“Nama kamu siapa?”
“Karenina Nada Puspita Abinawa.”
“Panjang.”
“Bukan! Nama aku Karenina Nada Puspita. Abinawa itu nama Papa tapi di nama aku juga ada.”
“Maksud aku, nama kamu panjang.”
“Oh. Emang nama kamu siapa?”
“Bismantala Aillangga.” Bocah laki-laki itu mendengus kesal karena tak mampu melafalkan huruf r yang tersemat di nama lengkapnya, meski umurnya sudah menginjak lima tahun. “Panggil aku Bisma aja!” omelnya kemudian.
Nina memiringkan kepalanya, merasa bingung mengapa lawan bicaranya justru nampak kesal sendiri.
“Ara! Ayo makan dulu, Nak,” seru sang Ibu yang muncul di belakang bingkai pintu utama kediaman Ara, melambaikan tangan. “Nina juga. Masuk yuk!”
“Iya, Ma,” seru Ara, sementara Nina hanya menganggukkan kepala.
“Kok Tante manggil kamu Ara? Kata kamu, nama kamu Bisma?”
“Bismantala Aillangga. Ada Alanya.”
Nina mengerutkan kening. Sungguh ia tak paham apa maksud pria kecil itu. Sementara Ara yang melihat raut linglung milik Nina, kembali mendengus putus asa.
“Panggil Bisma aja,” lirih Ara, sedih.
“Aku panggil kamu Ara boleh?” tanya Nina kemudian.
“Kenapa?”
“Aku lebih suka Ara.”
Sejenak Ara berpikir, lalu … ia tersenyum seraya mengangguk.
“Habis makan kita mainan ya Ara?”
“Oke. Nina mau main apa?”
“Ibu-ibuan. Nina jadi ibunya. Ara jadi ayahnya. Nina punya boneka barbie, cantiiik kayak Nina. Nanti barbienya jadi anak kita. Oke?”
---
Ara datang terlambat di hari pertama masa putih abu-abunya. Selepas menjalani hukuman jalan jongkok keliling lapangan, ia melangkah cepat menuju kelasnya. Pintu berwarna putih di hadapannya ia ketuk beberapa kali, membuat semua pasang mata di seantero kelas serentak menatapnya.
Ara mengangguk sopan pada guru yang berdiri di depan kelas, menunggu hingga ia dipersilahkan masuk.
“Siapa namamu?”
“Bismantara Airlangga, Bu.”
“Besok berencana terlambat lagi Bisma?”
“Tidak, Bu.”
“Duduk!”
Ara mengangguk. Ia lalu menyapukan pandangannya, mencari kursi yang masih tak bertuan. Pilihannya ada di deret kedua, atau di deret keempat – tepat di samping seorang siswi yang sibuk dengan buku dan pensilnya. Pilihan Ara, tentu saja bukan di area para jenius.
Tubuhnya ia hempaskan di atas kursi. Ara lalu mengosongkan tasnya dengan meletakkan semua buku paket sesuai jadwal hari itu ke dalam laci. Sebuah buku tulis dan pulpen kemudian ia letakkan di atas meja. Saat akan meluruskan pandangan, netranya sedikit berkhianat, melirik ke sang gadis di sisi kanan. Ara menoleh lagi, kali ini lekat menatap hasil karya dari goresan pensil yang teramat indah.
Jemari siswi itu berhenti bergerak, rasanya tak nyaman jika ada yang memerhatikan terang-terangan seperti itu. Ia menutup sketchbook-nya lalu mengangkat pandangan lurus ke papan tulis.
Karenina Nada Puspita. Tiga kata yang tertulis sebagai penanda kepemilikan buku gambar itu. Ara tentu saja terhenyak. Pandangannya turut naik, namun tak mengarah ke papan tulis, melainkan tertuju ke paras dewi sang gadis.
“Nina?”
Nina perlahan menoleh, membalas tatapan Ara.
“Aku … Ara. Bismantara Airlangga. Kamu masih ingat aku?”
---
Langit yang menaungi camp area Plawangan Sembalun malam itu bertabur ribuan bintang. Mungkin malam-malam lainnya juga demikian. Tapi, karena baru kali ini Ara mewujudkan satu impiannya tersebut – mendaki Rinjani – maka bolehlah ia menganggap jika semesta mendukung eksplorasinya dengan memberikan cuaca yang cerah.
Jika para pendaki lain menikmati kerlap-kerlip gugus Bima Sakti tersebut dari depan tenda masing-masing – sambil bersenda gurau, maka Ara justru bersantai di bagian belakang. Ia merebahkan diri menatap langsung keindahan di atas sana dalam keheningan.
“Ara?”
Ara menoleh, iris matanya mengikuti langkah Nina hingga sang gadis duduk di sampingnya.
“Nanti ketiduran di sini bangun-bangun beku lho.”
“Tinggal Nina peluk, nanti Ara lumer lagi.”
“Emangnya piscok bisa lumer?”
Ara terkekeh. Ia bangun dari posisinya, duduk menempel dengan sang kekasih. Mereka tengah dalam acara jalan-jalan jauh sebelum ujian akhir nasional yang akan diadakan bulan depan.
“Bawa apa?”
“Teh panas,” ujar Nina seraya menggoyang tumbler-nya. “Ara mau?”
“Iya, mau.”
Nina membuka tutup tumbler yang berfungsi ganda sebagai gelas kecil lebih dulu. Selanjutnya ia menekan tombol merah di bagian dalam untuk membuka akses keluarnya cairan. Namun, entah di mana kesalahannya, saat Nina memiringkan tumbler tersebut – bermaksud memindahkan isinya ke dalam gelas – teh yang masih sangat panas itu justru menyiram jemarinya.
“Aduh!”
Ara sontak berdiri, masuk ke tenda, mengambil tumbler berisi es batu yang ia isi di Desa Sembalun, titik awal pendakian pagi tadi. Memang sudah tak berbentuk es, tapi air di dalamnya masih cukup dingin. Ara memindahkan air itu ke dalam mangkuk kecil, merendam jemari Nina ke dalamnya.
“Sakit banget ngga, Sayang?”
Nina mengangguk. Ara menghempaskan napas putus asa.
“Tumbler-nya baru. Nina lupa lihat lubang keluar airnya di mana, jadinya malah kesiram.”
“Jangan dipakai lagi tumbler-nya. Nanti Ara beliin yang simple aja, biar ngga celaka berulang.”
Nina diam saja, menatap tangannya di dalam mangkuk yang sepertinya sudah membaik.
“Jangan diangkat. Biarin aja sampai airnya adem,” ujar Ara.
Pandangan Nina teralihkan, kini menatap sang kekasih yang mengusap lembut jemarinya di bawah air. Nina tak tau alasan pasti yang membuatnya menyukai Ara. Yang Nina tau, bersama Ara, rasanya sungguhlah nyaman … dan tentu saja bahagia.
Lucunya, saat Ara menegakkan punggung dan mengangkat titik pandangnya, bersirobok dengan tatapan Nina, jantung Nina sontak berdebar kencang. Tak hanya Nina, Ara pun merasakan hal yang sama. Kedua iris sang jelita nampak berbinar, indah, bahkan lebih lebih indah dari kerlip bintang di atas sana.
Tatapan Ara turun beberapa centimeter, tepatnya ke heart shaped lips yang selalu nampak ranum tersebut. Degup jantung keduanya semakin menggila. Meski, tak ada satu pun yang sanggup memalingkan wajah lebih dulu.
Perlahan Ara mengikis jarak, meniadakan ruang di antara wajah mereka. Semakin dekat ... hingga akhirnya bibir keduanya bertemu dan memberikan aliran listrik nan menggelitik di seluruh tubuh. Ara tak membiarkan suasana romantis itu cepat berlalu. Kedua tangannya naik, menangkup wajah mungil Nina, lalu bibirnya bergerak berlahan, menyapu dan mengecup selembut mungkin tanpa terburu-buru.
Mereka terus berbagi ciuman manis itu, hingga entah apa pemicunya, keduanya sama-sama menangis.
“Ara … Nina kangen.”
“Nina … Ara juga kangen.”
“BISMANTARA AIRLANGGA! BRO, WAKE UP!”
Ara sontak membuka matanya, menghunus Gail dengan tatapan yang sarat keputusasaan.
“Ayo, kita udah sampe,” ujar Gail tanpa menyinggung wajah Ara yang nampak sungguh nelangsa.
Ara menegakkan punggung, bernapas dalam beberapa kali. Ia lalu mengusap seluruh wajahnya dengan kedua tangan, mendapati sisa air mata. “Gue ….”
“Lo yakin ngga mau gue temanin konsul, bro? You need help, man!”
“Gue ngga apa-apa, bro.”
“Ara! Konsul tuh ngga dosa. Lo harus tetap waras untuk jalanin hidup lo. Udah setahun, bro. Dan kondisi lo ngga juga membaik.”
“Lo tau apa yang paling gue takutin?”
“Soal kenapa lo ngga mau konsul?”
Ara mengangguk.
“Apa?”
“Gue takut … Nina pun bakal menghilang dari mimpi-mimpi gue.”
Gail menghempaskan napas. Ia lalu mematikan mesin mobilnya, menatap Ara kembali.
“We’re brothers, right? Just remember, kapan pun, gue siap dengarin lo, bahkan kalau lo berubah pikiran dan mau konsul, gue siap nemanin lo. Oke, bro?”
“Hmm. Thanks, Gail.”
Gail tersenyum simpul. Ia menepuk bahu Ara beberapa kali sebelum akhirnya keluar dari balik kemudi lebih dulu.
Ara membuka sabuk pengamannya, menyampirkan sling bag di bahunya, mengulurkan tangan untuk menarik tuas pintu.
“Ara ….”
Ara tersentak. Ia sontak menyapukan pandangannya, mencari arah sumber suara. Namun, sesaat kemudian Ara sadar, jika suara itu hanya bergema di pikirannya, berasal dari ruang rindu yang Nina tinggalkan.
***
Amsterdam, di waktu yang sama.
“Ara ….”
Nina mengusap lembut foto Ara yang ia sisipkan di dalam sebuah pigura. Sudah setahun berlalu, namun rindu itu tak juga berkurang, justru semakin membuncah.
“Ara … selamat ulang tahun. Maaf Nina dan Gala ngga bisa ikut merayakan hari lahir Ara tahun ini. Semoga, Ara suka hadiah yang Nina kirim.
“Nina kangen … Ara ….”