Bab 108

2234 Kata
Novan baru masuk ke kelas saat bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Sebenarnya sejak sadar tadi dia sudah mendingan, tapi dia lebih memilih tetap di UKS. Toh, dia juga sudah dapat izin, ya harus di gunakan. Kelas riuh rendah karena guru pelajaran setelahnya belum masuk. Novan menyusup masuk ke dalam kelas dan duduk di tempatnya. “Eh Van. Kamu udah nggak apa?” Tanya Andi. “Yah, udah mendingan. Tadi ada tugas? Kuis? Atau apalah?” Tanya Novan. “Nggak ada apa- apa sih, tugas juga nggak ada. Beliau tadi nggak lama juga masuknya, bentaran doang karena ada perlu gitu bentar di luar katanya.” “Oh, baguslah kalau begitu.” “Van? Kamu beneran nggak apa? Nggak perlu telpon ke rumah gitu?” Tanya Andi. “Untuk apa? Biar di jemput, terus pulang gitu? Cuma pingsan doang, bukan yang sampai parah gitu,” tolak Novan. Andi dan Gilang terbelak. “Pingsan doang bah katanya. Rada- rada emang nih anak kayaknya,” komentar Gilang. “Bisa- bisanya kamu bilang pingsan doang Van …” Komentar Andi. “Guys, aku nggak apa. Tenang. Nih lihat, aku nggak apa kan? Sehat- sehat aja kan? Udah di bilangin nggak apa- apa!” Novan menepuk pundak kedua temannya. “Ya, terserahmu lah. Jangan sampai pingsan lagi tapi nanti ya,”ujar Andi. “Nggak, nggak akan! Tenang aja!” “Wei, wei, guru udah datang!” Iwan memberitahu sambil mengintip di balik pintu kelas. Semua langsung duduk rapi di tempatnya. Tak lama kemudian, ibu guru masuk ke dalam kelas. Langkah kaki dari sepatu hak tinggi terdengar nyaring. “Selamat siang anak- anak,” sapa bu guru. “Siang buk..” Balas anak- anak serempak. Bu guru menaruh bukunya di meja dan menatap sekeliling kelas. Ia mengelilingi seisi kelas dan berhenti di meja Novan. “Kamu yang anak baru itu kan? Yang tadi pingsan ya katanya? Sekarang udah nggak apa?” Tanya bu guru itu. “Ah eh … iya buk … udah gak apa …” Jawab Novan terbata. “Kamu kalo masih nggak enak badan, istirahat aja di UKS lagi. Atau kamu mau pulang aja? Kalo nggak enak badan nggak apa pulang aja,” ujar bu guru. Novan mengeleng. Tidak perlu pulang, dia masih kuat. “Nggak, nggak apa bu .. saya kuat kok …” “Ya sudah. Ndi, tolong kamu lihat- lihat juga ya temanmu ini,” pinta bu guru. Andi mengangguk. “Iya baik bu.” Andi melirik Novan. “Kamu kalo nggak enak badan bilang aja ya.” “Iya, nggak apa kok.” Ibu guru pergi meninggalkan meja Novan dan kembali ke depan kelas. “Baik, kalau begitu hari ini kita lanjut kek bab selanjutnya ya. Buka halaman … 70 …” **** Bel pulang sekolah berdering dengan nyaring. Murid- murid langsung menenteng tas masing- masing sebelum guru selesai mengajar. “Oke. Pelajaran kita sudahi sampai sini. Selamat pulang anak- anak.” Guru menenteng semua buku dan keluar dari kelas, berbarengan dengan murid- murid yang berbondong- bondong keluar dari kelas. Smartphone Novan yang ia taruh di kantung celananya bergetar. Ia mengeluarkannya. Ada telpon masuk dari Stevan. “Hallo Van.” “Hallo. Kamu udah pulang belum? Mau aku jemput?” Tanya Stevan di ujung sana. “Boleh, kalau kamu nggak sibuk. Kalau sibuk mending nggak usah aja,” jawab Novan. “Nanti ngerepotin.” “Nggak apa, ini udah masuk jam istirahat kok. Aku juga lagi di luar, kebetulan. Kamu nunggu aja di gerbang ya, aku otw nih.” Stevan mematikan telpon. Novan memasukkan kembali smartphone ke kantung celananya. “Woi Van!” Sapa Andi. Ia merangkul Novan. “Kamu gimana pulangnya? Naik angkot apa di jemput? Kalau nggak di jemput mending aku antarin pulang aja.” Andi menawarkan. “Nggak usah Ndi, aku udah minta jemput kok sama abangku tadi,” tolak Novan. Jangan sampai deh Andi tahu rumahnya. Nanti dia bakalan sering main ke rumahnya. Dia tidak suka kalau ada teman mampir ke rumah. “Oh, oke. Abangmu udah di jalan?” Tanya Andi. “Iya, tadi dia bilang lagi otw kemari sih,” jawab Novan. “Suruh tunggu di pagar depan katanya.” “Oh, ya udah. Kalau begitu sekalian aja yuk. Aku juga mau ke parkiran, ambil motor,” ajak Andi. “Boleh juga.” Mereka pergi ke parkiran yang ramai. Motor berlalu lalang keluar dari parkiran itu satu persatu. Andi masuk ke parkiran, sedangkan Novan jalan dengan hati- hati ke gerbang sekolah. Ia menunggu di dekat pos satpam. Sebuah motor berhenti di depannya dan menyalakan klakson. Pemilik motor melepas helm dan tampaklah Andi di sana. Ia memarkirkan motornya di dekat pos satpam dan duduk di sebelah Novan. “Nggak langsung pulang Ndi?” Tanya Novan. “Nggak, aku tunggu kamu di jemput aja dulu,” jawab Andi. “Lah, kalo abangku jemputnya lama gimana? Udah kamu pulang aja duluan Ndi.” “Nggak apa. Nggak ada keperluan kok di rumah. Daripada nanti kamu malah sampai pingsan lagi kayak tadi dan sekolah sepi.” Andi menjelaskan. Ia terbelak mendengar jawaban Andi. Ia tidak menyangka Andi akan sebegitu khawatir dengannya. Belum pernah ia punya teman yang sebegitu perhatian seperti Andi. “Nunggu sambil jajan yuk,” ajak Andi sambil menunjuk pedagang yang menjajakan dagangannya di depan sekolah. “Boleh juga.” Novan menyetujui ajakan Andi. Ia bangkit dari duduk dan mereka jalan beriringan menghampiri pedagang- pedagang itu. “Kamu nggak ada alergi makanan kan? Nanti malah jadi sakit pula karena jajan sembarangan,” tanya Andi. Novan tertawa kecil dan mengeleng. “Enggak. Tenang aja, aku nggak sebegitu lemah kok. Biasa mah jajan kayak gini.” Novan menepuk pundak Andi pelan. “Ada telur gulung nggak? Enak nih telur gulung.” “Itu ada tuh, sebelah cilok.” Andi menunjuk pedagang yang di kerumuni oleh anak- anak SD yang sedang jajan. Novan bergabung dengan kerumunan anak- anak SD itu. “Mas, telur gulungnya lima ribu ya,” ujar Novan pada pedagang telur gulung. “Oke mas. Bentar ya, pesanan anak- anak ini dulu,” jawab pedagang itu sambil menunjuk anak- anak SD. Novan mengangguk. “Aku beli cilok di sebelahnya ya,” ujar Andi memberitahu. “Nitip ya, ciloknya di goreng kalau bisa. Kalau nggak, ya nggak apa. Nitip pakai kuah kacang dan jangan lupa, saus yang banyak!” Pinta Novan. “Oh ya, biasa ya, lima ribu.” “Banyak amat kamu jajannya Van,” komentar Andi. Novan nyengir lebar. Andi pergi ke pedagang cilok tepat di sebelah pedagang telur gulung. Novan menunggu sambil mengamati pedagang telur gulung yang sedang membuat pesanan. Dulu, Novan pernah mencoba membuat telur gulung di rumah. Niatnya ingin menghemat uang jajan, karena ia sering di omelin ibu saking seringnya jajanan telur gulung. Akhirnya dengan sangat sok tahu, ia coba membuat telur gulung di rumah, dengan pengetahuannya yang seadanya, hasil melihat abang telur gulung di depan sekolahnya. Tapi tidak ada yang berhasil. Tidak ada telur yang berhasil tergulung di tusukan, malah jadinya telur dadar ngembang yang gosong. Setelah beberapa percobaan, ia tidak melanjutkan lagi karena ibunya malah makin ngomel melihat dapur yang berantakan dan mubazir telur. “Mas kok bisa sih mas gulungnya? Saya pernah coba di rumah, malah nggak lengket. Nggak tergulung, terus gosong pula,” tanya Novan. Pedagang telur gulung tertawa kecil mendengar penuturan Novan. “Nggak tahu juga sih ya mas. Saya mah coba terus sampai bisa, dulu cuma sering bantu ibu saya masak aja. Lama- lama ya kebiasa,” jawab pedagang telur gulung. “Lihat- lihat aja cara masak orang mas, entar lama- lama bisa juga.” “Saya udah sering nengokin mas- mas yang jual telur gulung dari dulu, tapi waktu saya coba masih gagal juga mas.” “Ya berarti abang gak bakat masak,” timpal seorang anak SD di sana. Pedagang telur gulung tertawa kencang. “Nah, mungkin juga karena itu mas, nggak bakat. Makanya gagal terus. Kalo di terusin nanti malah jadi rusak dapur mas nanti,” tukas pedagang telur gulung. “Ini pesanan mas. Nih saya lebihin satu, kali aja habis makan ini mas bisa buat telur gulung di rumah. Tapi jangan di jual dekat sini ya, nanti saya ada pesaingnya.” Pedagang telur gulung memberikan sebungkus telur gulung yang sudah di berikan saus merah. Novan mengambilnya dan memberikan uang lima ribuan pada pedagang telur gulung. “Makasih mas. Nggak saya jual kok, kalo udah bisa saya buat, bakal saya makan sampai puas di rumah,” ujar Novan, lalu melengos pergi dari sana. Ia menghampiri Andi yang masih menunggu cilok di sebelah. “Belum Ndi?” Tanya Novan sambil menepuk pelan pundak Andi. Andi menoleh. “Belum nih, masih rame bocah- bocah. Kamu udah?” Tanya Andi. Novan mengangguk dan menunjukkan bungkusan telur gulung. “Di kasih bonus satu,” ujar Novan. “Wah, enak banget dong,” komentar Andi. “Di kasih lebih biar bisa masak telur gulung sendiri di rumah,” sambung Novan. Andi mengernyitkan alis dan tertawa kecil. “Lah memang apa hubungannya?” Tanya Andi. Novan mengangkat bahu. Andi geleng- geleng kepala. Ia mengeluarkan satu tusuk telur gulung dari sana dan memakannya. “Kamu mau nggak?” Novan menawarkan Andi. Andi mengeleng. “Nggak, aku alergi telur,” tolak Andi. Novan mangut- mangut dan lanjut makan sambil memperhatikan sekeliling yang ramai dengan anak SD. Sepertinya hanya mereka saja yang memakai seragam putih abu- abu di sini. “Ini dek, punya adek.” Pedagang cilok memberikan dua bungkus cilok dengan tusukan. Andi mengambilnya dari tangan pedagang cilok. “Makasih bang. Tadi udah aku bayar ya,” ujar Andi sambil menunjuk uang sepuluh ribuan di atas gerobak. Pedagang cilok itu mangut- mangut. Mereka meninggalkan gerobak pedagang cilok dan kembali ke pos satpam. Andi memberikan cilok pesanannya. “Oh ya, belum aku bayar ya. Bentar.” Novan merogoh kantung celananya dan memberikan uang lima ribuan pada Andi. “Lumayan, untuk uang bensin,” gumam Andi sambil mengantongi uang lima ribuan yang di berikan Novan. Mereka menyantap jajanan mereka, sambil memperhatikan anak- anak SD yang berlalu lalang. Mereka juga membeli teh poci biar tidak seret. Sebuah mobil berwarna silver berhenti di depan mereka. Mobil itu menyalakan klaksonnya dan kaca mobilnya sedikit terbuka. Stevan ada di dalam sana, sambil menekan klakson lebih kencang. “Oh, aku udah di jemput. Duluan ya.” Novan menenteng kembali tas sekolahnya. Ia langsung masuk ke dalam mobil. Ia membuka sedikit kaca mobil. Andi menghampirinya. “Halo, kamu temannya Novan ya?” Sapa Stevan ramah. Andi sedikit menundukkan kepalanya. “Iya bang, aku ketua kelasnya. Oh ya bang, tadi nih si Novan sempat pingsan di sekolah, kami bawain ke UKS. Tadi aku tawarin pulang aja, tapi dia nggak mau.” Novan terbelak saat Andi melaporkan kejadian tadi pada Stevan. Stevan mangut- mangut dan melirik Novan dengan tatapan penuh selidik. “Oh, ya ampun. Kok bisa? Kamu nggak ada sarapan apa gimana tadi?” Tanya Stevan penuh selidik. “Ada sarapan kok,” jawab Novan agak jengkel. Novan melirik Andi dengan tatapan tajam. Andi menelan ludahnya. “Makasih ya dek Andi udah kabarin. Lain kali, kalo dia memang sakit di sekolah, dianya nggak mau pulang, kamu paksa aja pulang. Kamu telpon aja saya, atau lapor ke wali kelas,” pinta Stevan. Novan menyikut Stevan. Andi hanya mangut- mangut. “Ah iya bang.” “Ya udah, kami balik duluan ya. Kamu mau bareng?” Stevan menawarkan. “Oh nggak usah bang, saya bawa motor kok.” Andi menunjukkan motor yang ia parkirkan di dekat pos satpam. “Oh oke. Kalau gitu kami duluan ya. Kamu hati- hati di jalan ya,” ujar Stevan. “Iya bang, mari.” Stevan menutup jendela mobil. Samar- samar, ia dapat melihat Andi sedang melambaikan tangan. Perlahan mobil meninggalkan gerbang sekolah. **** Suasana di mobil amat hening. Tidak ada yeng memulai pembicaraan. Stevan terus menatap ke depan sambil menyetir. Novan sedaritadi sibuk dengan smartphone, mengirimkan chat ke Andi berkali- kali sambil memarahinya karena melapor soal kejadian di sekolah pada Stevan. “Tadi kamu kenapa bisa pingsan?” Tanya Stevan saat mereka berhenti di lampu merah. Novan menelan ludah. Ah, dia sudah menduga Stevan akan menanyakannya. “Anu … biasalah … kambuh …” Jawab Novan terbata- bata. Stevan mengernyitkan alisnya. “Kambuh apanya?” Tanya Stevan lagi. “Itu, anu … kambuh … tadi aku di kerumuni sama cewek- cewek angkatan … jadi ya… gitu …” Jawab Novan terbata. Stevan mangut- mangut. “Oh, pantes. Tapi aku nggak nyangka bakalan sampai pingsan. Kamu ada minum obatnya? Rutin?” Tanya Stevan penuh selidik. “Rutin, selalu. Belum ada bolong. Tapi tadi itu memang yang, ramai banget. Hampir cewek seangkatan yang kerumuni. Mana bisa aku tahan lama- lama, paling lama aja palingan 15 menit doang,” jawab Novan membela diri. Stevan mengernyitkan alis. “Cuma 15 menit doang? Bukannya dulu masih bisa ya tahan sejam?” Tanya Stevan. “Yah … itu kan dulu ya … tapi sekarang cuma 15 menit aja … sejak papa dan ibu tinggal bareng,” jawab Novan. Stevan menghela napas panjang. “Kapan papa kamu itu sadarnya sih? Gemes aku lama- lama,” gerutu Stevan. “Kalau kamu makin parah, kayaknya harus lebih rutin kita ke psikiater. Aku ada kenalan professional lain, nanti aku hubungi dia untuk buat janji. Biar aku bawa kamu ke sana.” “Makasih Van,” ujar Novan. Ia sebenarnya tidak enak karena sudah banyak merepotkan Stevan. Stevan jauh lebih perhatian padanya ketimbang kedua orangtuanya. Stevan mengangguk dan “Kamu jangan segan samaku, ingat ya. Kita ini masih keluarga.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN