Bab 106

2472 Kata
Novan mengerjapkan matanya. Silau dari lampu kamar menyapa matanya. Dia lupa mematikan lampu. Novan menggosok matanya pelan dan memperhatikan sekeliling. Sunyi. Hari sudah gelap. Ia duduk di kasur dan melihat jam wekernya. Ah, untuk kesekian kalinya dia terbangun di tengah malam seperti ini. Sekarang sudah jam 11 malam. Ia merenggangkan badannya. Bunyi keroncongan perutnya merajalela. Benar juga, dia belum makan malam. Ia mengambil container di meja belajar dan membukanya. Ia mencium aroma makanan di dalamnya. Sepertinya masih aman, walau sudah dingin. Dia tinggal menghangatkannya saja di microwave. Iamenangkup semua container dan membuka pintu kamar. Ia melongok keluar. Sepertinya semua sudah tidur, karena lantai bawah gelap. Ia menyalakan senter di smartphone dan perlahan menuruni tangga. “Ehem.” Novan tersentak kaget saat mendengar suara berdehem di bawah tangga. Ia tidak dapat melihat sosok siapa itu karena gelap. Novan menelan ludah. Sekali lagi dia mendengar suara deheman itu, kali ini lebih jelas. Ia mengarahkan senter ke segala arah dan tersentak kaget saat melihat sosok tinggi dengan pakaian merah berdiri di dekat pintu dapur. Sontak Novan teriak kencang. “Heh! Kok teriak malam- malam!” Bentak suara itu. Suara yang lumayan familiar. Novan melongo. “Ayah?” Lampu di nyalakan dan tampaklah ayahnya berdiri di dekat pintu dapur, dengan piyama merah terang. “Ya ampun, hampir copot jantungku. Ayah ngapain berdiri di sana?!” Protes Novan. “Kamu juga ngapain jam segini keluar kamar ngendap- ngendap gitu kayak maling? Mau ngapain kamu tengah malam gini?” Tanya ayah Novan. Ia melirik ke kontainer yang di peluk Novan. “Apa nih?” Ayah Novan mengambil salah satu kontainer yang berisi makanan. Novan menarik kembali kontainer itu. “Darimana kamu uang beli makanan mahal kayak gitu? Itu makanan yang belinya di restoran kan?” Novan menyembunyikan kontainer itu di punggungnya. Ayah Novan berkacak pinggang danmenatapnya tajam. “Darimana kamu beli makanan semahal itu?!” Tanya ayah Novan penuh selidik. Novan menelan ludah. Dia tidak mungkin bilang kalau semua ini di belikan oleh Stevan. Ayahnya tidak boleh tahu soal itu. Dia juga tidak mungkin bilang ini dia beli sendiri, karena itu tidak mungkin. Terlalu mahal untuk jajanan anak sekolah sepertinya. “Di beliin teman yah, karena dia ulang tahun,” jawab Novan bohong. “Banyak ya uang temenmu, beliin makanan dari hotel kayak gini,” gumam ayah Novan. “Yah .. kayaknya memang anak berada. Novan mau panasin dulu, nanti basi.” Ia melewati ayahnya dan masuk ke dapur. Ia membuka microwave dan memanaskan makanannya selama 3 menit. “Kenapa kamu nggak ikut makan malam tadi? Karena udah ada makanan itu ya? kasihan tau, ibu kamu udah masak banyak. Nungguin kamu makan, tapi kamunya malah nggak mau makan malam. Kenapa sih kamu tega banget dengan ibu kamu? Mana tadi siang ibu kamu nangis- nangis, katanya habis ngomong sama kamu di depan. Kamu ngomong apa hah sampai dia nangis begitu? Jangan jadi anak kurang ajar gitu dong …” Novan mengedikkan matanya. Hah, drama apalagi ini. Dia tidak merasa ada salah omong tadi sampai menyakiti hati ibunya. Selalu. Selalu seperti ini. Ayahnya selalu lebih membela ibunya, ketimbang dirinya. Novan memilih diam sambil menatap microwave. Ia membuka microwave saat sudah terdengar bunyi. “Novan mau makan dulu di kamar, masih banyak tugas.” Novan melengos pergi meninggalkan ayahnya di dapur. “Novan, ayah belum selesai bicara.” Novan tidak peduli. Ia menaiki anak tangga dengan cepat dan menutup pintu kamarnya. Tidak terdengar suara apapun lagi di bawah sana. Ah sudahlah. Terserah saja. Ia membuka kontainer itu dan melahap makanannya. Ia tidak peduli ayahnya akan berpikiran seperti apa. **** Novan tidak tidur sampai ayam berkokok. Dia memilih menghabiskan waktunya dengan membaca komik yang sudah ia baca puluhan kali. Ia mematikan smartphone untuk mengabaikan chat dan panggilan masuk yang terus beruntun. Novan membuka jendela kamar dan menghirup udara pagi yang segar. Masiht erlalu dini untuk mandi dan bersiap ke sekolah. Hem, mungkin dia bisa lari pagi sebentar. Sudah hampir 2 minggu dia di sini, tapi belum mengenal daerah ini sepenuhnya. Tidak ada salahnya jogging pagi. Ia mengganti bajunya dengan training olahraga. Ia membuka pintu dan melongok keluar. Oke, sepi. Belum ada yang bangun. Ia mengendap- endap turun ke bawah. Ia mengambil sepatunya dan membuka pintu rumah diam- diam. Ia menarik nafas dalam. Segarnya udara di pagi hari. Ia mulai berjalan menyusuri lorong rumahnya. Novan mengelus kedua lengannya. Suhu udara pagi ini lumayan dingin karena matahari belum terbit sepenuhnya. Novan memperhatikan sekeliling. Masih sepi. Tidak ada orang di luar, bahkan abang sayur pun belum ada. Ia terus menyusuri lorong rumahnya. Beberapa toko tampak baru buka. Mereka membersihkan toko sebelum ramai orang. “Wah, rajinnya kamu nak,” sapa seorang bapak gendut dengan kumis tebal. Beliau sedang mengelap meja- meja di warungnya. “Pagi pak. Kebetulan bangun pak, hehe,” jawab Novan. “Tapi kamu agak asing ya nak rasanya. Orang baru di sini ya?” “Iya pak, saya baru pindah 2 minggu lalu ke kota ini pak. Sebelumnya ayah saya yang tinggal dulu di sini sebulan.” Bapak itu mangut- mangut. “Oalah begitu toh. Oh ya, saya pak Willem. Biasanya warga komplek panggil saya Palem. Saya ketua RT 05 di sini.” Pak Willem mengulurkan jabatan tangan. “Saya Novan pak, saya tinggal di lorong Astera sana.” “Oh iya iya. Memang di lorong Astera itu ada rumah baru di tepatin katanya. Nak Novan ini, masih sekolah atau sudah kuliah? Atau kerja?” Tanya pak Willem beruntun. “Saya masih sekolah pak Willem. Saya masih kelas 11,” jawab Novan. “Panggil saja Palem.” Pak Willem menepuk pundaknya. “Kamu lagi jogging ya? Bagus bagus! Anak muda itu memang harus bangun pagi, jangan mau kalah sama ayam! Memang harus semangat!” Pak Willem menunjukkan otot- otot lengannya yang tertimbun lemak. “Iya pak, kebetulan lagi bangun pagi. Sekalian liat daerah sini, soalnya saya belum kenal dengan tetangga lain.” Pak Willem mangut- mangut. “Oh ya nak, yuk mampir dulu yuk. Istri saya jualan bubur ayam. Yuk mampir,” ajak pak Willem. “Gak usah pak, saya gak bawa dompet pak,” tolak Novan halus. “Halah! Nggak apa, saya kasih gratis! Sambutan buat tetangga baru. Ayo ayo duduk dulu!” Pak Willem menariknya masuk ke teras rumahnya. Ia mendudukkan Novan di salah satu kursi yang ada. “Buk, buk! Siapin bubur bu!” Seorang wanita paruh baya tergopoh- gopoh pergi ke teras. “Loh? Udah ada yang beli pak?” Tanya wanita itu. “Ini bu, ada tetangga baru. Biar dia ciciplah bubur kita,” jawab pak Willem sambil menunjuk Novan. Wanita paruh baya itu melirik Novan dan menyinggungkan senyum kecil. “Oh, anak ganteng rupanya. Duduk dulu nak, duduk. Biar ibu siapin ya buburnya.” Wanita paruh baya itu masuk ke dalam. Pak Willem duduk di sebelah Novan. “Kamu sekolah di mana nak? Saya kirain kamu tadi udah mahasiswa atau udah kerja. Soalnya kamu tinggi banget,” tanya pak Willem. “Ah, nggak juga pak. Saya di SMA Samudera pak,” jawab Novan. “Kamuganteng, tinggi. Kenapa nggak ikutan agensi model aja gitu? Kamu pasti bisacepet tenar, ganteng gini. Saya yang laki aja terpukau liatnya!” Novan senyum kecil. “Ah,nggak apa pak. Saya gak minat ke sana, saya nggak suka di foto gitu pak.” “Lah,rugi dong. Tampang ganteng begini kok nggak mau di foto. Saya kalo jadi kamu mah, saya bakalan selfie terus tiap hari. Udah saya upload itu di Bokpes! Terus nanti saya deketin anak gadis yang lain, biar kepincut sama saya.” Pak Willem tertawa kencang. “Oh, bagus ya pak. Udah pinter genit ya sekarang ...” Istri pak Willem datang sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. “Iihh bapak ini nakal! Bisa bisanya mau pincut anak gadis!” Istri pak Willem menjewer kuping pak Willem. Pak Willem meringis kesakitan. “Bapak! Bapak ingat umur bapak! Bapak udah ada ibu, udah ada anak- anak, masih aja mau kegatelan sama gadis! Iiih bapak!” Suami pak Willem gemas. Ia makin kuat menjewer pak Willem. “Bu! Ibuk! Bu kuping bapak mau copot ini bu! Aw sakit bu!” Pak Willem meringis kesakitan. “Biarin aja! Biarin! Biar bapak nggak kegatelan!” Ujar istri pak Willem. “Buk, tapi bapak tadi becanda aja bu! Aduh bu, nggak bu! Bapak nggak kegatelan sama gadis bu! Bapak becanda doang tadi bu!” Istri pak Willem menatap pak Willem tajam. Ia mendengus kesal dan melepaskan jeweran mautnya. Pak Willem mengusap kupingnya yang memerah. “Awas aja kalo bapak kegatelan sama gadis- gadis! Ibu sunat bapak sampai itu bapak habis!” Ancam istri pak Willem. “Nggak bu, nggak. Kan bapak sayangnya sama ibu, sama istri tercinta bapak.” Pak Willem memeluk istrinya. Wajah istrinya tersipu, tapi ia mendengus kesal. “Ini bu, tadi kan bapak bilang sama dia nih, tetangga baru kita. Kalo dia tuh ganteng, kenapa nggak jadi model aja.” Pak Willem menunjuk Novan. “Iya juga dia. Ganteng banget sih ini pak.” Istri pak Willem menyikut pak Willem. “Oh ya nak, saya istrinya pak Willem, nama saja bu Wenda, biasanya saya di panggil bu Wedang sama warga sini.” “Saya … saya Novan bu, baru pindah kemari 2 minggu lalu.” Novan sedikit membungkukkan badannya. “Ih, ganteng banget sih kamu. Ya ampun, kamu tinggi juga ya nak. Kamu mahasiswa? Atau udah kerja? Masih sekolah apa?” Tanya bu Wenda beruntun. “Masih sekolah bu, saya masih kelas 11,” jawab Novan. “Oalah, masih muda toh. Kirain saya kamu udah kerja atau kuliah gitu, kan bisa saya jodohin gitu sama ponakan saya. Kamu mau nggak saya jodohin sama ponakan saya?” Tanya bu Wenda. Novan mengeleng. “Buk, ibu gimana sih. Kalo ganteng gini mah udah ada pacarnya kali dia. Ya kan? Kamu udah pacar?” Tanya pak Willem. “Nggak ada pacar pak,” jawab Novan. “Anu … mau .. fokus sekolah dulu …” “Oalah, bagus bagus! Memang harusnya anak sekolah tuh gitu. Sekolah dulu yang bener, kejar prestasi dulu, baru dah tuh pacaran. Jodoh mah nggak akan kemana, tenang aja.” Pak Willem menepuk pundaknya. Novan mangut- mangut. “Udah pak, udah. Biarin dia makan dulu. Kamu pasti lapar kan nak? Makan dulu yuk buburnya. Biar semangat nanti sekolahnya,” tukas bu Wenda. “Oh iya ya, nanti kamu sekolah ya. Ya udah, kamu makan dulu gih.” “Iya pak. Makasih ya pak, bu.” **** Novan kembali ke rumah setelah matahari sudah terbit. Ibu- ibu komplek mulai keluar rumah dan ngerumpi di gerobak jual sayur. Suara anak- anak nangis memanggil ibunya dari dalam rumah. Mulai tampak kehidupan di komplek ini. Novan agak lama di warung pak Willem tadi karena di ajak mengobrol. Pak Willem dan bu Wenda orang yang ceriwis dan ramah. Mereka juga membungkus bubur ayam untuk di bawa pulang. “Untuk keluarga di rumah,” begitu kata bu Wenda tadi. Novan membuka pintu pagarnya. Ia melepas sepatu dan membuka pintu. Ia tersentak kaget melihat ayahnya berdiri di depan pintu. “Kamu darimana saja?” Tanya ayahnya penuh selidik. “Jogging tadi yah, keliling komplek,” jawab Novan. “Tapi kenapa kok lama kali kamu pulangnya? Keliling komplek doang, komplek ini nggak besar.” “Tadi kenalan sama pak Willem, beliau jualan bubur ayam depan rumahnya. Terus di ajak singgah makan di sana, di ajak ngobrol juga jadi lama pulangnya. Ini ada di bungkusin buat di rumah.” Novan menyodorkan kantung plastik berisi 2 bungkus bubur ayam pada ayahnya. “Udah ya, Novan mau mandi dulu.” Novan masuk ke dalam dan menaiki anak tangga. Ibu Novan melongok dari pintu dapur. “Van, kamu nggak sarapan dulu?” Tanya ibu Novan. “Udah sarapan bubur tadi bu.” Novan masuk ke dalam kamarnya. Ia melirik jam dinding. Sudah jam setengah enam. Ternyata dia sangat telat pulang. Ia membuka bajunya dan menaruhnya di keranjang cucian. Ia mengambil handuk dan lekas mandi. Ia mandi sambil bersenandung. Jogging ternyata membuatnya sedikit tenang, meski tadi agak risih juga karena harus ngobrol lama dengan pak Willem dan bu Wenda. Novan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia melirik jam dinding dan tersentak kaget. “Hah?! Udah jam segini?!” Ia tersentak kaget saat melihat jam menunjukkan pukul setengah tujuh. Dia buru- buru memakai seragamnya dan memasukkan buku- buku ke dalam tasnya. Ia keluar kamar sambil memakai dasi. Ia turun tangga dengan terburu- buru. “Abang, abang, sarapan yuk,” ajak Mikel. Novan melewatinya dan mengambil sepatunya di rak. “Maaf ya Kel, abang udah telat. Abang pergi dulu!” Ia memakai sepatunya dan langsung lari sekencang mungkin. Sesampainya di depan lorong, ia melihat sebuah mobil hitam terparkir di sebrang jalan. Kaca mobilnya terbuka setengah dan tampaklah Stevan di sana. Ia menyalakan klakson. “Woi, cepet masuk!” Perintah Stevan. Novan langsung menyebrang begitu jalanan sepi. Ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Ia menghela napas panjang. “Telat banget lu. Baru bangun jam segini?” Tanya Stevan. “Udah, jangan banyak nanya! Cepet kita berangkat!” **** Mobil Stevan berhenti tepat di depan gerbang yang nyaris di tutup. Novan buru- buru keluar mobil dan lari kencang sebelum pagar di tutup. “Pak, tunggu pak! Jangan di tutup dulu!” Pinta Novan. Satpam sekolah tersentak kaget melihat Novan. Ia terpaku melihat Novan yang berlari masuk ke dalam sana. Novan berhenti sebentar untuk mengatur napasnya. Syukurlah ia bisa masuk sebelum pintu pagar di tutup. “Hei! Kamu udah telat!” Ujar satpam. “Belum pak! Nyaris! Kan belum di tutup gerbangnya!” Balas Novan. Ia lanjut lari kencang ke kelasnya. Ia tidak boleh terlambat, karena jam pelajaran pertama itu pak Broto. Dia tidak mau kena hukuman dengan pak Broto. Ia melihat pak Broto sedang berjalan ke kelasnya. Novan lari melewati pak Broto. Ia berhenti di depan kelas dengan napas terengah- engah. Beberapa pasang mata memandangnya. “Pak .. Pak .. Pak Broto .. lagi jalan ke kelas …” Novan memberitahu dengan nafas terengah- engah. Kelas yang tadinya ribut seketika duduk rapi di tempat. Novan jalan lunglai ke tempatnya. “Tumben agak telat,” gumam Andi. “Yah, gara- gara sok mau jogging, lupa waktu jadinya.” “Rajin amat lu pagi- pagi udah jogging.” Novan mendengus. Ia duduk rapi dan mengeluarkan buku- bukunya. “Lagi gabut. Tapi kayaknya nggak lagi deh kalau weekday. Mending weekend aja, kalau nggak malas.” “Gabutnya kalau lagi rajin agak lain dikit ya.” Novan mengendikkan bahunya. Ia meraba- raba kantung samping tasnya. Syukurlah ia tidak lupa membawa botol minum. Ia meminum botolnya hingga habis. “Selamat pagi anak- anak,” sapa pak Broto sambil masuk ke dalam kelas. “Selamat pagi pak Broto,” balas sekelas serempak. “Andi, kamu kumpulkan tugas tambahan yang saya berikan kemarin. Kalian semua, tutup buku kalian. Hari ini kita adakan kuis dadakan,” perintah pak Broto. Seisi kelas melongo. “HAH?!” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN