Bab 57

1085 Kata
      Novan berhasil menyelesaikan laporan keterlambatan. Dia sendiri menulisnya secara tidak sadar. Dia tidak tahu apa yang ia tulis, asal ada aja deh pokoknya. Ia langsung mengumpulkannya begitu bel istirahat berbunyi.            “Eh Van …” Sapa Karyo di tengah jalan menuju ke ruang BK.            “Eh Yo, sori Yo. Aku buru- buru ke ruang BK!” Novan berlari meninggalkan Karyo, tapi ia balik mundur perlahan. “Eh, ruang BK dimana ya?”            “Yaelah kamu.” Novan nyengir lebar.            “Hehehe … ya maklum deh, anak baru …”            “Ya udah, ayo sini aku antar.”            Mereka pun pergi bersama ke ruang BK. Sepanjang jalan, Novan sedikit sembunyi di balik punggung Karyo. Ruang BK ada di lantai 1, tak jauh dari lorong kelas 10. Anak- anak perempuan menatap Novan. Mereka terpana melihat ketampanan Novan.            “Ini kenapa pada nengokin kita semua dah? Biasanya aku lewat sini juga pada cuek- cuek aja,” tanya Karyo. Novan tidak menjawab. Ia malah jalan di belakang Karyo sambil menundukkan kepala.              “Yo, cepetlah. Nanti kena double hukuman aku sama bu Julia,” pinta Novan. Ia mendorong Karyo dan lari menjauh dari kerumunan yang semakin ramai. ****            “Kamu kenapa dah buru- buru kayak di kejar setan gitu? Bu Julia mah nggak masalah kali. Selama kamu udah kerjain hukumannya tepat waktu, aman itu,” gerutu Karyo. Novan sedikit terengah- engah. Ia kira semua sudah mengumpulkan laporan, ternyata baru dirinya.            Ini mah lebih serem lagi dari hantu! Gerutu Novan dalam hati. “Mending ketemu hantu dah,” gumam Novan pelan. Ia mengerlingkan matanya.            “Hah? Kenapa?” Tanya Karyo. Ia mendekatkan kupingnya. Novan geleng- geleng.            “Nggak, nggak apa. Lupakan.” Novan berdehem. “Jadi, kayaknya kamu ada perlu ya denganku? Ada apa?” Tanya Nivan mengalihkan perhatian Karyo.            “Oh iya. Emang ada yang mau aku bilang sih.” Karyo celingak celinguk memperhatikan sekitar. “Tapi kayaknya jangan di sini deh, nggak aman. Ayo.” Karyo mendorong Novan menjauh dari sana.            “Hah heh? Kenapa? Kita mau kemana?”            “Udah, nanti aku bilang. Ayo.” *****            Mereka tiba di gudang belakang, setelah sebelumnya sempat mampir ke kantin untuk beli jajan. Ah, aku sudah tahu akan kemana arah percakapan ini.            “Jadi aku mau bahas soal …” Belum selesai Karyo menjelaskan, Novan memotongnya.            “Iya, soal joki itu kan?” Tanya Novan to the point. Karyo nyengir lebar.            “Hehehe … tahu aja kamu. Hem, kayaknya kita mending bahas di dalam deh. Yuk masuk dulu yuk.” Karyo mengajak Novan masuk ke dalam. Ia memutar kunci dan mendorong pintu hingga terbuka. Sepertinya gudang ini sudah lebih rapi daripada sebelumnya.            Kami pergi ke bagian belakang di antara tumpukan kursi. Tetap masih sama, ada satu tikar kecil, lampu tidur, dan kotak- kotak berisi cemilan yang sudah berkurang dari sebelumnya. Kami melepaskan sepatu dan duduk di atas tikar. Karyo mengeluarkan semua cemilan yang ada di dalam kotak.            “Makan, makan. Ini udah sisa aja sih, nanti aku mau beli lagi,” ajak Karyo. Ia memotong satu persatu bungkus cemilan yang masuk menyatu itu. Novan membantunya.            “Beneran deh, kayaknya kamu mending buka warung aja. Pasti laku. Atau jualan aja di kelas gitu,” ujar Novan. Ia masih saja takjub dengan stock cemilan yang seperti tidak akan habis ini.            “Kamu ini, sama aja kayak penjual grosiran tempat aku beli jajanan ini. Setiap aku beli banyak, pasti di tanya ‘mau di jual lagi ya dek?’ Bah, padahal buat stok sendiri aja.” Novan tertawa kecil mendengarnya.            “Maunya kamu bilang aja iya, kali aja bisa di kasih diskon,” saran Novan.            “Ah, iya juga ya. Bisa juga sih. Ah, kayaknya nanti aku coba bilang begitu aja kali ya.” Novan mengacungkan jari jempolnya.            “Silakan. Thank me later kalau beneran di kasih diskon.”            “Oh iya! Biar nggak lupa. Kamu ada bawa nggak itu, yang punya tugas Matematika itu? Katanya, kalau memang udah selesai, dia mau ambil hari ini.” tanya Karyo.            “Ada, di kelas tapi.”            “Oke. Nanti aja aku ambil. Oh ya, terus. Lihat ini.” Karyo merangkak masuk di antara tumpukan kursi, lalu kembali tak lama kemudian dengan membawa kardus. Ia menaruh kardus itu di depan Novan dan membukanya. Novan terpenjat kaget saat melihat isi kardus itu.            “Ini, buat tugas seni rupa, job baru. Aku nggak ngerti sih, tapi katanya dia bakal modalin peralatannya, sisanya kita yang buat,” ujar Karyo. Novan geleng- geleng kepala. Kardus itu berisikan tabung gambar. Ia membuka tabung gambar itu. Ada kertas besar ukuran A3 di sana. Selain itu, ada seperangkat pensil dengan ketebalan yang berbeda, penghapus, dan lebih takjubnya, ada pensil warna di sana.            “Kan gambarnya perspektif ya. Kok ada pensil warnanya?” Tanya Novan sambil mengeluarkan pensil warna berisi 24 warna yang berbeda.            “Ah, katanya bukan yang perspektif gimana sih. Dia bilang, ada dia kasih contoh itu. Coba deh kita cari ya …” Karyo membongkar kardus tersebut. Novan ikut membantunya. Tak ada kertas petunjuk apapun di sana. Novan hendak memasukkan kembali kertas A3 ke dalam tabung, tapi dia menemukan sesuatu di bagian terdalam tabung. Ia mengguncangkan tabung kertas hingga isinya keluar.            “Oh, kayaknya ini deh petunjuknya,” ujar Novan. Ia membuka lipatan kertas itu dan mangut- mangut. “Oh, kalau gambarnya begini mah, memang bagusan di warnain sih.”            “Kamu bisa nggak tugas gambar ini?” Tanya Karyo penuh harap. Novan mengangguk.            “Ya, bisa sih. Kalau ada contoh gambarnya malah jadi lebih mudah,” jawab Novan. Yah, sekalian healing juga sih. Menggambar sambil menikmati warna- warni dari pensil warna membuatnya rileks dan nyaman.            “Oke. Inget ya, dua gambar. Kayaknya gambarnya sama, nanti kamu modelin aja deh gimana biar gambarnya beda.” Novan mengangguk. Karyo mengeluarkan amplop coklat yang ia simpan di balik tikar.            “Hem … kalau aku, kayaknya aku bakal ambil ekonomi kelas 11 ini. Kalau fisika kelas 10, kayaknya bisa juga sih. Belum susah- susah amat,” gumam Karyo.            “Lah, kamu bisa pelajaran fisika Yo? Kan kamu anak IPS?” Tanya Novan takjub.            “Hei, bukan berarti anak IPS nggak bisa fisika atau kimia ya. Aku bisa kok pelajaran itu, cuma akunya aja memang nggak suka dan nggak tertarik untuk belajar itu lebih lanjut. Lagipula, jurusan aku kuliah nanti itu memang jurusan anak IPS kok.” Karyo mengedikkan bahunya. Novan melongo kaget. Ia bertepuk tangan dan mengacungkan kedua jempolnya.            “Mantap! Keren kamu Yo! Aku aja kesusahan sama fisika.” Karyo mendengus. Ia menggaruk hidungnya. Ia membusungkan dadanya dengan sangat bangga.            “Karyo gitu loh!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN