Bab 103

2022 Kata
Suara tawa renyah Stevan terdengar di ujung sana. Novan menelpon Stevan untuk memintanya menemani print tugasnya nanti sepulang sekolah, biar dia tidak lupa. “Aku nggak heran sih kalau misalnya di balikin tugasnya. Aku kalo jadi guru juga bakal males meriksa sebanyak itu kayaknya,” ujar Stevan di ujung sana. “Sebenarnya malas juga jadi kerjain dua kali begini, tapi yah daripada kosong nilai kan. Nanti temani ya, aku takut lupa.” “Iya. Entar ngeprint di rumah aja, ada kok. Baru jilidnya di luar.” “Terserah dah, yang penting tugasnya selesai.” “Siap kok itu. Udahlah ya, nanti kamu ingetin aja lagi.” Sambungan telpon di tutup terdengar di ujung sana. Novan kembali menaruh smartphone di dalam tasnya dan bergabung dengan teman kelompoknya. “Ini, bagian yang ini di hilangin aja.” Toro menunjuk layar laptop. “Habis itu yang ini juga … hem …” “Kalau yang itu, mending nggak usah. Ini udah bagus buat contohnya.” Novan menimpali sambil melirik layar laptop. “Pokoknya gambarnya harus di ganti ya, yang aku bilang salah tadi! Itu udah bagus, udah bener juga!” Pinta Efi. “Iya, iya …” Gumam Yudi tanpa melepaskan pandangannya dari layar laptop. “Kalian ngapain?” Tanya Gilang yang datang menghampiri. Ia mengintip layar laptop Yudi. “Lagi revisi tugas ya?” “Udah tau kok nanya lagi,” jawab Efi ketus. “Udah sana, jangan ganggu kami!” “Dih, galak amat sih neng. Lagi PMS ye,” gerutu Gilang. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Yudi. Efi meliriknya dengan tatapan tajam. “Selow, tenang. Aku liat doang kok.” Efi mendengus kesal. “Pokoknya jangan ganggu, liat aja, jangan komentar apa- apa.” “Iya, iya …” Gilang menatap layar laptop Yudi dengan seksama. Yudi, Toro, dan Novan sibuk berdiskusi, sedangkan Efi hanya menjadi pendengar saja. Ia lebih sibuk dengan smartphone daripada memperhatikan layar laptop Yudi. “Efi..!” Panggil seseorang dari pintu kelas. Efi menoleh. Kirana berlari menghampirinya dan memeluknya. “Loh, loh, kamu ngapain di sini?” Tanya Efi bingung. “Hehe .. kelasku lagi jam pelajaran olahraga, lagi marathon,” jawab Kirana. “Terus kamu kenapa nggak ikutan Kir?” Tanya Gilang. “Mana bisa anak ini ikutan marathon kayak gitu. Keburu bengek duluan dia baru lari sebentar doang,” jawab Efi sambil menunjuk Kirana. “Bundaku nggak kasih, soalnya terakhir kali ikut marathon malah di opname 3 hari. Aku bosan sendirian di kelas, jadi keliling. Eh lihat kelas kalian nggak ada guru, ya mampir ajalah.” Kirana menjelaskan. “Terus gimana nilainya? Kan marathon itu termasuk ke nilai akhir,” tanya Yudi. “Yah, di ganti dengan tugas lain sih. Buat makalah soal olahraga badminton.” Kirana melirik layar laptop. “Kalian ngapain nih? Ada tugas ya?” “Tugas kelompok mereka, di suruh revisi sama mrs. Efri,” jawab Gilang. “Nah kan Fi. Udah aku bilang, pasti kena revisi kalau sebanyak itu!” Timpal Kirana sambil menepuk pundak Efi. “Kamunya terlalu semangat sih.” Efi menepis tangan Kirana dan berdecak kesal. “Bukannya kalau lebih banyak itu lebih bagus ya? Kan jadi lebih jelas gitu,” gumam Efi pelan. “Ya, kalau bisa lebih singkat dan jelas, buat apa banyak- banyak kan?” Timpal Kirana. “Yah, bener juga sih…” “Terus gimana? Kapan di kumpulnya? Mrs. Efri marah nggak? Tugas kalian di lempar nggak?” Tanya Kirana kepo. “Yah, di suruh revisi lagi sih. Paling telat lusa kumpulnya, tapi katanya kalau kumpul lusa, nilainya bakal di kurangin. Jadi yah, besok pagi di kumpulnya,” jawab Yudi. “Nggak di lempar, cuma di kasih balik aja tugasnya,” tambah Toro. “Yah, setidaknya masih baguslah. Daripada kemarin tuh si Beni, beneran di lempar tugasnya,” ujar Kirana. “Kan kami ada Toro, makanya aman.” Yudi melirik Toro dan menyikutnya. Toro berdecak. “Lah, kok karena aku pula?” “Ya, kan kamu anak kesayangannya mrs. Efri.” Yudi berdehem. “Duh nak Toro, kamu ini pinter banget. Such a smart boy! Toro, tolong dong kerjain ini. Nah kalian, tuh ikutin contoh yang di kasih Toro ya!” Yudi menirukan gaya bicara mrs. Efri. Mereka tertawa mendengarnya. Wajah Toro memerah. “Tapi kan lebih anak emas si Andi! Kan dia juga sering tuh di panggil sama mrs. Efri.” Toro tak terima. “Nah, Andi juga tuh satu lagi. Andi, tolong kamu tuliskan ini nak di papan tulis. Andi, tolong ambilkan buku mrs. Efri nak di meja guru. Andi, tolong ini nak. Andi, tolong belikan kue di kantin. Andi …” Yudi kembali menirukan gaya mrs. Efri. “Tuh Andi kalau sama mrs. Efri udah merangkap semuanya dah pokoknya, nggak ketua kelas doang.” “Apa nih kok sebut- sebut nama Andi?” Tanya Andi yang nimbrung tiba- tiba. “Eh, ini dia si brother! Anak emasnya mrs. Efri!” Gilang merangkul Andi dan menepuk pundaknya. “s****n, di bilang anak emas. Lebih cocoknya sih jadi pesuruhnya mrs. Efri sih,” ujar Andi. Mereka tertawa kecil. “Iya sih ya, lebih cocok jadi pesuruh. Kana pa- apa di suruhnya kamu. Emang yang paling di andalkan pokoknya!” Gilang mengacungkan kedua jempolnya. Andi berdecak kesal. Ia melirik Kirana dan tersentak kaget. “Eh, kau. Ngapain kau di sini pulak?” Tanya Andi sambil menunjuk Kirana. Kirana nyengir. “Numpang bentar,” jawab Kirana. “Oalah penyusup. Emang kelasmu nggak ada guru apa?” “Marathon hari ini, aku nggak ikutan. Yah biasalah.” Andi mangut- mangut. “Ya, emang nggak usah ikut. Nanti bengek lagi, di opname lagi. Nanti kalau kelas kami ada guru, kamu keluar ya.” “Yah, padahal kan aku mau ikutan belajar sama kalian …” Kirana memanyunkan bibirnya. “Pelajaran selanjutnya kimia. Kamu yakin mau ikutan? Yah, kalau mau mah nggak apa.” “Hah? Kimia?!” Tanya Kirana kaget. Andi mengangguk. Kirana diam sesaat. “Hem, boleh dah. Nanti aku duduk di belakang aja. Masih ada bangku kosong kan?” “Yakin? Kan kamu nggak suka pelajaran berhitung rumit kayak gitu,” Tanya Andi memastikan. “Nggak apa, nggak apa. Nanti aku tidur aja di belakang, daripada bosan aku sendiri di kelas. Lama itu kalau marathon,” jawab Kirana. “Selama nanti nggak ulangan, ya nggak apalah. Mati aku kalau ulangan, nggak ngerti apa- apa.” “Ya Tuhan, semoga nanti ulangan kimia,” doa Andi. “Heh!” Tukas Yudi, Toro, Gilang, Efi, dan Kirana bersamaan. Hanya Novan yang masih diam. Dia pasrah saja kalau memang ada ulangan dadakan. Tidak ada yang perlu di takutkan, hanya ulangan. Kerjakan, lalu lupakan. Pasrah saja pada hasil yang ada. “Kamu jangan doa yang enggak- enggak deh Ndi!” Tukas Gilang kesal. “Tau nih! Mentang- mentang pinter, malah minta doa ada ulangan. Kasihanilah kami yang nggak sepinter kamu ini,” timpal Yudi. “Ye, makanya kalian tuh belajar! Jangan main terus. Tuh lihat tuh si Novan, nggak ada dia protes kayak kalian.” Andi menunjuk Novan yang sedari tadi diam menatap layar laptop. Mereka menoleh pada Novan. “Kenapa?” Tanya Novan bingung. “Tuh! Liat, dia santai aja kan. Udah ready kan mau ulangan kimia?” Tanya Andi. “Yah, nggak siap sih. Tapi kalau memang ada ulangan, ya udah. Kerjakan, lupakan. Udah,” jawab Novan. “Aku lebih ke tim mereka sih Ndi, tim yang nggak belajar juga.” Novan menepuk pundak Yudi di sebelahnya. “Halah, kamu mah, udah kelihatan anak pinternya walaupun nggak belajar,” gumam Yudi. “Amiin, semoga jadi anak pinter beneran. Amiinn.” “Kamu doa kayak gitu biar aku nggak ikutan kelas kalian kan nanti?” Tanya Kirana ketus. Andi nyengir dan menaikkan alisnya. “Memanglah anak kampret..!” Kirana hendak menjitak Andi, tapi Andi dengan gesit langsung menghindar dan tak sengaja malah menjitak kepala Novan. Novan meringis kesakitan memegang kepalanya yang di jitak. “Hayoloh kan, kena si Novan itu jadinya …” “Eh Van, sori Van. Nggak sengaja, suer. Van, nggak apa?” Kirana mendekati Novan. Novan memegangi kepalanya dan mundur teratur. “Nggak, nggak apa …” Jawab Novan terbata- bata. “Eh, sakit banget ya? Eh Van, maaf, nggak sengaja …” Kirana malah semakin mendekati Novan. Novan menggeleng dan mundur perlahan. “Jangan … jangan dekat … Jangan …” Novan mengulurkan tangannya, memberi jarak pada Kirana. “Tapi Van …” “JANGAN DEKAT- DEKAT!” Bentak Novan ketus. Seisi kelas terdiam dan memandangi Novan. Novan melirik sekitar. Ia berdehem. “Nggak apa, nggak sakit kok. Nggak apa,” ujar Novan. “Kenapa nih, kenapa?” Tanya Iwan datang menghampiri. “Nggak apa, tadi si Kirana nggak sengaja jitak si Novan.” Andi menjelaskan. “Dih Kir, kamu jadi cewek kok kasar amat,” ujar Iwan. “Heh! Aku tadinya mau jitak ini anak ya!” Kirana menunjuk Andi. “Mana menghindar pulak tuh anak, kan jadi kena si Novan!” “Udah, udah, nggak sengaja itu. Dah sini Van, kamu di tengah aja. Ini tugas kita masih banyak,” ajak Yudi sambil menepuk kursi bagian tengah yang kosong. Novan duduk di sana. Ia menggengam erat tangannya yang mulai gemetaran. Tenang, tenang. Tidak apa- apa. Tidak sengaja kan tadi. Tidak apa, sekarang di sekelilingnya hanya anak laki- laki. Pasti tidak apa- apa kan? Novan menatap layar laptop Yudi. Sudahlah, fokus saja mengerjakan tugas. Tugansya masih banyak, jangan sampai pikirannya terbagi. Novan menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. “Jadi, udah sampai mana tadi?” **** Novan menghela napas lega. Tugasnya sudah selesai. Mereka kerjakan dengan sangat cepat dan membuang banyak bagian yang tidak perlu. “Nah, tinggal masukin ke dalam flashdisk aja,” gumam Toro. “Simpan di drive juga, nanti kalau ilang seengaknya ada back up,” saran Efi. “Masukin ke drive semuanya aja, biar nanti ada bahan untuk belajar,” lanjut Yudi. “Yaelah Yud, kayak yang kamu buka aja,” timpal Toro. Yudi berdecak kesal. “Nih, kamu yang print kan Van? Ini udah aku masukin ke flashdisk, jangan sampai hilang ya.” Toro menyikut Novan. Novan bergeming di tempat. “Van? Van!” Toro kembali menyikut Novan. “Ah iya. Kenapa?” Tanya Novan tersentak kaget. “Ini, tugasnya. Kamu yang print kan ya? Nih flash disk.” Toro memberikan flashdisk pada Novan. “Ah, oh iya.” Novan menerima flashdisk itu dan mengantonginya. “Jangan sampai hilang ya.” Toro mengingatkan. Novan mengangguk. “Iya, aman kok.” “Akhirnya selesai juga …” Yudi menggeliat, merengangkan badannya yang kaku karena sedaritadi duduk menatap layar laptop. “Udah, bubar, bubar. Balik ke tempat masing- masing!” Yudi bangkit dari duduk dan menguap lebar. “Lang, nanti bangunin ya kalau udah datang guru. Mau tidur bentar,” pinta Yudi pada Gilang. “Pasang alaram aja, aku juga mau tidur ini. Ngantuk,” saran Gilang. “Halah, kalian mah memang selalu ngantuk,” timpal Efi. Novan bangkit dan pergi ke bangkunya. Ia mengambil sesuatu dari daam tasnya dan menaruh di kantung celana. “Ndi, aku izin ke toilet dulu ya.” Andi mengangguk. “Jangan lama ya.” Novan mengangguk dan mengacungkan jempolnya. *** Novan tidak pergi ke toilet, melainkan melipir sebentar ke kantin untuk membeli air mineral. Ia lupa kalau ia belum minum obat. Sebenarnya daritadi dia menahan diri untuk agar tidak sampai terjadi serangan panik. Ia masih sedikit shock karena kelakuan Kirana yang tak di sengaja itu. Ia berusaha menahan tangannya yang gemetaran hebat tadi. Setiap keringat dingin mengucur, ia langsung menepisnya. Ia membuka botol air mineral dan meneguk obat. Ia menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Ia tidak bisa berlama- lama di kantin, bakal berabe kalau bu Julia memergokinya. Ia meminum air mineral hingga habis dan membuang botol kosongnya di tong sampah. Novan pergi ke toilet untuk menyamarkan kebohongannya. Ia mencuci wajahnya di westafel dan menatap dirinya di cermin. “Tenang. Nggak apa, semuanya aman. Tenang,” gumam Novan pada diri sendiri. “Lihat, kamu kuat kan. Halah gitu doang mah, nggak bikin tremor lah! Lihat nih, nggak apa kan? Tuh!” Novan berusaha menghibur dirinya, yang malah terlihat seperti ngelindur. Ia berdecak kesal. “Aku ini ngomong apaan sih …” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN