Bab 110

5000 Kata
Seperti biasa, Novan di jemput oleh Stevan. Ia bersungut- sungut kesal karena harus menunggu Novan. “Lama!” Gerutu Stevan. “Maaf, rapatnya dadakan.” Ia menutup pintu mobil. “Kamu juga, tumben cepat jemputnya.” “Bossku lagi pergi, jadi bisa pulang lebih cepat,” jelas Stevan. “Dih, karyawan tidak kompeten,” ejek Novan. “Bukan tidak kompeten, tapi ya realistis. Kalau kerja jangan terlalu keras, nanti tipes, terus mati ya sia- sia. Perusahaan mah bisa cari karyawan baru, lah badan yang baru mau cari dimana?” “Ya, benar juga sih.” “Harus ada work- life balance, biar tetap waras jalanin hidup.” Ia melirik Novan. “Dan biar teratur jam tidurnya. Ini kamu masih anak sekolah, malah kurang tidurnya.” “Ya mau gimana, kan banyak tugasnya. Bejibun.” Stevan geleng- geleng kepala. “Yah, jaman udah berubah jauh memang sih,” gumam Stevan. “Bulan depan dan bulan ini saja sudah berbeda jauh, apalagi udah lewat bertahun- tahun.” “Makin terasa tuanya kan?” Timpal Novan. Stevan melirik Novan dengan ujung matanya. “Iya. Karena om kamu ini udah tua dan makin banyak pengeluarannya, jadi nggak usah lagi ya uang jajan.” “Ih. Jangan gitu Van ...” “Nggak apalah, kan lumayan saya jadi hemat ...” “Yah, jangan gitu dong Stevan ...” **** Sebagai permintaan maaf, Novan terpaksa menuruti kemauan Stevan, yaitu: “Beliin kids meal dong,” pinta Stevan. Novan melongo sesaat dan menggelengkan kepalanya. “Nggak!” Tolaknya ketus. “Buat apaan beli kids meal? Itu porsinya sedikit. Kecil. Memangnya kamu bocah apa?” “Aku nggak mau makanannya. Aku mau mainannya aja! Ayolah!” Rengek Stevan. “Ogah! Beli sendiri sana!” Tolak Novan. “Ya udah, aku beli sendiri. Tapi kamu temani ya, kamu nyamar jadi anak SD gitu.” Stevan memaparkan ide konyol. “Nggak! Ogah! Ada- ada aja, mana ada anak SD segede ini badannya?! Ngaco memang!” Kopi sangat berefek pada Novan. Ia terjaga sepanjang malam tanpa merasa ngantuk. Semalam suntuk ia mengerjakan tugasnya dan akhirnya selesai tepat saat matahari baru terbit. Novan menghela napas lega. “Akhirnya …” Ia menenggelamkan wajahnya di meja belajar. Lelah juga. Tak lama kemudian, jam wekernya berdering kencang. Novan langsung mematikan jam wekernya. “Telat. Udah bangun duluan,” gumamnya mengejek jam weker. Ia merenggangkan badannya yang kaku karena duduk dalam waktu lama. “Mandi aja dah,” gumam Novan. Ia bangkit dari duduk dan mengambil handuknya. Ia masuk ke kamar mandi. Air dingin di subuh hari yang mengguyur badannya sangat menyegarkan. Selesai mandi, Novan tidak langsung memakai seragamnya. Ia memakai kembali baju kausnya tadi. Ia bingung harus melakukan apa saat ini. Ia melirik meja belajarnya yang berantakan. Ia membereskan meja belajarnya dan memasukkan tugasnya ke dalam tas. Ia mengecek smartphone, mungkin ada pemberitahuan lain dari grup kelompok atau grup kelas. English Lesson Ms. Efri Toro Ini semua udah kumpul ke aku? Biar di print Yudi Aku udah kumpul ya Efi Aku juga udah. Toro @Novan Andriansyah mana tugasnyaa Biar langsung aku print ini Yudi Woi Van @Novan Andriansyah Novan menepuk jidatnya. Ya ampun, saking sibuknya sampai lupa kalau dia belum mengirimkan tugasnya ke Toro. Ia kembali membuka laptop dan mengirimkan tugas secara personal ke Toro. Novan *sent file* Sori Tor, aku telat kirimnya. Lupa. Maaf. Ini udah selesai semua. Sori ya baru kirim pagi ini Toro Oalah Gak apa, masih sempat print kok. Makasih ya. Novan menghela napas lega. Ini jadi pelajaran untuknya agar mengecek kembali sebelum menyatakan tugasnya selesai. Karena bingung mau melakukan apa, akhirnya Novan memilih untuk mengenakan seragamnya. Ia merapikan kamarnya yang tidak terlalu berantakan itu. Menit demi menit berlalu, kegiatan beres- beres kamarnya berhenti saat smartphonenya berdering. Stevan menelponnya. “Hallo, Van.” “Lah, tumben udah bangun jam segini,” ujar Stevan di ujung sana. “Iya, kebetulan. Kenapa?” “Untung kamu bangun cepat. Aku mau ajak berangkat lebih cepat soalnya. Kamu siap- siap terus ya, bentar lagi aku jemput,” pinta Stevan. “Aku udah siap, kamu jemput aja terus.” “Oh, bagus. Ya udah tunggu ya, aku jemput sekarang. Nanti kalau udah sampai aku miscall.” “Iya iya.” Novan mematikan telpon. Ia lanjut membereskan sedikit kamarnya, tak lupa ia menyapu kamar. Kegiatan yang jarang ia lakukan, karena biasa ibu yang membereskan semuanya. Setelah semua beres, ia turun ke bawah. Tampak ibunya sedang menyiapkan sarapan, sedangkan papa menunggu sambil membaca koran di ruang tengah. “Cepat amat bangunnya,” gumam papa saat melirik Novan turun dari tangga. Novan hanya mengangguk. Ia melewati papanya dan hendak mengambil sepatunya dari rak sepatu. “Sarapan dulu baru pergi. Masih jam segini, belum telat,” pinta papa tanpa mengalihkan pandangan dari koran. “Iya pa.” Novan menaruh kembali sepatunya dan pergi ke ruang makan. Ia melirik adiknya, Mikel, yang duduk di kursi dengan wajah yang masih terkantuk- kantuk. “Pagi adiknya abang.” Novan menyapa adiknya ramah. Ia mengelus pelan rambutnya. Mikel mengerjapkan matanya dan menoleh pada Novan. Ia menyinggungkan senyum kecil. “Abang..” Sapanya dengan nada mengantuk. Ia hendak memeluk Novan, tapi malah hampir terjatuh. Untung saja Novan berhasil menangkapnya sebelum jatuh. Ia menggendong Mikel yang jatuh tertidur di gendongannya. Ia keliling rumah sambil menggemong Mikel. “Sarapan udah siap,” panggil ibu dari dapur. Novan kembali ke dapur bersama Mikel yang masih tertidur di gendongannya. Ia memangku Mikel dan menaruh roti bakar di piringnya. “Mikel bangun nak.” Papa membangunkan Mikel. Ia mengguncangkan badan Mikel pelan. Mikel mengerjapkan matanya sesaat, lalu kembali memejamkan matanya. “Mikel …” “Nanti aja pa, biarin aja dia tidur,” ujar Novan. “Ya udah,” balas papa. Mereka kembali melanjutkan sarapan. Novan sedikit kewalahan untuk sarapan karena harus menahan Mikel yang tertidur di pangkuannya agar tidak jatuh. “Udah, sama ibu aja dia,” pinta ibu. Novan menggeleng. “Nggak, nggak apa. Biarin aja dulu,” tolak Novan. Ia memakan potongan terakhir dari roti bakarnya, lalu menghabiskan segelas s**u yang sudah di siapkan. “Mikel, bangun,” bisik Novan di telinga Mikel. Mikel mengigau dan menepis Novan. “Hei Mikel, abang bawa es krim nih,” bisik Novan lagi. Seketika Mikel mengerjapkan matanya. Ia menoleh pada Novan dengan mata yang setengah terpejam. “Mikel mau es krim …” Ngigau Mikel. Novan tertawa kecil. “Iya, nanti ya. Pulang sekolah abang belikan.” Ia mengelus pelan rambut Mikel. “Mikel bangun dulu ya, abang mau pergi sekolah.” Mikel menggeleng. Ia memeluk Novan erat. “Mikel mau sama abang.” “Ya udah kalau gitu, es krimnya nggak usah aja ya,” ujar Novan. Mikel cemberut. “Mikel mau es krim!” Ujarnya tegas. “Nah, makanya. Mikel sama ibu dulu ya, abang mau pergi sekolah dulu. Pulangnya nanti abang beliin,” bujuk Novan. “Janji?” Mikel mengacungkan jari kelingkingnya. “Janji!” Novan ikut mengacungkan jari kelingkingnya. “Udah, kamu sarapan dulu sama ibu. Abang mau pergi sekolah dulu.” “Nih dik, udah selesai,” ujar bung Kribo sambil memberikan tugas mereka yang sudah di jilid. “Makasih bang. Jadi berapa totalnya?” Tanya Novan sambil mengeluarkan dompetnya. “Santai. Udah di bayarin sama Stevan tadi,” jawab bung Kribo sambil menunjuk Stevan. “Udah nih?” Tanya Stevan menghampiri. “Oh, bagus juga di jilidnya. Emang selalu rapi si bung ini.” Stevan mengacungkan jempol. “Jadi berapa totalnya Van?” Tanya Toro datang menghampiri. “Nggak tau, di bayarin dia soalnya.” Novan menunjuk Stevan di sampingnya. “Ah … jadi berapa totalnya .. em …” Toro gelagapan. “Panggil Stevan aja. Udah, nggak usah kalian ganti. Ayo, kita ke sekolah. Nanti kalian telat.” Stevan menarik Novan. “Kamu juga ikut, ayo.” **** Novan menghela napas lega saat mereka tiba di sekolah. Sepanjang perjalanan yang singkat tadi, Stevan tidak henti bertanya pada Toro tentang tingkah lakunya di sekolah dan menceritakan tingkahnya sewaktu kecil. Stevan ini memang buat malu aja. “Makasih ya Stevan udah antarin kami,” ujar Toro. “Sama- sama,” balas Stevan. Novan melepas seatbelt dan membuka pintu mobil. “Hei, nggak salim dulu?” Cegat Stevan. “Nggak!” Jawab Novan ketus. Ia menutup pintu mobil dengan kencang. Stevan geleng- geleng kepala. Ia membuka sedikit jendela mobil. “Nanti aku jemput ya,” ujar Stevan. “Ya, terserah,” jawab Novan ketus. “Udah sana balik!” “Hidih, malah ngusir. Dasar!” Stevan berdecak kesal. “Dahlah, aku duluan.” Stevan menyalakan kembali mesin mobil. Ia menghidupkan klakson sebelum mobilnya menjauh dari sekolah. “Itu beneran om kamu? Aku kirain abangmu tadi, soalnya masih muda,” tanya Toro. “Iya, om aku. Memang masih muda, cuma beda 10 tahun kok, kayaknya,” jawab Novan. “Hoi kalian! Toro! Novan!” Panggil seseorang dari belakang. Mereka menoleh. Tampak Yudi datang menghampiri. “Gimana tugasnya?” Tanya Yudi. “Aman.” Novan menunjuk tugas yang sudah di jilid. “Ah, syukurlah.” Yudi menghela napas lega. “Jadi berapa totalnya? Nanti biar patungan aja bayarnya.” “Nggak usah, udah di bayarin sama om aku,” timpal Novan. “Hah? Lah kok gitu. Biar kami bayarin aja dah. Berapa totalnya?” Yudi mengeluarkan dompetnya. “Nggak usah, dia juga nggak bilang kok habisnya berapa tadi. Udah nggak usah,” tolak Novan. “Sori ya, bilang makasih ke om kamu ya Van,” ujar Yudi. Novan mengangguk. Yudi mengambil tugas yang udah di jilid itu dan membukanya. “Untung jadinya bagus. Kalau nggak si Efi bakalan ngomel.” “Halah anak itu, perfeksionis banget,” gerutu Toro. “Udahlah. Kalau di mata dia ada kurangnya nih, kita suruh Novan aja yang bujuk,” ujar Yudi sambil merangkul Novan. Ia berdecak kesal. “Lah, kok aku sih jadinya?” “Ya, kan tuh cewek- cewek bakal luluh kalo kamu yang ngomong.” “Nggak, aku nggak mau!” Novan menepis tangan Yudi. “Udah bagus ini, nggak bakal protes kok dia. Tenang.” Toro dan Yudi saling lirik, lalu melirik Novan. “Kamu yakin?” Tanya Yudi. Novan mengangguk. “Yakin,” jawab Novan tegas. Yudi dan Toro meringis. “Belum tahu dia Yud,” celetuk Toro. Yudi mengangguk. “Ya udah, kita lihat aja nanti dah. Kamu jangan kaget ya,” ujar Yudi. Novan mengernyitkan alisnya. “Nggak bakal protes kok, yakin.” **** Pelajaran pertama adalah Bahasa Inggris. Beberapa menit sebelum bel berbunyi, mereka sudah mengatur posisi untuk duduk sesuai kelompok. Kelompok Novan memilih berkumpul di tengah kelas. “Mana tugasnya? Udah di print kan? Udah di jilid?” Tanya Efi. “Udah, nih.” Yudi mengeluarkan tugas yang sudah di jilid dari tas, lalu memberikannya kepada Efi. Ia membolak- balikkan halaman demi halaman secara perlahan. Yudi dan Toro saling bertukar pandang. Mereka menelan ludah. “Eh, ini kan nggak kayak gini!” Efi menaruh tugas di tengah meja dan menunjuk salah satu halaman. “Ini salah nih, nggak kayak gini harusnya!” Novan, Yudi, dan Toro melirik halaman yang di tunjuk. Mereka membaca halaman itu dengan teliti, lalu mengernyitkan alis. “Apanya yang salah? Kan bener ini …” Tanya Novan pelan. “Ini salah! Salah ukuran font tau! Harusnya ukurannya tuh 12, ini pasti di buat 13 kan?” Novan melongo. Yudi dan Toro hanya bisa geleng- geleng kepala mendengarnya. “Nggak nampak Fi, nggak bakal ada yang ngeh juga .. Aku menatap foto- foto dan agenda yang diberikan oleh pak Gugun. Kalau di lihat lebih jauh, papa memang terlihat berbeda di foto ini. Terlihat lebih tertekan. Papa menyinggungkan senyum tipis di foto ini. Wajah papa tampak lelah dan tidak bersemangat. Berbeda dengan papa yang sekarang, meski terkadang pulang kerja larut malam tapi aura semangat kerja masih terpancar. “Papa pasti merasa sangat bersalah di sini,” gumamku. Sampai sekarang juga begitu. Aku hampir membenci papa karena tahu papa pernah menduakan mama. Meski itu di masa lalu, tapi papa yang tidak tanggung jawab pada Rendra sukar untuk di maafkan. Tapi melihat foto ini, jelas papa terjebak dalam pilihan yang rumit. Papa salah jalan dan mengambil risiko besar. “Papa harus minta maaf dengan Rendra.” Aku menoleh menatap Rendra. “Aku udah maafin ayah sejak dulu. Aku lakuin ini karena ibu. Ibu selalu bilang, aku gak boleh benci ayah. Gimana juga, dia ayah aku. Aku gak akan ada di sini kalau bukan karena beliau juga.” “Tapi Ren ...” “Iya, susah memang maafin ayah. Aku juga baru ini bisa maafin beliau. Yah aku pikir, memaafkan itu lebih baik, gak akan memicu keributan. Lagipula, sepertinya ini lebih baik daripada misalnya nih, aku tinggal dengan ayah, tapi ayah ringan tangan yang sering memicu kekeras dalam rumah tangga.” Aku bangkit dari duduk. “Papa gak pernah gitu!” “Yah, semisal loh. Misal kan. Aku kan gak tahu ayah gimana sifatnya, ketemu tatap muka aja belum pernah. Kan papa tinggalin aku sejak bayi.” Aku kembali duduk. Rendra menatap foto itu lamat- lamat. “Semakin di lihat, ayah mirip banget sama kamu ya Teh,” gumam Rendra. “Kamu orang keseribu kayaknya yang bilang begitu. Semua orang bilang begitu. Katanya anak perempuan memang mirip papa, sedangkan anak laki- laki mirip mama.” Rendra mendengus. “Kamu darimana tahu hal itu?” Tanyanya. Aku mengedikkan bahu. “Kata orang sih begitu. Toh nyatanya memang begitu kan.” Rendra mengangguk. “Iya juga sih, aku lebih mirip ibu memang,” gumam Rendra. Terdengar nada dering telpon yang nyaring dari mr. Communicator. Kami saling melirik satu sama lain. “Punya siapa itu?” Tanya dokter Akar. Kami mengecek kantung masing- masing. “Oh, punya saya ternyata.” Dokter Akar mengeluarkan mr. Communicator dari kantung celananya. Dia nyengir lebar. “Halo, assalamualaikum. Dokter Akar Kuat Prasetya di sini.” Dokter Akar mengangkat telpon. “Oh iya pak. Ini saya Akar. Iya alhamdulillah, ada apa ya pak?” Dokter Akar bangkit dari duduk dan meninggalkan kami di ruang tamu. Ia pergi duduk di teras rumah, meninggalkan kami berempat di ruang tamu. Pak Gugun ada di dapur, katanya hendak menyiapkan makan siang. Terlalu cepat sih rasanya untuk masak makan siang sepagi ini. Mungkin karena masak untuk banyak orang, jadi pak Gugun mulai dari sekarang. Jadi gak enak, kami sudah merepotkan pak Gugun. “Lihat dong lihat foto ayah kalian!” Kara mengambil foto itu dari tangan Rendra. Ia menatap foto itu dan mangut- mangut. “Ini mah nyaris jiplakan si Althea memang. Mirip banget,” komentar Kara. Aku mengambil foto itu dari tangannya. “Kan kamu udah pernah liat papa di sekolah,” ujarku. Aku memasukkan foto itu ke dalam map yang diberikan pak Gugun. “Waktu itu aku lihatnya gak terlalu mirip. Kalo yang ini malah mirip banget,” jawab Kara. “Oh papa orang penting di sekolahmu ya?” Tanya Rendra. “Hem ya, papa deket sih sama kepsek. Temen satu sekolah, katanya gitu. Jadi ya, kadang papa main ke sekolah,” jawabku. “Papanya pelatih lomba kami, lomba IT. Sering ke sekolah karena anaknya bandel!” Kara memberitahu. Aku menyikut Kara. “Sok tahu kamu! Kan kamu anak baru. Baru pindah berapa hari juga!” “Yah tapi kamu udah kena masalah kan, papamu juga pasti tahu masalahnya tuh.” Aku bangkit dan menggertak meja. “Kan itu gara- gara kamu!” Aku menunjuk Kara tepat di wajahnya. Ia menepis tanganku. “Heh. Sadar deh. Kamu duluan yang cari gara- gara!” Kara balik menunjukku. Aku menepis tangannya di depan wajahku. “Kamu masih anak baru, udah nyari ribut aja! Aku belum kenal kamu, gimana aku bisa nyari masalah sama kamu?!” Aku membela diri. Kara mendengus. “Beneran gak tau salahnya apa dia,” gumam Kara sedikit berbisik. “Gak perlu kenal untuk cari masalah dengan orang lain.” “Hah? Apa?!” Aku melotot menatap Kara. Suara pintu di dobrak mengalihkan perhatian kami. Dokter Akar mendobrak pintu depan dan masuk ke ruang tamu. Wajahnya pucat dan panik. “Ada apa kok ribut banget?” Pak Gugun yang ada di dapur menghampiri kami. “Loh pak Akar kenapa?” Tanya pak Gugun. “Ini gawat! Gawat sekali!” Dokter Akar duduk dan memasukkan mr. Communicator ke dalam kantungnya. “Kita harus pergi dari sini. Secepatnya!” ***** “Loh kenapa? Kok mendadak banget?” Tanya pak Gugun. Beliau ikut duduk di ruang tamu bersama kami. Ia tidak melanjutkan masak karena mendengar kericuhan yang kami buat. “Saya tadi di telpon oleh direktur rumah sakit. Kata beliau, keadaan di luar sana sangat parah. Menurut data yang berhasil di kumpulkan, dari provinsi ini, hanya ada sekitar 2 rumah sakit yang aman, belum terkontaminasi oleh virus misterius yang membuat orang jadi zombie itu. Tapi semua rumah sakit itu tutup, demi keamanan untuk menghentikan penyebaran virus sementara. Menurut laporan, hanya sekitar 2% populasi di provinsi kita yang tidak terkontaminasi virus itu. Mereka semua saat ini sembunyi di rumah masing- masing, melindungi diri dari virus itu.” Dokter Akar menjelaskan panjang lebar. “Tunggu, jadi kejadian ini hanya di provinsi kita gitu? Provinsi dan pulau lain gak ada?” Tanya Rendra. “Paling parah di provinsi kita, karena asal virusnya dari sini. Provinsi sebelah sudah mulai menyebar perlahan, karena itu mereka mulai menutup akses dari mana pun. Upaya pencegahan.” “Direktur saat ini sedang di luar pulau, tapi terus memantau agar hal ini tidak menyebar menjadi pandemi lagi.” Kami bergeming di tempat. Aku menelan ludah. Ini mengerikan. “Ini parah, memang. Mereka sampai saling bunuh yang terjangkit supaya gak kena penyebaran. Paling parah di kota kita, katanya sampai bertumpahan darah di jalanan.” Kami terpenjat kaget. “Mengerikan,” gumamku. Dokter Akar mengangguk. “Direktur meminta saya untuk mengumpulkan mereka yang selamat dan membawa mereka pergi keluar sebelum provinsi lain benar- benar menutup akses.” “Kita balik ke kota?” Tanya Kara. Dokter Akar mengangguk. “Iya, mereka berkumpul di satu tempat. Direktur memberitahu lokasinya tadi. Kita harus ke sana secepatnya.” Pak Gugun mengangguk. “Ya. Memang benar. Kalian harus pergi menolong yang lainnya.” Pak Gugun pergi ke belakang. Kami mengira beliau lanjut masak, tapi ia kembali tak lama kemudian. “Tak banyak yang bisa saya bantu, tapi kayaknya kalian butuh alamat ini.” Pak Gugun memberikan secarik kertas padaku. Sebuah alamat tertera di sana. Wisma Asia Kencana, Jln. Merdeka. “Itu ada di provinsi sebelah. Agak jauh dari pusat kota, tapi sepertinya kalian aman di sana.” Pak Gugun menjelaskan. “Pakailah sesuka kalian. Wisma itu lagi kosong. Saya sudah menghubungi pihak sana. Katanya boleh kalian ke sana.” Aku mengernyitkan alis. “Kok kosong pak wisma-nya?” Tanyaku. “Rencana wisma itu akan tutup. Wisma itu milik saya, pakailah.” ***** “Satu orang lagi? Siapa?” Tanya Novan. Karyo tidak langsung menjawab. Ia menggeser sedikit badannya dan tampak Kirana di belakangnya. “Hai ..” Sapa Kirana agak kaku. Novan agak kaget melihat kehadiran Kirana. Ia menelan ludah. “H.. Hai..” Balas Novan gagu. “Oi Van! Yok kita per ..” Andi merangkul Novan. Ia melirik Karyo dan Kirana yang ada di depannya. “Eh, ada kalian kok. Hai!” “Hai Ndi,” sapa Kirana balik, lebih ramah. “Kalian mau jemput nih anak ya? Danus ada urusan mendadak ya? Nih anaknya nih, bawa aja!” Andi mendorong Novan ke dekat mereka. “Ah, nggak kok. Kami juga lagi istirahat jualannya. Kami mau ketemu sama Novan aja,” jawab Kirana. “Oalah. Kirain. Yaudah kalo gitu, ikut aja sekalian ke kantin yuk. Kami mau mau ke kantin soalnya.” Ajak Andi. “Boleh gak Van?” “Hah heh... Em ...” “Oke kalo gitu!” Andi merangkul Novan. “Ayo kita ke kantin!” **** Kantin tampak mulai padat dengan kehadiran murid- murid yang menghabiskan waktu istirahatnya untuk makan setelah lelah belajar. Andi celingak- celinguk. “Hem. Rame juga. Ada tempat kosong gak ya ...” Gumam Andi. “Tuh, ada kosong di sana tuh!” Karyo menunjuk ke sebuah meja yang tersisa di sudut kantin. “Iya, kita di sana aja,” timpal Kirana setuju. Andi segera lari ke meja itu agar tidak ada yang mengambil tempatnya. Mereka menghampiri Andi. Semua duduk di sana, kecuali Novan. Ia masih berdiri diam di tempat. “Kalian duduk aja, biar aku yang pesenin makanannya. Kalian pesan apa?” Tanya Novan. “Aku, siomay bandung satu, bakwan tiga, tempe gorengnya 2, terus ...” “Tolong anda jangan ngelunjak ya Ndi,” potong Novan. Andi nyengir. “Es teh manis deh! Siomay satu, bakwan tiga, sama es teh manis!” Ujar Andi. “Kalian apa?” “Aku... Siomay bandung juga deh, sama es teh manis juga,” jawab Kirana. “Aku bakso dan jus jeruk aja,” jawab Karyo. Novan celingak- celinguk. Kayak ada yang kurang... “Gilang mana?” Tanya Novan. Tadi, Gilang ikut jalan bareng mereka ke kantin. Sekarang kenapa dia tidak ada? “Biasalah. Palingan dia lagi jadi bulol sama si Taya,” jawab Andi. “Oh, Taya anak kelasku? Dia deket sama Taya?” Tanya Kirana. “Bukan deket lagi sih. Udah jadi terbucin t***l dia sama si Taya!” Kirana dan Karyo tergelak. “Ya ampun, terbucin dia sama Taya. Jadi kacung si Taya entar dia lama- lama!” “Sori, sebelumnya. Ini udah kan? Biar aku pergi pesan.” Novan memotong. “Oh, udah Van. Sori. Makasih ya!” Novan pergi meninggalkan mereka dan mendekati pedagang yang menjajakan jualannya. ***** Sebuah perjuangan memang kalau jajan di tengah jam istirahat seperti ini. Kantin ramainya bukan main. Novan berusaha keluar dari kerumunan tanpa menumpahkan pesanannya. Ia menghela napas lega saat ia berhasil keluar dari kerumunan tanpa ada kurang apapun. “Nih, pesanan kalian.” Novan menaruh nampan di atas meja. “Wah, thank you!” Andi langsung mengambil pesanannya, di susul oleh Kirana dan Karyo. Novan duduk di sebelah Andi. “Ini batagormu Van.” Seseorang menaruh sepiring batagor di depan Novan. “Maka..” Novan menoleh dan kaget saat melihat Kirana di depannya. Ia langsung membuang muka dan menarik piring batagor ke dekatnya. Ia melahap batagor itu dengan cepat. “Wei wei, pelan- pelan woi makannya. Nanti keselek!” Andi memperingatkan. Novan mengabaikannya. Ia menyantap batagor sampai habis tanpa tersedak sekali pun. “Hebat, bisa nggak tersedak.” Andi bertepuk tangan dan mengacungkan jempolnya. Novan menegak es teh manis pesanannya. “Van, itu bukannya punyaku ya?” Tanya Kirana. Novan tersentak kaget dan tersedak. Ia terbatuk- batuk. “Ah, ya udah gak apa sih kalau udah kamu habisin. Nanti aku pesen yang lain..” Ujar Kirana. “Maaf,” gumam Novan. “Atau gak, kamu minum aja punya Novan. Daripada pesan lagi, nanti lama,” saran Andi. “Ah, nggak apa kok. Aku ... Aku nggak bisa minum punya orang,” tolak Kirana. Novan merasa tertohok. “Anu ... Gak apa ... Minum .. Aja... Aku belum minum kok,”ujar Novan. “Hem, kalo memang gitu. Boleh deh ..” Kirana menarik segelas es teh manis itu ke dekatnya. “Oh ya, tadi katanya ada perlu ya? Ada perlu apa Yo?” Tanya Novan. “Oh, bukan aku yang perlu. Tapi...” “Hai, halo kalian semua...” Sapa seseorang ramah. Mereka menoleh. Sarah dan teman- temannya datang menghampiri meja mereka. “Nggak ada meja kosong nih. Kami boleh gabung gak?” Tanya Sarah. “Tapi ka...” Belum lagi Karyo menyelesaikan perkataannya, Sarah sudah lebih dulu nyelonong duduk. Ia sengaja duduk di sebelah Novan. Lili duduk di sebelah Andi dan Tia duduk di sebelah Kirana. “Hai. Kita ketemu lagi ya Van,” sapa Sarah ramah. Novan hanya tersenyum simpul, meski dalam hati dia merutuk. Sarah melirik sekeliling dan pandangannya terhenti pada Kirana yang duduk di depannya. “Oh, ada Kirana juga kok. Kamu apa kabarnya Kir? Ih udah lama ya kita nggak jumpa.” “Ya, kayak gitu.” “Kamu kemari sama mereka ya? Wah enak banget ya, sama cowok- cowok. Apalagi kan ada pacar kamu tuh, si Karyo. Apa kamu nggak cemburu Yo?” Tanya Sarah. “Kami nggak pacaran Sar,” jawab Karyo. “Oh, enggak ya? Aku kirain kalian pacaran, soalnya kalian deket banget sih. Kalian kan kemana-mana selalu berdua gitu. Kalian cocok kok, kenapa nggak pacaran aja?” Kirana berdecak kesal. “Cih. Kami itu sohib dari kecil, ya deketlah.” “Ya kali aja, dari sohib jadi jodoh gitu. Apalagi kan kamu ya, biasanya tuh mainnya ama cowok juga kan ya. Kan kamu tuh, apa tuh, kan kamu cewek beda ya. Main sama cowok biar ada yang lindungi kan, biar paling gemes gitu kan.” Kirana mendengus. “Iyalah. Kan aku imut gemesin.” Ia menatap tajam Sarah. “Nggak kayak kamu.” Sarah menatap tajam Kirana. “Iya dong, kita kan beda jauh memang. Kan aku jauh lebih cantik daripada kamu.” Kirana mendengus dan mengerlingkan matanya. Keheningan sesaat itu terpecah dari sorak riang Andi. “Wohoo! Aku berhasil selesaiin quest! Mantep nih dapet skin baru!” Andi bersorak riang. “Wih, kamu ikutan event baru itu ya? Itu kan hadiah skin rare semua. Gile sih,” timpal Karyo. Andi mengangguk. “Eh, kalian main game apa memangnya? Oh, game ETSGER LEGENDARY ya? Ah, aku main gitu juga kok. Aku mah gak suka main game arcade biasa,” timpal Sarah. Kirana mendengus. “Iya deh, yang paling cantik kamu memang. Yang paling gatel kamu juga. Dasar pick me girl,” gumam Kirana pelan. Sarah menoleh dan menatap tajam Kirana. “Apa? Apa kamu bilang?” ****** Novan menutup pintu kamar Mikel dengan perlahan. Akhirnya, ia berhasil menidurkan Mikel. Ia sengaja mengajaknya bermain sampai ia letih dan tertidur sendiri. Ia pergi ke ruang keluarga dan menghela napas panjang. Ia bisa maklum jika ruang keluarga berantakan dengan mainan Mikel. Namanya juga anak- anak. Tidak salah membiarkan ia bermain sepuasnya, yang salah adalah orang dewasa yang tidak mengajarkannya cara merapikan mainan sendiri. “Harusnya tadi ajak Mikel rapikan dulu sebelum tidur,” gumam Novan. Ia mengambil keranjang mainan dan memasukkan semua mainan ke dalamnya. Saat itulah, ibunya keluar sambil menguap lebar. “Mana Mikel?” Tanya ibu Novan. “Tidur,” jawab Novan singkat. Ibu Novan mangut- mangut. Ia berjalan keluar kamar dan tiba- tiba teriak kesakitan. “Haduh! Haduh! Apaan ini?!” Gerutu ibu Novan sambil mengecek kakinya. “Apa ini? Lego? Ya ampun!” Ibu Novan melempar lego ke lantai. “Anak ini, selesai main bukannya di beresin! Malah pergi tidur!” “Tapi tadi di suruh tidur ...” Gumam Novan. “Ya tapi harusnya kan beresin mainan dulu! Nggak lihat dia apa berantakan kayak gini?!” Gerutu ibu Novan. “Namanya juga anak- anak. Harusnya orang dewasa yang inisiatif buat nyadarin kalau ini berantakan dan harus di beresin. Kalau di bilangin doang mah, mana ngerti. Harus di tuntun.” Ibu Novan mendengus. Ia melempar lego yang berserakan di depannya ke dalam keranjang. “Dia udah makan siang tadi? Habis nggak?” “Nggak. Sisanya aku yang makan.” “Kok bisa nggak ha ...” “Ya gimana mau habis, di kasih makan dengan porsi kayak orang dewasa. Mereka masih anak- anak, perutnya juga masih kecil. Mana sanggup habisin semuanya.” Novan memotong pembicaraan. Ibu Novan berkacak pinggang dan melotot menatap Novan. “Oh, jadi semua ini salah ibu gitu ya? Iya? Kamu mau nyalahin saya?” Bentak ibu Novan. “Aku nggak nyalahin, tapi kalau situ merasa bersalah ya bagus. Sadar diri, seengaknya. Ibu mana yang malah telantarin anak, biarin anak lakuin sendiri nggak di bimbing? Memangnya anak itu kayak robot apa, udah di program biar ngerti sama semuanya?” Wajah ibu Novan memerah. Matanya melotot lebar. “Jadi kamu mau nyalahin saya? Iya? Memangnya kamu pikir jadi ibu gitu mudah apa hah?! Kamu nggak tau kan betapa susahnya jadi ibu?! Harus mengurus anak dan suami, nggak sempat urus diri sendiri ...” “Tapi kamu nggak kelihatan seperti itu kok. Kamu kelihatan seperti sangat mengurus diri sendiri kok.” Ibu Novan terdiam. “Ya, aku harus lakuin itu dong. Biar tetap di sayang sama papamu.” Ia mengibaskan rambutnya yang hitam lebat itu, namun ada sedikit uban yang terselip di dalamnya. “Ya, kalau kamu nggak mau jadi seorang ibu, makanya jangan nikah. Jangan punya anak. Kalau gitu kan nggak perlu stress sama banyak hal ka...” Sebuah tamparan keras dari ibu Novan melayang di pipinya. Novan terdiam. Ia terbelak kaget, tidak menyangka hal seperti itu akan terjadi. Napas ibu Novan menggebu- gebu dengan wajahnya yang semakin memerah. “Jaga ya ucapan kamu!” Novan baru masuk ke kelas saat bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Sebenarnya sejak sadar tadi dia sudah mendingan, tapi dia lebih memilih tetap di UKS. Toh, dia juga sudah dapat izin, ya harus di gunakan. Kelas riuh rendah karena guru pelajaran setelahnya belum masuk. Novan menyusup masuk ke dalam kelas dan duduk di tempatnya. “Eh Van. Kamu udah nggak apa?” Tanya Andi. “Yah, udah mendingan. Tadi ada tugas? Kuis? Atau apalah?” Tanya Novan. “Nggak ada apa- apa sih, tugas juga nggak ada. Beliau tadi nggak lama juga masuknya, bentaran doang karena ada perlu gitu bentar di luar katanya.” “Oh, baguslah kalau begitu.” “Van? Kamu beneran nggak apa? Nggak perlu telpon ke rumah gitu?” Tanya Andi. “Untuk apa? Biar di jemput, terus pulang gitu? Cuma pingsan doang, bukan yang sampai parah gitu,” tolak Novan. Andi dan Gilang terbelak. “Pingsan doang bah katanya. Rada- rada emang nih anak kayaknya,” komentar Gilang. “Bisa- bisanya kamu bilang pingsan doang Van …” Komentar Andi. “Guys, aku nggak apa. Tenang. Nih lihat, aku nggak apa kan? Sehat- sehat aja kan? Udah di bilangin nggak apa- apa!” Novan menepuk pundak kedua temannya. “Ya, terserahmu lah. Jangan sampai pingsan lagi tapi nanti ya,”ujar Andi. “Nggak, nggak akan! Tenang aja!” “Wei, wei, guru udah datang!” Iwan memberitahu sambil mengintip di balik pintu kelas. Semua langsung duduk rapi di tempatnya. Tak lama kemudian, ibu guru masuk ke dalam kelas. Langkah kaki dari sepatu hak tinggi yang terdengar nyaring. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN