurang untuk anda.” Robot menunjuk sebuah tombol di dekat pintu. “Ini tombol untuk kunci. Tekan lagi untuk membuka pintu.” Aku mangut- mangut. “Baik baik, terima kasih banyak!” Aku mendorong robot keluar dan segera mengunci pintu. Aku tidak sabar ingin berendam di bak mawar! ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN