Bab 7

1152 Kata
      Jam pulang sekolah sudah tiba. Novan baru saja menenteng tasnya dan hendak keluar kelas, tapi Andi keburu menariknya.            “Eh kenapa nih?” Tanya Novan.            “Sori ini perintah ketua. Kamu di ajak ikutan rapat habis ini,” jawab Andi.            “Oh udah ya. Jadinya aku masuk ke devisi mana nih?” Tanya Novan.            “Lihat aja nanti,” jawab Andi. “Udah deh kamu ikut aja sekarang. Nanti juga bakalan tahu. Ayo.” Andi menarik tangan Novan.            Andi menarik Novan menuju ruang OSIS. Ruang OSIS masih tampak sepi, hanya ada 2-3 orang di dalam sana. Andi membuka pintu kaca ruang OSIS itu.            “Permisi!” Ujar Andi lantang. Valdi yang duduk di meja depan menoleh.            “Oh, kamu toh Ndi.” Valdi menoleh ke Novan. “Oh, kamu berhasil juga ya narik anak baru itu.” Valdi menghampiri Novan dan menepuk pelan pundaknya.            “Jadi, aku masuk di devisi mana?” Tanya Novan tanpa basa- basi.            “Duduk dulu bro. Kita tunggu semuanya datang, baru nanti tahu kamu di tepati dimana.” Valdi mempersilakan Novan untuk masuk. Novan dan Andi duduk di pojok ruangan. Hanya ada 2 anak perempuan di sana, serta Valdi yang duduk di depan sambil membaca koran. Dia tampak seperti bapak- bapak kalau seperti itu, kurang dengan style sarungan dan kopi di meja.            “Andi,” panggil Valdi tegas. Andi langsung menoleh. “Tolong ya kamu buat pengumuman di grup, kalau semua anak OSIS dan panitia yang udah di bentuk harus segera berkumpul di ruang OSIS.” Valdi memincingkan matanya. “Kalau nggak datang, nanti temuin Valdi secara personal. Bilang gitu.”            “Siap Val!” Andi langsung mengeluarkan smartphone dan melakukan perintah yang di berikan. Valdi berdecak kesal sambil memainkan jemarinya di meja.            “Mereka ini, kebiasaan. Udah di bilangin pulang sekolah langsung kemari. Pasti pada nongki dulu,” gumam Valdi.            Tak lama, beberapa anak yang lain mulai berdatangan. Mereka sungkem ke Valdi dan langsung duduk di tempat yang tersedia. Valdi menghitung satu persatu yang masuk ke dalam ruangan.            “Segini aja? Mana yang lainnya?” Tanya Valdi. Mereka saling pandang dan mengangkat bahu. Valdi berdecak kesal.            “Hem, ini nih yang nggak pada pasti di tempat biasa. Kebiasaan mereka,” gumam Valdi, lalu pergi keluar ruangan. Ruang OSIS yang tadinya sepi kini mulai berisik dengan huru- hara orang- orang saling mengobrol.            “Hoi Andi!” Sapa seorang anak laki- laki yang berambut agak gondrong dan memakai jaket hitam.            “Hoi Stevan!” Andi balik menyapa orang itu. Mereka saling bertukar tos lalu saling rangkul.            “Loh ini siapa? Wajah baru ya? Agak asing,” tanya anak yang bernama Stevan itu sambil menunjuk Novan.            “Oh, ini anak baru kelas aku. Namanya Novan.” Andi memperkenalkan Novan. Novan sedikit membungkukkan kepalanya.            “Hoi, Novan. Stevan.” Stevan mengacungkan tos. Novan yang tadinya hendak menjulurkan jabatan tangan langsung menariknya dan menerima tos yang diberikan Novan. Stevan memperhatikan Novan lamat- lamat.            “Eh, tunggu dulu. Ini anak yang sempat bikin heboh kemarin itu nggak sih? Yang nolak waktu di ajak kenalan sama Sarah bukan sih?” Tanya Stevan. Novan menghela napas, lalu mengangguk.            “Iya, itu aku,” gumam Novan. Stevan bertepuk tangan pelan dan menepuk pundaknya.            “Keren kamu memang bro!” Stevan mengacungkan jempol. Ia merangkul Novan. “Kan, memang biasa aja si Sarah itu kan. Entah apa mereka ini heboh kali sama itu anak. Kayak dewi sekolah, apalah. Padahal kan biasa aja dia kan? Banyak kok cewek lain yang lebih cantik daripada dia, tapi macam dewi aja dia di buat di sekolah ini.”            Novan terbelak sesaat dan mengangguk. Dia tidak menyangka ada yang tidak mengagungkan sosok Sarah selain dirinya. Andi malah cemberut dan berdecak kesal.            “Dih! Kamu bilang gitu karena udah pernah di tolak kan sama dia? Makanya sakit hati sampai sekarang, jadi kamu jelek- jelekin dia gitu kan?” Tanya Andi sambil memalingkan wajahnya. Stevan terbelak dan memelototi Andi.            “Heh! Nggak ya! Itu udah urusan yang dulu, nggak ada urusan sama yang sekarang. Aku memang nggak suka aja kalian terlalu agung- agungkan dia, kayak apa kali anaknya. Padahal dia biasa aja, sama aja kayak orang lain kok!” Bantah Stevan. Andi mendengus.            “Halah, bilang aja belum bisa move on, terus kamunya masih sakit hati karena di tolak dia. Nggak usah sok benci deh, padahal diam- diam masih sering stalking kan? Diam- diam masih ada kamu like foto si Sarah kan?” Stevan terbelak makin lebar.            “Kalo kamu nggak suka tuh, harusnya jangan stalking. Jangan follow lagi juga, kalo bisa. Nih liat, masih ada tuh akun kamu di list followers Sarah!” Andi mengacungkan smartphone ke depan wajah Stevan. Stevan langsung menepis tangan Andi.            “Nggak! Itu akun lama, aku udah nggak pakai lagi itu akun! Udah buat akun baru, nggak ada aku stalking si Sarah itu sedikit pun!”            “Oh ya? Mana? Sini mana username nya, biar aku follow,” tanya Andi. Stevan menarik smartphone Andi dari tangannya dan mengetik sesuatu.            “Nah, udah. Nanti aku follow.” Stevan mengeluarkan smartphone dari saku jaketnya. “Eh iya, IG kamu apaan? Sekalian aku follow nih,” tanya Stevan.                    “Aku nggak punya IG,” jawab Novan. Stevan melongo.            “Jangan kamu tanya dia deh. Ini anak nggak punya akun sosmed apapun kecuali Line,” celetuk Andi. Stevan makin melongo dan geleng- geleng kepala.            “Bro, jaman sekarang nggak punya IG. Ada- ada aja kamu. Memangnya nggak tertarik apa kamu buat bikin IG gitu? Tampang kayak kamu mah, bisa di tarik jadi selebgram ini kalo fotonya aesthetic!” Timpal Stevan. Andi mangut- mangut setuju.            “Nggak minat. Penuh- penuhin memori.” Andi dan Stevan geleng- geleng kepala. Stevan melirik Andi.            “Memang gitu anaknya. Udah biarin aja.”            Tiba- tiba terdengar suara pintu ruang OSIS yang di banting oleh seseorang. Semua menoleh ke sana dan tampaklah Valdi di muka pintu sambil merangkul leher kedua anak laki- laki di sisi kanan dan kiri.            “Kalian ini memang! Udah di bilang langsung ke ruang OSIS, malah niat mau kabur pula!” Valdi menjitak kepala kedua anak laki- laki itu. Mereka meringis pelan. “Kamu! Kalo kamu nggak mau ikutan rapat, udah mundur aja dari OSIS. Nggak butuh aku anggota nggak tanggung jawab kayak kamu! Robek aja itu sertifikat OSIS yang kemarin di kasih!” Valdi menunjuk ke salah satu anak laki- laki yang penampilannya paling berantakan, dengan lengan baju yang di gulung, baju yang tidak di masukkan ke dalam celana, dan rambut yang di buat acak- acakan.            “Sori Val, nggak lagi. Jangan cabut keanggotan aku please, ini buat mempermudah aku ke depannya nanti!” Anak itu memohon. Valdi mendengus kesal.            “Udah. Malas aku marah- marah. Udah capek aku sebenarnya. Dah duduk aja kalian sana.” Kedua anak laki- laki itu mengangguk dan segera bergabung dengan yang lain. Valdi kembali ke mejanya di depan sana. Ia berdehem.            “Oke. Baiklah. Semua udah berkumpul di sini. Rapatnya akan kita mulai sekarang.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN