Bab 109

1001 Kata
Novan merutuk kesal dalam hati. Ia masih di kedai mie setan bersama Iwan dan Gilang. Tadinya ia ingin pulang sebelum adzan maghrib, tapi Gilang dan Iwan melarangnya. Itu tidak membuatnya kesal karena mereka belum bertemu dengan owner mie setan. Tapi yang membuatnya sebal adalah Karyo yang terus spam chat. Kesal, Novan akhirnya memblokir kontak Karyo. Ia akan membukanya nanti, saat dia tiba di rumah. Kalau dia ingat. Ya, kalau dia ingat. “Ngecek hp terus. Ada notif dari ayang ya?” Goda Gilang. “Makanya kalo mau pergi tuh izin dulu sama ayangnya. Bilang, ‘ayang, bebeb pergi dulu ya ayang. Sayang kamu banyak- banyak,’” timpal Iwan. Novan merinding geli mendengarnya. “Cringe, please. Geli dengernya.” Novan menyimpan smartphone ke saku celananya. “Bukan ayang, cuma orang nyebelin. Ayang aja nggak punya.” “Kamu? Nggak punya ayang?” Tanya Gilang tidak percaya. Novan mengangguk dan mengedikkan bahunya. “Kenapa memangnya kalau aku nggak punya ayang?” Tanya Novan balik. Gilang dan Iwan saling bertukar pandang. “Nggak, agak sulit di percaya aja sih. Soalnya kan kamu tuh …” “Cakep! Ganteng! Kata cewek- cewek, gitu. Makanya agak nggak mungkin gitu kalau kamu nggak punya pacar.” Novan mengedikkan bahunya. “Ya …. Emangnya kenapa? Aku juga nggak tertarik dengan pacaran atau apalah itu ya.” Bahkan dekat dengan perempuan aja aku takut, gimana mau pacaran coba? Gumam Novan dalam hati. “Udah, emang paling bener tuh jomblo aja sih Van sebenarnya.” Iwan menepuk pelan pundak Novan. “Kan kamu taken, Wan. Kenapa bilang gitu pula?” Tanya Gilang. Iwan mendengus kesal. “Biasalah. Kan kamu tau tuh si Thalita gimana kan ya. Kadang aku kurang bebas gitu karena banyak banget dia nanya kalau mau izin keluar. Kena introgasi mulu.” Iwan geleng- geleng kepala sambil memegang jidatnya. “Thalita? Thalita kelas 10?” Tanya Novan memastikan. “Iya, yang satu divisi sama kamu itu!” Jawab Iwan. Novan sedikit terbelak. “Kamu bilang gitu, tapi kalian sendiri udah lama pacarannya. Udah hampir 2 tahun juga kan kalian …” Tukas Gilang. “Lah, udah lama juga toh.” “Iya, mereka udah pacaran dari SMP. Dulu mereka satu sekolah, jadi ya gitulah.” Gilang menunjuk Iwan dengan dagunya. “Kalau memang dianya kayak gitu, kenapa nggak kamu putusin aja? Kan bikin kamu risih gitu.” “Gimana ya … namanya juga udah sayang ya, jadi susah buat putusinnya. Buruknya dia cuma satu itu, tapi baiknya dia ada banyak.” Gilang dan Novan saling tukar pandang, lalu geleng- geleng kepala. “Oalah bucin,” gumam mereka berbarengan. Iwan meringis. “Permisi kak.” Seorang pelayan datang dan menaruh satu persatu pesanan yang ada di nampan. “Pesanannya kak, kentang goreng Perancis satu, soda gembira satu, dan big parfait jumbo satu.” “Hah, anu, kami nggak ada pesan …” Ujar Gilang tampak kebingungan. “Aku yang pesan.” Novan mengambil kentang goreng ke depannya. Ia mencocol satu kentang goreng dengan saus dan memakannya. Gilang dan Iwan terbelak. “Kamu? Pesan sebanyak ini? Buat apa?” Tanya Iwan. “Ya buat di makanlah.” Novan menggigit kentang goreng di potongan kedua. “Kalian kalau ambil aja, aku pesan banyak buat makan bareng kok.” “Bener nih? Thank you ya!” Iwan mengambil sendok dan menyuap big parfait jumbo. Parfait ini benar- benar besar dan tinggi. Saking tingginya sampai menutupi Iwan dan Gilang. “Ini kamu ada apa kok pesan makanan banyak gini?” Tanya Gilang heran sambil menyendok parfait. “Nggak apa, lagi lapar aja,” jawab Novan bohong. Iya, dia bohong kalau lapar. Sebenarnya dia sudah kenyang. Ia memesan banyak makanan untuk menghilangkan rasa kesalnya saja. Urusan bakalan muntah itu nanti saja. “Ternyata porsi makan kamu gila- gilaan juga ya, udah kayak lagi mukbang aja,” komentar Iwan. Novan meringis. Yah, kayaknya dia bisa bikin video mukbang kalau dirinya sedang kesal atau marah. “Lagi banyak uang jajan ya?” Gilang menyikutnya. “Nggak juga sih, kebetulan kan di sini juga pada murah- murah.” Sebenarnya Novan memesan ini semua tanpa pikir panjang. Ia agak ketar- ketir juga sih kalau uangnya tidak cukup. Ya sudahlah, kalau tidak cukup, dia tinggal menawarkan diri untuk cuci piring saja. ***** Novan akhirnya tiba di rumah saat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ia mematikan motor 10 meter sebelum sampai rumah dan mendorongnya. Bukan karena habis bensin, tapi biar tidak ada suara bising yang membangunkan papa. Ia melihat mobil papanya sudah terparkir, tanda beliau pulang lebih cepat hari ini. Ia membuka pintu pagar dengan perlahan dan mendorong motornya masuk, lalu memarkirkannya di sebelah mobil. Ia masuk ke rumah lewat pintu belakang. Ia mengendap- endap masuk ke dalam dan meraba- raba sekitar. “Ehem.” Terdengar suara berdehem yang khas. Novan menghentikan langkahnya dan saat itu pula, lampu ruang tengah menyala. Papa duduk di sofa ruang tengah, bersama dengan ibunya. “Novan pulang, pa,” ujar Novan. Ia mendekati papanya dan menyalami tangannya. “Darimana saja kamu?” Tanya papa penuh introgasi. “Pergi buat tugas pa, ada tugas wawancara di kedai mie setan sana,” jawab Novan. “Kenapa papa nggak tahu?” “Karena papa belum pulang tadi. Tapi aku udah izin sama ibu.” Novan melirik ibunya yang duduk manis di sebelah papa. Ibu mengerlingkan matanya. “Ibu nggak ada bilang sama papa,” ujar papa. Ia melirik istrinya. “Maaf pa, mama lupa bilang ke papa. Iya tadi Novan memang bilang pergi, tapi nggak bilang pergi kemana dan katanya pergi sebentar aja.” Ibu menjelaskan. Ia gelendot di lengan papa. “Katanya sebentar, tapi kok lama pulangnya?” Tanya papa. Ia melirik Novan tajam. “Ya, kan wawancara ownernya. Baru ketemu ownernya tadi, jadi lama pulangnya,” jawab Novan. “Tapi kenapa kamu masuknya ngendap- ngendap gitu, kayak habis kabur?” Tanya papa penuh introgasi. “Biar nggak menganggu. Udah ya, aku ke kamar dulu.” Novan balik badan dan menaiki anak tangga perlahan. “Kamu udah makan?” Tanya papa. “Udah.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN