Bab 102

1020 Kata
Tidak ada yang pergi keluar kelas saat mrs. Efri keluar, karena Andi sudah siap siaga berdiri di pintu seperti satpam. “Boleh ribut asal jangan sampai pancing guru kelas sebelah, dan jangan ada yang keluar kelas!” Andi memperingatkan. “Dan nggak ada yang ke kamar mandi!” “Yah, kok kayak gitu sih …” Gerutu Tata. “Nggak, nggak ada pokoknya! Jangan kalian pikir aku nggak tahu ya, kalian itu pasti nggak ke toilet doang, pasti ada belok ke kantin!” “Yaelah, jangan kaku gitulah Ndi … biarin aja kali mereka ke toilet,” ujar Gilang. Andi menggeleng. “Nggak, nggak. Nggak ada! Nanti kalo kepergok bu Julia, aku lagi yang kena!” Ucap Andi. “Jadi kalau kami memang harus ke toilet gimana?” Tanya Tata. “Ya, di tahan.” “Kalau nggak bisa di tahan gimana? Ngompol nantilah.” “Ya udah biarin aja, nanti kalian bersihin.” “Jangan yang nggak- nggak deh Ndi! Awas! Minggir! Aku mau ke toilet!” Tata hendak mendorong Andi, tapi gagal karena badan Andi jauh lebih besar darinya. “Awas Ndi, aku mau ke toilet!” “Nggak! Kamu nggak ke toilet! Pasti melipir ke kantin dulu! Pokoknya nggak ada!” “Berisik amat dah itu di depan pintu,” gerutu Toro. Saat ini, Toro, Novan, dan Yudi sedang mengerjakan kembali tugas mrs. Efri. Efi masih duduk di tempatnya. “Ini Efi nggak di ajak? Nanti ngambek nggak?” Tanya Yudi sambil melirik Efi. “Halah udahlah, biarin aja dia. Yang penting ini selesai aja dulu, biar enak sedikit,” jawab Toro. “Kalo dia ngambek, entar kamu yang nanggung ya,” ujar Yudi. Toro mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Ia melirik ke pintu kelas. Andi dan Tata masih berdebat di sana. Ia melihat Tata yang menutup bagian belakang roknya dengan jaket dan membawa dompet kecil di tangannya. “Bentar yak.” Toro bangkit dari duduk dan menghampiri Andi. “Ndi, udah kasih aja nih anak orang ke toilet.” “Tapi nanti …” Toro memotong perkataan Andi. Ia membisikkan sesuatu ke telinga Andi dan mereka melirik Tata berbarengan. Andi berdehem. “Oke. Ya udah sana kamu ke toilet,” ujar Andi akhirnya. Tata melongo. “Lah? Bener nih boleh?” Tanya Tata. Andi mengangguk. “Tapi … sendirian aja.” “Yah, barenglah. Sama si Kalila.” Tata menarik Kalila yang duduk di kursi depan. “Nggak, sendiri a…” “Udahlah, biarin aja udah,” bela Toro. “Udah, keluar sana gih kalian. Nggak usah buat ribut lagi di kelas.” Toro mendorong Andi agar menjauh dari pintu. “Thanks Tor!” Tata menarik tangan Kalila. “La, temenin bentar La. Urgent!” Kalila terpaksa ikut menemani Tata. Andi berdecak kesal melihat mereka menjauh dari kelas. “Tuh, lihat tuh. Dia bawa dompet, pasti mau melipir ke kantin,” gerutu Andi sambil menunjuk Tata yang menjauh. “Itu isinya bukan duit. Itu bukan dompet untuk itu,” tukas Toro. Andi mengernyitkan alis. “Lah? Kan dompet isinya selalu duit toh?” Tanya Andi heran. Toro meringis. “Nggak semua dompet isinya duit, apalagi cewek. Kalau dompetnya kayak gitu, kemungkinan isi dalamnya ya, pembalut,” jawab Toro. Andi melongo. “Kok kamu tahu …?” “Biasalah, punya banyak kakak pasti tahulah soal itu.” “Tor! Toro! Sini kamu, jangan kabur!” Panggil Yudi. “Iya iya, aku balik nih!” **** “Kalian kok nggak ajak aku hah?” Tanya Efi ketus. Ia berkacak pinggang sambil menatap Yudi, Novan, dan Toro bergantian. “Hah?” “Iya, kalian kenapa kok nggak ajak aku hah? Malah kerjain sendiri aja. Lupa ya kalau punya anggota yang lain?” “Bukan gitu Fi. Tapi …” “Halah, udahlah!” Efi memotong perkataan Yudi. Ia menarik kursi di sebelah Yudi dan duduk di sana. “Mana sini, biar aku lihat lagi!” Pinta Efi. Toro memberikan ringkasan tugas yang sudah mereka kerjakan setengahnya. Efi memeriksanya sambil mangut- mangut. “Ini masih dikit nih, tambahin aja lagi,” saran Efi. “Nanti kebanyakan Fi, nggak di terima lagi sama mrs. Efri,” tolak Toro. “Tapi ini kan masih sedikit …” “Inget Fi, di minta 15 halaman aja. Banyak yang harus kita kurangi. Kami baru kurangin jadi 5 halaman,” timpal Yudi. “Gimana Van menurut kamu? Harusnya ini di tambah kan?” Tanya Efi. Novan yang sedaritadi diam saja sedikit kaget karena di tanya pendapatnya. “Hem, ah .. itu .. yah, menurutku sih nggak usah …” Jawab Novan terbata. “Itu juga .. udah di kerjain hampir setengahnya kan? Menurutku sih gitu …” Efi berdecak kesal. Ia melempar tugas itu di atas meja. “Ya udah, terserah kalian aja,” ujar Efi. “Pokoknya aku nggak mau ya kalau nilainya kurang atau nggak di terima tugasnya sama mrs. Efri ya.” Efi bangkit dari duduknya dan menghampiri gerombolan anak perempuan yang sedang ngerumpi di pojok kelas. “Yah justru kalau ngikutin kamu malah jadi berantakan,” gumam Toro. “Ya udahlah, biarin aja. Udah udah, kerjain lagi tugasnya. Kalau bisa nanti pulang sekolah udah bisa di print,” ujar Yudi. “Printer kamu habis tintanya ya?” “Iya, katanya sih mau di bawa abangku nanti. Tapi nggak tahu jadi apa enggak.” “Entar kalau jadi, print di kamu aja ya. Biar hemat. Tapi kalau nggak, yaudah kita print di luar aja. Siapa ini yang mau ngeprint?” “Biar aku aja.” Novan mengajukan diri. “Oke kalau gitu. Nanti aku kirimin aja rekapannya ya. Kamu bilang aja berapa totalnya, biar kami ganti nanti,” ujar Yudi. Novan mengangguk dan mengacungkan jempol. “Tapi kalau dibayarin lagi sama om kamu itu, ya lebih bagus.” “Heh!” Novan menyikut Yudi. “Kamu minta temenin dia aja nanti kalau mau ngeprint Van. Pasti mau dia kan? Lumayan toh,” timpal Yudi. “Yah pasti mau sih dianya.” “Ya udah, pergi sama dia aja. Nggak apalah, om pasti sayang sama ponakannya.” Toro merangkul Novan, namun keburu di tepis olehnya. “Lihat nanti, kalau dianya mau temanin.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN