Bab 58

1137 Kata
         Mereka menghabiskan waktu istirahat di gudang sambil menikmati cemilan dan membahas lebih lanjut soal tugas joki yang ternyata sudah menumpuk.            “Ini udah banyak nih tugasnya. Kita close joki untuk sementara aja gimana?” Saran Novan.            “Loh? Kenapa? Kalau begitu kan kita rugi dong?” Bantah Karyo.            “Kalau makin banyak kan, nanti bakal kewalahan. Belum lagi kan kita bakalan ada tugas sekolah yang lain. Bakalan keteter nggak sih nanti?”            “Ah, nggak apa. Bisa kok, bisa. Asal bisa bagi waktu.” Karyo mencoba meyakinkan. Ia menepuk pelan pundak Novan. “Tenang aja, kalau terkumpul banyak, kita bisa undang artis- artis yang lagi hits. Kita bisa undang Rainun, Molly, dan artis lainnya.” Mata Karyo tampak sangat berbinar.            “Kayaknya nggak bakal bisa sampai segitunya deh …” ujar Novan.            “Bisa! Kamu tau nggak, yang paling mahal tuh berani bayar berapa?” Tanya Karyo. Novan mengernyitkan alisnya.            “Memang berapa?” tanya Novan penasaran. Karyo mendekat dan membisikkan sesuatu pada Novan. Novan tercengang mendengarnya dan menatap Karyo dengan tatapan tak percaya.            “Hah? Serius mau bayar sebanyak itu?” Karyo mengangguk dan mengacungkan jempolnya.            “Mantap bukan?” Karyo mengacungkan kedua jempolnya. Novan geleng- geleng kepala. Ia tak habis pikir dengan jumlah yang di bisik oleh Karyo tadi.            “Nggak habis pikir. Bener- bener rela di hamburin uang sebanyak itu. Tapi yang lebih aneh sih, emangnya ada anak sekolah yang jajannya sebanyak itu?” Karyo mengedikkan bahunya.            “Anak orang kaya kali. Saking kayanya sampai nggak tahu mau di bawa ke mana tuh duitnya kali.” Novan geleng- geleng.            “Terlalu kaya memang.”            “Hem, aku kayaknya nggak janji sih bakalan ambil tugasnya. Soalnya ini aja aku udah agak kewalahan.”            “Yah Van, kok gitu. Kan aku bantu juga. Sama- sama berjuang toh kita. Ya? Ya Van ya?” Karyo memohon dengan mata penuh harap. Novan berdehem. Dia tidak yakin ia bisa mengatur waktu untuk menyelesaikan ini semua.            “Nggak tahu deh. Kita lihat aja nanti.”            Samar- samar bunyi bel masuk terdengar dari dalam gudang. Novan mengintip sedikit dari jendela. Murid- murid tampak berbondong- bondong kembali ke kelas.            “Udah masuk, kayaknya. Yuklah kita masuk.” Novan bangkit dari duduk. “Ini nanti aku ambil pulang sekolah aja ya. Ada kunci cadangan nggak? Kali aja kelas aku keluar duluan.”            “Oh, ini. Bawa aja kunci ini.” Karyo memberikan kunci di kantongnya. “Ini jangan hilang ya, soalnya aku belum ada buat kunci cadangannya.” Novan menyimpan kunci itu ke dalam kantung celananya.            “Oke. Beres. Ya udah, ayo balik.” ****            Pelajaran selanjutnya adalah pelajaran olahraga. Anak laki- laki ganti baju di kelas, sedangkan anak perempuan di tempat khusus. Novan paling akhir masuk ke kelas. Ia membuka sedikit pintu kelas dan terdengar teriakan histeris dari dalam.            “Tutup pintunya woi!” Pinta seseorang. Novan buru- buru menutup pintu.            “Kamu darimana aja Van?” Tanya Andi.            “Ambil baju dulu tadi di ruang koperasi.” Novan menaruh bajunya di atas meja. Ia membuka satu persatu kancing seragamnya.            “Wih, lihat nih. Baju olahraga baru!” Gilang mengambil bungkus baju olahraga milik Novan dan mengangkatnya tinggi- tinggi. Seisi kelas menatapnya.            “Kok bagusan baju yang baru sih warnanya?” Gerutu Iwan. Ia mengambil baju itu dari tangan Gilang.            “Maunya kita juga dapat baju baru nggak sih? Curang ah, masa cuma anak kelas 10 aja yang dapat,” timpal Wawan, yang di sambut dengan anggukan yang lain. Novan merebut kembali baju olahraganya.            “Emang beda ya dengan seragam kalian?” Tanya Novan. Semuanya mengangguk dan mengeluarkan baju olahraga masing- masing. Baju olahraga mereka berwarna putih dengan lengan hitam dan celana hitam, sedangkan baju olahraga Novan berwarna merah marun dengan garis abu- abu di lengan dan celana abu- abu dengan garis merah marun.            “Ya, beda banget sih. Emang bagusan warna yang baru,” gumam Novan.            “Kan? Udah di bilangin juga. Kami minta di ganti juga semuanya, malah nggak di kasih sama kepala sekolah,” ujar Iwan.            “Yah, seenggaknya kan baju kita masih mending deh daripada punya anak kelas 12. Lebih parah lagi,” timpal Yudi.            “Iya juga, baju mereka sih warnanya parah banget ya …”            “Memang baju mereka warna apa?” Tanya Novan.            “Kuning stabilo, terus ada garis warna oren stabilo di lengannya. Celananya juga, warna oren stabilo dengan garis kuning stabile. Mana nama sekolahnya segede gaban lagi, ada dimana- mana,” jawab Gilang, lalu tertawa. Novan ikut tertawa.            “Cerah banget, kayak mau saingan sama matahari,” komentar Novan.            “Memang. Katanya secerah masa depan! Untung dah kami nggak kena warna baju kayak gitu,” ujar Gilang, yang di sahut dengan anggukan yang lain.            “Tapi, kenapa kayaknya sekolah ini ganti terus warna baju olahraganya?” Tanya Novan heran. “Apa memang setiap angkatan itu sengaja di buat beda- beda?”            “Nggak sih. Katanya sih, baju olahraganya ganti warna terus karena pada protes dengan warnanya yang sangat silau. Mulanya anak kelas 12 yang protes, akhirnya di setujui. Tapi baru di laksanain waktu kami kelas 10. Kami juga gitu, ada yang protes, baru di ganti dah warnanya. Tapi kami nggak dapet baju itu.”            “Padahal baju itu kan hasil rancangan kami bersama. Tapi malah kami yang nggak dapet,” gumam Iwan pelan. Ia menepuk pelan pundak Novan. “Tapi nggak apa, udah ada Novan yang mewakili kita. Ini kamu jaga baik- baik ya, Van. Hasil rancangan kami bersama.” Novan mengangguk.            “Hei, kalian! Anak laki- laki kelas 11 MIPA 2!” Terdengar lantang suara peluit di luar kelas, di iringi dengan teriakan seseorang.            “Weh, udah di panggil sama pak Hari tuh!” Ujar Andi panik. Mereka dengan cepat mengganti seraham dengan baju olahraga. “Yang udah selesai keluar terus ya.”            “Saya hitung sampai 10. Kalau kalian belum keluar juga, nanti kalian push up sepaket di lapangan. Satu …”            “Woi woi cepet keluar yang udah woi! Jangan lama kalian!” Andi membuka pintu kelas dan keluar lebih dulu, di susul dengan yang lain. Tinggal Novan dan Gilang di dalam kelas.            “Weh weh, tungguin lah ..” Pinta Gilang.            “Ogah! Nggak mau aku nanti push up sepaket,” tolak Iwan. Ia keluar kelas menyusul yang lain.            “Push up sepaket itu, emang berapa sih?” Tanya Novan.            “Sepaket tuh, push up 100x!”            Novan melongo mendengarnya. Ia yang tadinya masih santai membuka kancing bajunya langsung gerak cepat. Ia melempar bajunya ke atas meja dan memakai seragam olahraga. Ia ganti baju secepat kilat. Setelah selesai, ia melempar seragamnya ke atas meja.            “Duluan ya Lang!” Novan pergi keluar kelas lebih dulu, meninggalkan Gilang yang masih kewalahan memakai celana olahraga yang mulai sempit.            “Lima … enam …” Pak Hari masih terus menghitung di luar sana.            “Ah, eh .. eh Van, tunggu!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN