Bab 107

2256 Kata
Bel jam pelajaran selesai pun berbunyi. Pak Broto membereskan kertas jawaban kuis dadakan dan memasukannya ke dalam tas. “Sudah selesai jam pelajarannya. Kalau begitu bapak pamit dulu. Saya harap nilai kalian aman, yang tidak aman siap- siap saja kena remedial,” ancam pak Broto. Sekelas tercekat dan menelan ludah. “Semoga beruntung.” Pak Broto pergi meninggalkan kelas. Baru beberapa langkah pak Broto meninggalkan kelas, kelas langsung riuh. Mereka mengeluh tentang kuis dadakan yang soalnya susah. “Gimana tadi Van? Kamu bisa jawabnya?” Tanya Andi. Novan menghela napas. “Entahlah, udah pasrah aja tadi kerjainnya. Cuma bisa berharap kepada Tuhan aja semoga nilainya bagus,” jawab Novan. “Gak beda jauh. Aku asal aja isinya, yang penting nggak kosong. Udahlah, kalau remed ya sudahlah saya terima,” timpal Andi. “Pasrah amat ya,” gumam Novan. “Ya, gimana ya. Tuh soal yang tadi bener- bener susah banget. Kuis neraka memang.” “Yah namanya juga pak Broto. Kapan sih pernah kasih soal yang mudah?” Gilang nimbrung di antara mereka. Ia menarik kursi dan duduk di antara mereka. “Kepalaku hampir pecah kerjain soalnya,” gumam Gilang. Ia melirik Novan. “Kamu bilangnya pasrah, tapi nampak santai banget. Beneran pasrah atau emang udah ada persiapan sebelumnya?” Novan mengedikkan bahunya. “Pasrah, tapi ada belajar sedikit semalam. Cuma aku nggak yakin juga kalau jawabanku bener.” Andi dan Gilang geleng- geleng kepala. “Rajin banget juga ya kamu,” gumam Gilang dan Andi bersamaan. “Kalau lagi rajin, ya bakal rajin banget sih.” Novan mengeluarkan smartphone dari tasnya. Ia mematikan mode pesawat yang dari malam ia aktifkan. Seketika banyak notifikasi yang masuk ke smartphone miliknya. Ia kaget melihat banyak notifikasi dari Stevan. Ia juga berkali- kali menelponnya. Novan membuka chat dari Stevan. Stevan Vaan Novaaan Van Aku telpon kok nggak kamu angkat? Kemana hei Ya ampun kemana anak ini heh Heei, aku udah sampai di deket rumah neh Woi mana lu, kok lamaa Nanti telat woi. aku gak telat ini, masuknya jam 9 Mana luu heei YA TUHAN PERGI KEMANA ANAK INI?! MASIH HIDUP KAN LU?! Novan Ya ampun Sori ya, aku baru cek hp. Tadi aku aktifin mode pesawat. Soriii banget. Stevan Aelah Jangan sering kayak gitu ya Kamu udah minum obat belum? Novan Ini mau minum. Novan merogoh tasnya. Semoga dia tidak lupa membawa obat. Tidak ada. Tidak ada obatnya. Novan mengeluarkan beberapa isi tasnya dan merogoh lebih dalam. Akhirnya ia berhasil menemukan obatnya. “Mau minum obat?” Tanya Andi. Novan mengangguk. “Lupa tadi.” Ia mengambil botol minumnya dan sedikit menguncangkan botol minumnya. “Lah, habis airku. Kamu ada bawa air minum nggak?” Tanya Novan. “Kamu jangan ngarep sama kami deh, mana pernah kami bawa air minum,” jawab Gilang. Andi nyengir. “Ya udahlah. Aku ke kantin sebentar, beli minum.” Novan mengambil uang dari dompetnya. “Oh ya, aku ni …” Belum selesai Andi bilang, Novan langsung memotongnya. “Nggak nerima titipan, sori.” “Yaelah …” “Jangan sampai ketangkep sama bu Julia ya.” Gilang mengingatkan. Novan mengacungkan jempol. Novan pergi keluar kelas. Lorong kelas sepi, beberapa kelas tampak masih ada guru yang mengajar. Novan mengendap- endap menyusuri lorong. Ia sedikit menundukkan kepalanya saat melewati kelas yang tak jauh dari kantin. “Kang, air mineral satu kang,” pinta Novan setibanya di kantin. Kang Ujang yang sedang mengelap gelas menoleh. “Oh, anak ganteng ternyata. Ambil aja tuh, masuk.” Kang Ujang menunjuk air mineral yang ada di belakangnya. Novan masuk ke dalam dan mengambil sebotol air mineral. “Oh, neng Kirana datang. Ada apa nih neng? Tumben belum istirahat udah kemari,” tanya kang Ujang. Novan menoleh dan langsung membuang muka. Kirana datang sambil membawa kotak berisi risol. “Biasa kang, ini mau nitip risol kayak kemarin. Bisa kan kang?” Tanya Kirana. “Oh bisa neng bisa. Neng taruh aja tuh di depan situ. Oh ya, yang kemarin belum akang kasih ya? Bentar ya. Masuk dulu aja sini neng. Ini ada si Novan juga.” Kang Ujang menunjuk Novan yang sedang membayar air mineral. “Pas banget! Van, bentar!” Kirana masuk ke dalam kantin. Novan berdiri kaku di tempatnya. Ah, harusnya ia keluar lebih cepat tadi. “Akang tinggalin bentar ya, mau ambil uang kamu.” Akang Ujang masuk lebih dalam, meninggalkan mereka berdua di sana. Novan menelan ludah. “Anu Van, aku mau ngomong. Aku …” Kirana terdiam sesaat. Matanya terbelak kaget. Ia merangkul Novan dan menariknya untuk jongkok di bawah rak. Novan terbelak dan menatap Kirana. Kini jaraknya dan Kirana sangat dekat. Bahu mereka saling menempel. Novan menelan ludah. Ia mulai keringat dingin. Napasnya tercekat. Jantungnya berdegup tak karuan. “Ssstt! Diem!” Bisik Kirana. Kirana menundukkan wajah Novan. “Ada bu Julia lewat.” “Permisi kang Ujang.. kang Ujang ..” Panggil sebuah suara. Mereka berdua menelan ludah. Itu bu Julia. Tak lama, kang Ujang datang. Ia mengernyitkan alis melihat Kirana dan Novan yang sembunyi di bawah rak. Tapi Kirana langsung memberi kode dengan menaruh jari telunjuk di bibirnya. “Oh bu Julia,” sapa kang Ujang sambil mangut- mangut. Ia berdiri di dekat rak, berusaha menutupi Kirana dan Novan yang sedang di sembunyi. “Mau beli apa bu? Ibu lagi giliran piket ya?” Tanya kang Ujang basa- basi. “Iya kang, tapi saya belum makan. Hem, saya ambil risol ini deh kang, 3 biji ya, terus air mineral satu, terus … hem, itu kang, donat di belakang itu ya, 2 biji. Jadi berapa kang?” tanya bu Julia. Kang Ujang menyiapkan pesanan bu Julia dan memberikannya pada beliau. “Oh, ini jadinya sepuluh ribu rupiah ya bu totalnya,” jawab kang Ujang. “Catet dulu ya kang. Saya lupa bawa dompet. Nanti jam istirahat saya datang lagi.” Bu Julia mengambil kantungan dari tangan kang Ujang. “Oh iya kang, kalo ada anak- anak yang bolos ke kantin di jam pelajaran kayak gini, lapor saya ya kang. Anak- anak ini, sering banget ke kantin pas pelajaran. Bukannya sabar dulu.” Novan dan Kirana menelan ludah. Kang Ujang melirik ke bawah, lalu mangut- mangut. “Iya bu, kalau ada kan. Nanti saya laporin ke ibu. Tapi mungkin aja kan bu, mereka ke kantin karena lapar. Biar bisa masuk gitu loh pelajaran di kepala mereka,” timpal kang Ujang. “Ya, yang lapar bukan hanya mereka doang kok. Guru yang ngajar mereka juga nahan lapar dan haus buat ngajarin mereka,” tukas bu Julia. “Ah ya sudahlah. Kalau memang ada, akang lapor ya. Makasih kang.” “Siap bu, sama- sama. Jangan lupa di bayar tapi ya itu nanti bu, hehe.” “Iya iya, tenang aja. Pasti bakal saya bayar kok kang.” Suara langkah sepatu hak milik bu Julia terdengar mulai menjauh. Kirana mencoba mengimtip dari sela- sela pintu. Kang Ujang memberi kode dengan tatapan matanya, lalu mengangguk dan mengacungkan jempol. “Udah aman kang?” Tanya Kirana setengah berbisik. Kang Ujang mengangguk. “Udah neng, udah nggak nampak lagi bu Julia,” jawab kang Ujang. Mereka menghela napas lega dan keluar dari tempat persembunyian. “Nih neng uang yang kemarin.” Kang Ujang memberikan uang yang sudah di ikat dengan karet pada Kirana. Ia menerimanya dan menghitung dengan cepat jumlah uang yang ada di sana. “Oke. Makasih banyak ya kang yang tadi. Untung akang mau di ajak kerjasama, nggak tau lagi deh kalau akang malah lebih mihak ke bu Julia,” ujar Kirana. Kang Ujang mengangguk. “Ya, sama- sama. Kalian mah nggak niat bolos kayaknya, jadi nggak akang laporin. Kalian kan anak baik,” puji kang Ujang. Kirana tersenyum kecil. “Kang ujang ini bisa aja deh.” “Udah udah, kalian balik ke kelas sana. Nanti malah udah masuk guru kalian pula,” pinta kang Ujang. “Oh iya! Ya ampun! Balik dulu ya kang Ujang! Titip ya kang, nanti Kirana ambil lagi!” Kirana pamit dan berlari meninggalkan kantin. Novan masih melongo di tempatnya. “Heh, kamu ngapain di sini lama- lama? Sana balik terus ke kelas. Saya nggak tanggung ya kalo ketahuan sama bu Julia.” Kang Ujang menyikutnya. Novan segera tersadar. Ia menggengam tangannya yang berkeringat. “Ah, iya kang. Balik dulu kang, makasih.” Novan pergi meninggalkan kantin. Dia harus tiba di kelas secepatnya. **** Novan menghela napas lega saat ia tiba di kelas. Syukurlah belum ada guru yang masuk. Ia menggenggam botol air mineral dengan tangannya yang sudah basah dengan keringat. “Lama amat beli minum doang. Sekalian makan di kantin ya?” Tanya Andi begitu melihat Novan. “Nggak, tadi lama karena ada bu Julia di kantin,” jawab Novan. Andi terbelak. “Terus? Kamu kepergok sama beliau? Kena hukuman?” Tanya Andi khawatir. “Nggak kok, tenang aja. Tadi si Kirana ajak aku sembunyi, terus kang Ujang juga mau kerjasama. Jadi di bantu sembunyi tadi, dan yah aman. Nggak ketahuan sama bu Julia,” jawab Novan. Andi menghela nafas lega. “Ya ampun, syukurlah.” Andi menepuk pundak Novan. “Kalau ketahuan bakalan kena sekelas lagi kayak kemarin. Nggak siap aku buat kerjain soal banyak, gumoh.” “Ya Tuhan, cukup sekali itu aja. Berasap kepala jadinya.” Novan membuka bungkus obat dan meminumnya. Ia menarik nafas dalam. Yah, semoga obat ini bereaksi cepat. Kepalanya sudah sedikit pusing dan nyaris saja tadi dia pingsan di perjalan ke kelas. Jantungnya masih berdebar sampai sekarang. “Van? Pucat banget. Kamu nggak apa?” Tanya Andi. Novan mengeleng. “Nggak apa, tadi emang … agak pusing sedikit. Tapi udah nggak apa kok, udah minum obat,” jawab Novan. “Bener nggak apa? Atau mau ke UKS dulu? Biar aku antar, ayo.” Ajak Andi. Novan mengeleng. “Nggak apa Ndi, bener kok aku nggak apa. Ini aku udah baik- baik aja kok, cuma butuh tidur sebentar biar obatnya agak bereaksi,” tolak Novan. “Bener nih nggak apa?” Novan mengangguk. “Gak apa. Bener.” “Ya udah. Tapi kalau ada apa- apa kamu harus bilang aku ya. Jangan diem- diem aja.” Novan mengangguk dan mengacungkan jempolnya. “Aku mau tidur bentar ya. Nanti kalo udah datang guru, tolong di bangunin ya,” pinta Novan. Andi mengangguk. Novan menelungkupkan wajahnya di antara kedua lengannya. Mungkin memaksa diri untuk tidur lebih baik untuk menenangkan diri dan jantung yang tak berhenti berdebar ini. Ia menguap lebar. Ya, sepertinya dia memang mengantuk. Mungkin efek capek habis jogging tadi pagi. Perlahan matanya tertutup dan ia terbang ke dunia mimpi. **** Novan tersentak bangun saat mendengar bel berbunyi nyaring. Ia mengerjapkan matanya dan melihat sekeliling. Murid- murid berhamburan pergi keluar kelas. “Loh? Udah pulang ya?” Novan mengigau. Andi tertawa kecil mendengarnya. “Belum Van. Baru istirahat kok. Itu pada pergi ke kantin semua,” jawab Andi. “Terus pelajaran sebelumnya gimana? Kok kamu nggak bangunin aku?” “Nggak ada guru, jadinya aku nggak bangunin. Gurunya nggak masuk, kita cuma di kasih tugas aja. Aku udah kirim tugasnya ke chat kamu, cek aja nanti. Kumpulnya minggu depan kok.” Novan mangut- mangut. “Kamu mau ke kantin nggak?” Andi bangkit dari duduknya. “Ah, boleh juga.” Novan merengangkan badannya dan bangkit dari duduk. “Van!” Panggil seseorang dari pintu kelas. Novan menoleh. Karyo berdiri di sana. Ia masuk ke dalam kelas dan langsung merangkul Novan. “Van, ayo! Cepet ke kantin! Udah di tunggu sama yang lain!” Ajak Karyo. “Eh, selow Yo. Kami memang mau ke kantin kok,” timpal Andi. Karyo melirik Andi. “Van, kita punya klien baru. Ada yang sewa jasa joki lagi,” bisik Karyo. Wow, kabar yang mengejutkan. Baru sehari mereka buka jasa, tapi sudah ada lagi yang memakainya. “Oh ya. Oke. Ndi, sori ya. Aku ke kantin sama Karyo. Biasa, mau urus soal danus gitu,” ujar Novan. Andi mangut- mangut. “Oke. Nggak apa. Titip ini anak ya Yo, tadi dia kayak pucat banget. Awas jangan sampai pingsan ya.” Karyo mengernyitkan alis dan melirik Novan. Novan mengedikkan bahunya. “Oke sip. Aku jagain. Kami duluan ya Ndi.” Karyo menarik Novan keluar kelas. “Kita langsung ke sana ya, tadi aku liat yang lain belum ngumpul.” “Oke.” “Tapi kamu sakit apa memangnya, kok si Andi bilang gitu?” Tanya Karyo. “Nggak, nggak apa kok. Cuma agak kecapekan aja tadi, karena tadi pagi sok jogging padahal nggak biasa jogging,” jawab Novan. Karyo berdecak. “Ya elah, itu mah kudu di biasain. Biar tuh badan nggak kaget.” “Yah, mau sih. Tapi gimana ya, agak mageran gitu.” “Pantesan kamu kurus banget kayak gini.” Karyo menyikut Novan. “Tuh, olahraga. Lari, ke gym gitu biar berotot. Nggak kurus amat kayak gini.” “Nanti, kalo udah ada niatnya.” “Kalau kamu emang pengen ke gym, bilang aja. Nanti aku bawa ke tempat biasa aku gym, aku kenalin ke coach juga.” “Nanti. Jadi, ini kali ini ngejoki tugas apa?” Novan mengalihkan topik pembicaraan. “Belum tahu. Tadi aku cuma ngecek sekilas aja dari kejauhan, lihat ada yang nyangkut gitu di deket gudang. Kayaknya tugas buat kita.” “Terus itu nanti dia bayarnya gimana?” Karyo mengedikkan bahunya. “Kalau nggak ada dia infokan nomornya, nggak usah kita kerjakan aja. Kalau ada, kita hubungi buat bahas soal pembayarannya,” jawab Karyo. Novan mangut- mangut. “Hem, boleh juga. Semoga tugasnya nggak susah ya.” “Nggak apa susah, selama masih bisa di kerjain. Asal dia mau bayar lebih, ya bisa beres. Ada fulus, semua beres!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN