Rio bernapas dalam. Bayi mungil yang tengah mengecap-ngecap itu Rio angkat hingga sejajar dengan bahunya. Ia lalu menunduk, memberi kecupan singkat di kedua pipi dan kening.
“Gala, ayo kita sapa Mama lagi. Oke?” lirihnya seraya memaksakan senyum.
Dengan mantab Rio menyodorkan sang bayi ke depan Nina kembali. Sedikit lebih tinggi agar Nina bisa melihat Gala lebih jelas.
“Mama, ini Gala,” ujar Rio.
Ya, Nina yang ingin agar bayinya diberi nama Gala, yang dalam bahasa Sansekerta bermakna sang pembawa kedamaian dan pemberani. Mendengar nama itu disebut, Nina menoleh perlahan. Dengan air mata yang masih deras berderai, ia berusaha memfokuskan titik pandang, menatap makhluk mungil di hadapannya.
“Gala ….”
Rio melekatkan pipi Gala dengan pipi Nina, membuat sang ibu memejamkan mata. Ia biarkan beberapa saat agar bonding nan istimewa itu kembali terjalin. Saat kedua tangan Rio mulai terasa nyeri, Nina menggerakkan wajahnya, mengecup Gala dan menopang dengan kedua tangannya sendiri. Rio mendengus lega, pun para tenaga kesehatan yang melihat adegan tersebut.
“Maafin Mama, Gala,” tangis Nina.
Rio mengusap sayang puncak kepala Nina lalu merapihkan helaian surai yang nampak kusut masai. Ia tersenyum hangat, memberi dukungan penuh untuk sang adik.
Dokter Spesialis Anak yang masih berada di ruangan itu akhirnya bicara, mencoba menuturkan manfaat ASI dan menyusui yang dilakukan sesaat setelah persalinan, baik itu untuk bayi dan ibunya. Cara dokter itu bertutur sungguhlah lembut namun tepat.
“Apa kau mau mencoba menyusui bayimu?” tanya sang dokter dengan sangat hati-hati.
“Aku tidak tau caranya,” lirih Nina.
“Boleh aku membantu?”
Awalnya Nina tertegun. Ia menoleh pada Rio yang memberinya senyuman hangat kembali. Setelahnya, barulah Nina menjawab penawaran dokter itu dengan anggukan.
“Nina mau Mas nunggu di sini atau di luar kamar?”
Tadinya, Rio ingin langsung pamit saja untuk menunggu Nina di luar ruangan itu. Namun, cara dokter anak itu bicara membuat Rio berpikir jika kondisi psikis Nina benar-benar membutuhkan dukungan dan kehadiran orang-orang yang menguatkan.
“Tapi Mas jangan pulang.”
“Ngga, Mas duduk di depan. Kalau sudah selesai menyusui, Mas masuk lagi. Gimana?”
Nina pun mengangguk. Rio mengecup kening Nina dan Gala sebelum melangkah keluar, menunggu di ruang tunggu unit bersalin.
***
Dua bulan kemudian.
Penghujung musim panas pun tiba, bertepatan dengan awal September, yang juga berarti perkuliahan Nina akan dimulai. Sama seperti mahasiswa dan mahasiswi baru lainnya, rangkaian program pengenalan kampus sudah menunggu. Sementara itu, jadwal kuliah yang padat dan banyak seminar pengantar di minggu pertama juga sudah terbayang di benak Nina.
Pagi itu Nina mendorong stroller Gala ke sebuah kinderdagverblijf – tempat penitipan bayi dan anak-anak – yang terdekat dengan kediamannya. Hari pertama ia harus meninggalkan Gala setelah dua bulan yang cukup intens beradaptasi dengan bayi tampan tersebut.
“Pergilah, Gala aman di sini,” ujar Adrie – sang pengasuh.
Nina mengangguk, namun masih menatap Gala yang ditidurkan di dalam crib.
“Apa kau khawatir?” tanya Adrie kemudian.
“Mmm … begitulah.”
Perempuan yang sepertinya seumuran dengan Rio itu memberi senyuman hangat.
“Aku khawatir dia menangis,” lanjut Nina.
“Bayi memang harus menangis, Sayang.”
“Ya, itu benar,” kekeh Nina. “Sepertinya aku yang sudah keburu rindu padahal pergi saja belum.”
Tawa renyah itu menular pada Adrie. “Tak apa jika kau masih mau memandanginya. Asal pastikan kau tidak akan terlambat di hari pertama kuliahmu.”
Sontak, Nina mengangkat tangan kirinya, menatap jam yang melingkari pergelangannya. “Aku bisa terlambat!”
Adrie kembali tergelak. “Pergilah.”
“Baiklah. Aku titip Gala. Terima kasih atas bantuanmu.”
Nina berjalan cepat menuju halte terdekat, menunggu bus yang akan membawanya ke Vrije Universiteit Amsterdam. Butuh waktu sekitar setengah jam di perjalanan hingga ia tiba di kampusnya tersebut. Dan pagi itu, ia benar-benar nyaris terlambat.
Dua jadwal ia ikuti hingga tengah hari menyapa. Nina gegas melangkah ke lactation room untuk memerah ASI. Payudaranya sudah terasa kencang dan nyeri. Pantas saja, karena 30-menit kemudian, tiga kantung ASI yang ia siapkan sudah terisi penuh. Nina meletakkan cairan kehidupan Gala itu ke dalam cooler bag, kemudian kembali berjalan cepat ke sebuah taman yang paling dekat dengan ruang kuliah di jadwal selanjutnya, untuk menyantap makan siang.
Cuaca masih cukup hangat hari itu. Dari layar ponselnya suhu udara terukur dua puluh derajat Celsius. Namun bagi Nina, terasa menusuk hingga ke tulang. Kedua tangannya gemetar, ia bahkan dua kali menjatuhkan sendok dari genggamannya. Nina menggosok kedua telapaknya, meniup beberapa kali di antaranya untuk menghangatkan. Setelahnya, barulah ia kembali meraih alat makannya.
Baru saja suapan pertama masuk ke mulutnya, dua tangan yang sangat ia kenali melingkarkan syal di leher Nina. Pria itu lalu duduk di samping Nina, menaikturunkan alis.
“Mas Rio ngapain ke sini?”
“Cuti setengah hari.”
“Serius? Kok ngga bilang Nina?”
“Ini gue bilang.”
“Iiih ngeselin!”
Rio tergelak renyah. Ia mengambil alih sendok di tangan Nina, memotong-motong daging ayam, wortel dan brokoli di lunch box hingga ukuran sekali gigit.
Nina tau, Rio khawatir padanya. Lepas melahirkan Gala dua bulan lalu, Nina didiagnosa takotsubo cardiomyopathy – yang lebih dikenal dengan kardiomiopati stres atau broken heart syndrome.
Saat tiba hari untuk meninggalkan rumah sakit, Nina justru mengalami nyeri d**a parah yang terjadi secara tiba-tiba. Serangkaian pemeriksaan pun dilakukan dan didapatkanlah beberapa gejala yang mengarah ke simpulan tersebut. Ventrikel kiri jantung yang melemah, palpitasi jantung, juga hipotensi. Sejak hari itu – meski sekitar sebulan setelahnya dokter menyatakan jika kondisi Nina sudah baik-baik saja – rasanya Rio tak lagi bisa meninggalkan atau melepaskan Nina tanpa rasa khawatir.
“Gimana kuliah lo?” tanya Rio kemudian.
“Masih seminar pengantar kok, Mas.”
“Ada yang dirasa ngga enak?”
“Mas Rio, Nina baik-baik aja.”
“Iya, gue tau.”
Nina terkekeh singkat. Ia lalu kembali ke kotak makan siangnya, memasukkan suapan kedua ke mulutnya.
“Berarti Mas ngga balik ke kantor?”
“Ngga.”
“Mas jemput Gala aja kalau gitu.”
“Mmm … boleh sih, langsung ke sini lagi.”
“Ya ngga usah. Pulang aja.”
Rio terdiam. Rencanya mengambil cuti setengah hari adalah untuk menunggu Nina hingga menyelesaikan kuliah hari pertamanya dan pulang bersama. Ya, Rio khawatir jika Nina terlampau letih.
“Mas?”
“Iya. Udah buruan habisin makanan lo, makin dingin nanti malah masuk angin.”
Di tengah makan siang itu, beberapa saat kemudian, seorang pria berparas Indonesia mendekati keduanya. Ia mengangguk sopan sejak beberapa langkah sebelum tiba di titik temu. Hanya Rio yang membalas, sementara Nina memasang raut dinginnya. Nina sudah bersumpah, ia tidak akan beramah tamah dengan pria mana pun di negeri ini.
“Hai,” sapa pria itu, ramah. Ia mengulurkan tangan, lebih dulu pada Rio. “Eri.”
“Rio.”
Eri kemudian mengulurkan tangannya pada Nina. Nina hanya menatap tangan yang terbuka itu tanpa berniat menyambut. “Nada,” ujarnya dingin.
Telapak yang terbuka itu lalu menutup, kemudian Eri tarik dan ia sisipkan ke dalam saku celananya.
“Duduk, Ri,” ujar Rio.
Eri pun mengangguk, bergabung di meja yang sama.
“Mahasiswa dan mahasiswi baru?” tanya Eri kemudian.
“Gue ngga. Adik gue yang mahasiswi baru.”
“Oh. Jurusan apa Nad?”
“Kenapa emangnya?” sulut Nina.
Eri mengatupkan bibir, lalu terkekeh pelan. Parasnya tak menunjukkan ketersinggungan sama sekali. Ia justru tersenyum begitu hangat setelahnya.
“Perkenalkan, gue ketua PPI Belanda. Kebetulan nyangsangnya di kampus yang sama dengan lo Nad. Gue mahasiswa master’s in computer science, tahun kedua,” ujar Eri.
“Terus, apa urusannya sama gue?” ketus Nina lagi.
Eri malah semakin tergelak, sementara raut wajah Rio mendadak serba salah. Eri mengangguk pada Rio, memberi isyarat jika ia santai saja dengan sikap Nina.
“Mmm … gue dapat info ada mahasiswi baru dari Indonesia, anak arsitektur. So, gue cari dong data lo. Dan nihil.”
“Apa urusannya lo nyari data gue?”
Kali ini Eri tak langsung menanggapi. Ia menatap lekat Nina, tak memudarkan senyum di wajahnya. Ketidakramahan itu justru membuat jantungnya berdebar dengan irama yang asing.
“Dek,” lirih Rio dengan nada lembut nan rendah.
“Kita ngga banyak di sini, Nad. Sama-sama anak rantau. Family, bisa dibilang begitu kan?” tanggap Eri.
“Gue ngga lapor ke PPI karena gue punya alasan. Dan gue harap lo ngga keberatan. Juga, ngga perlu nyari tau, apalagi ngomongin keberadaan gue ke orang lain!” tegas Nina. Ia berdiri dari duduknya, membereskan makan siangnya yang tak sampai tandas, kemudian menyampirkan tas dan cooler bag-nya di kedua bahu.
“Dek?”
“Gue masih ada kuliah, Mas. Lo duluan aja. Titip Gala ya?” ujar Nina tanpa mendelik sedikit pun ke Eri. Seolah pria itu tak lagi ada di hadapannya.
“Apa dia baik-baik saja?” tanya Eri pada Rio setelah Nina menjauh beberapa langkah.
“Hmm. I hope so.”
Jawaban itu membuat Eri bergeming. Ia kembali menatap Nina, memerhatikan hingga Nina hilang dari titik pandangnya. Kedua sudut bibir Eri lalu terangkat, sedikit melengkungkan senyum. ‘Sampai ketemu lagi, Nada. Aku pun berharap kamu baik-baik saja.’