05: ULURAN TANGAN

1631 Kata
“Ada paket tuh, Mas,” ujar Anantari saat mendapati Ara keluar dari kamarnya subuh itu. “Buat Ara, Ma?” “Iya. Sampai kemarin sore, ngga lama kamu pergi sama Gail.” Ara mengerutkan kening, namun tetap berjalan ke salah satu lemari sudut di ruang keluarga, menelisik sebuah kardus berukuran sedang yang teronggok di pojokan. Ia meraih kardus itu, tempelan yang bertuliskan lambang sebuah ekpedisi lokal merekat di sisi atas. Benar, paket itu memang untuknya. Namun, tak ada keterangan jelas, hanya tertulis Gala sebagai nama pengirim, tanpa alamat lengkap. Ara membawa paket itu ke kamarnya, mengambil gawai, memasukkan nomor ponsel dari pengirim dan menekan tombol panggil. Anehnya, robot di ujung panggilan mengatakan jika nomor tersebut salah. Kening Ara mengerut, mengapa ia jadi merasa mendapatkan mystery box? ‘Ngga mungkin kan isinya ancaman?’ Ara meraih cutter dari kotak kayu di atas meja belajarnya, menyayat lakban lalu membuka paket itu. Isi di dalamnya masih terbungkus selembar kertas dan plastik. Namun, bukan hanya apa gerangan di dalamnya yang membuat penasaran, melainkan juga wangi yang menguar. “Wangi bayi,” gumam Ara, bermonolog. Entah mengapa, jantungnya jadi berdetak cepat. Ada rasa gugup yang menyelimuti hatinya, meski Ara tak paham ia harus gugup karena alasan apa. Ia meraih sebuah amplop di atas kertas pembungkus, membaca tulisan yang terukir di kartu yang terselip di dalamnya. Happy 20th Birthday, Bismantara Airlangga. Hanya itu, tak ada embel-embel lain. Entah sang pengirim yang malas menulis, atau memang cukup begitu saja. Ara tak ambil pusing, yang penting hadiah itu tak salah alamat. Ara pun merobek kertas dan membuka plastik pembungkus birthday gift miliknya. Sebuah pullover sweater – dengan lukisan siluet seorang pemuda di sebuah bukit pada malam hari, ternaungi langit yang bertaburan bintang – ia bentangkan. Jantungnya berdetak semakin kencang, dadanya terasa sesak. Lalu … tanpa ia sadari, air matanya menetes begitu saja. Ara tertegun, menatap lekat pakaian hangat itu. ‘Nina … apa ini dari Nina?’ Ara membongkar lagi isi kardusnya, mencari petunjuk apa pun yang mungkin terselip. Dan saat ia sadar nihil jawaban, ia terduduk lesu di atas lantai dengan punggung yang menyandar ke sisi ranjang. Sungguh, ia sangat merindukan Nina. Di waktu yang sama, di kota Amsterdam, sebuah panggilan suara masuk ke nomor ponsel Nina. Ia tersenyum sebelum menekan tombol terima. “Om Dirga,” sapa Nina. “Heh bocil!” balas Dirga. Nina malah tergelak. “Om mau ngasih tau aja, paket yang buat Ara sudah sampai.” “Sampai mana Om?” “Sampai tangan dia dong.” “Oh gitu. Yang antar siapa, Om?” “Kurirlah.” “Pengirimnya pakai nama dan alamat Om Dirga?” “Ngga. Asal aja. Ini barusan Om tracking, udah diterima sama Anantari, ibunya Ara. Betul?” “Iya, betul Om. Makasih ya Om?” “Hmm. Yang penting, kalau nanti kamu pulang, jangan bawa-bawa nama Om ke Reina. Mikirinnya aja Om udah mulas duluan, Nin.” “Iya, Om,” jawab Nina seraya terkekeh. “Malah ketawa!” “Beres pokoknya, Om. Kalau pun nanti Reina tau, Nina pastiin Reina ngga akan marah sama Om. Oke?” “Tetap aja Om mulas bayanginnya, Nin.” “Maaf ya Om ….” “Ya sudah. Ngga apa-apa. Gala apa kabar?” “Alhamdulillah sehat, Om. Mas Rio juga sehat.” “Kalau Rio, sebelum nelpon kamu, Om abis ngobrol sama masmu itu. Katanya lagi di Maastricht?” “Iya, Om. Ada kerjaan di sana, baru balik besok sore kata Mas Rio.” Maastricht sendiri adalah sebuah kota di Belanda yang berjarak sekitar 212-kilometer dari Amsterdam. Memakan waktu sekitar dua setengah hingga empat jam perjalanan dengan kereta. “Ngga apa-apa berdua Gala aja di rumah?” “InshaaAllah ngga apa-apa, Om.” “Ini Nina di mana?” “Nina baru selesai kuliah, Om. Ini lagi jalan ke halte bus.” “Oh, ya sudah. Om tutup ya Nin? Baik-baik di sana.” “Makasih, Om.” “Assalammu’alaikum.” “Wa’alaikumsalam, Om Dirga.” Begitu panggilan usai, Nina tak lagi sekedar berjalan, namun berlari menuju tempat pemberhentian bus terdekat. Sangkin terburu-buru, Nina sampai tak sadar jika melewati Eri yang hendak menyapanya. Tangan kanan Eri yang sudah terangkat ia turunkan lagi. Eri lalu menggenggam tungkai kendali sepedanya, mengayuh pedal perlahan seraya mengikuti Nina. Perempuan itu sungguh membuatnya penasaran. Meski Nina sudah naik ke dalam bus, tak lantas membuat Eri berhenti mengikutinya. Bis yang membawa Nina juga mengarah ke tempatnya tinggal. Jadi, Eri pikir, meski Nina mendapatinya menguntit, ia bisa menggunakan alibi jika perjalan mereka berada di arah yang sama. Dan sungguh benar! Saat ia mendapati Nina turun di sebuah halte, kawasan itu hanya berjarak lima menit dari apartemen yang Eri huni. Eri memberi jarak, tetap mengikuti Nina tanpa perlu Nina ketahui. Namun, yang membuatnya tertegun dan menghentikan laju kayuhannya adalah … saat ia mendapati Nina masuk ke sebuah tempat penitipan bayi dan anak-anak. “Nina kerja sampingan di situ?” monolog Eri yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Eri tak beranjak, memilih diam di posisinya beberapa saat. Siapa tau Nina hanya punya urusan di tempat itu, misalnya … mencari pekerjaan sampingan. Mungkin saja kan? Perkiraan Eri memang tak salah. Hanya berselang menit, Nina melewati pintu yang sama dengan saat ia masuk ke bangunan itu. Tapi, kali ini Nina tak sendiri. Melainkan sembari menggendong seorang bayi. Eri mengerutkan kening, tiba-tiba saja benaknya penuh dengan asumsi. ‘Anaknya Nina?’ ‘Ah, masa iya? Masih muda banget begitu kok.’ ‘Anaknya Rio?’ ‘Aaah! Iya, anaknya Rio kali ya? Mungkin orang tuanya masih pada kerja.’ Eri mengikuti langkah Nina lagi, hingga sekitar sepuluh menit kemudian ia melihat Nina masuk ke dalam sebuah rumah dengan fasad berwarna biru gelap. Eri mematri bangunan itu dalam benaknya, tersenyum simpul. Setelah sekitar lima belas menit duduk sendiri di sebuah kursi di tepian kanal seraya menatap kediaman Nina, Eri akhirnya melanjutkan kayuhannya menuju apartemen tempatnya tinggal. *** Pukul sembilan malam waktu Amsterdam. Nina tak tau lagi apa yang harus dilakukannya untuk membuat Gala berhenti menangis. Tubuh putranya demam, apa pun yang Nina lakukan rasanya percuma. Gala bahkan menolak disusui. Kompres hangat yang sejak empat jam lalu bolak-balik Nina lekatkan di kening Gala juga tak membantu. “Mas,” isak Nina. Tadinya ia tak ingin menangis. Namun, begitu suara Rio menyapa pendengarannya, tangisan itu menyembur begitu saja. “Kenapa Dek?” Rio ikutan panik. Yang ia dengar tak hanya Nina yang terisak, namun juga raungan Gala. “Gala kenapa? Lo kenapa?” “Gala demam, Mas. Nina ngga tau kenapa.” “Dari kapan?” “Pulang dari kinderdagverblijf masih ngga apa-apa. Sekitar sejam kemudian badannya panas, rewel. Nina susuin juga ngga mau.” “Ngga ada obat?” “Ngga ada, Mas. Terakhir ke rumah sakit kan waktu Gala imunisasi dan ngga ada obat apa pun.” “Sudah dikompres?” “Sudah.” “Skin to skin?” “Udah, Mas. Nina bawa berendam air hangat juga. Tapi demamnya malah makin tinggi,” tangis Nina lagi. “Oke. Lo tenang dulu. Tarik napas, be calm! Dengan lo panik, lo ngga akan ngebantu Gala. Bisa, Dek?” Nina tak menjawab dengan lisan, namun mengangguk meski Rio tak bisa melihat gesture itu. “Dek?” “Iya, Mas. Bisa.” “Masih panik?” “Ngga.” “Oke. Sekarang, bawa Gala ke rumah sakit. Bisa?” “Iya, Mas.” “Mas lari ke stasiun, kalau masih dapat tiket Mas langsung pulang. Oke?” “Kerjaan Mas?” “Udah selesai. Barusan. Besok Mas kosong, emang rencananya kepingin pulang pagi.” “Oh.” “Gih sana, siap-siap. Telponnya jangan di putus, gue biar nyanyi buat Gala sambil nunggu lo.” Nina mengiyakan, ia lalu gegas bersiap. Beberapa menit kemudian sambungan telpon itu Nina sudahi. Ia menggendong Gala – yang sudah terbungkus pakaian hangat – di dadanya, menyampirkan tas bayi yang terisi penuh kebutuhan Gala, lalu melangkah cepat keluar dari kediaman mereka. Sudah beberapa kali Nina nyaris terjungkal. Napasnya pun kian pendek-pendek, mungkin karena tergesa ditambah suhu udara yang kian rendah saat memasuki musim gugur. Dan jangan lupakan faktor panik yang kembali menyapanya berhubung tangisan Gala tak juga mereda. Rumah sakit itu tak terlalu jauh dari huniannya. Hanya sekitar dua puluh menit berjalan kaki. Nina tak mungkin bersepeda sambil menggendong Gala dan menggembol tas bayi bukan? Sementara jika mengandalkan transportasi umum juga tak perlu karena hanya akan membuang waktu percuma saat menunggu angkutan tersebut. Tangisan Gala yang semakin menjadi membuat Nina tak lagi bisa berpikir jernih. Ia mempercepat lajunya, kini tak lagi berjalan, namun berlari kecil. Tinggal melewati sebuah jembatan, menyeberang, berjalan beberapa meter, fasilitas kesehatan itu bisa ia raih. Sayangnya, baru saja Nina berbelok di batas jalan dengan jembatan, ia tersandung kakinya sendiri. Nina membelalak, tubuhnya seolah melayang saat ia kesulitan menyeimbangkan diri. Lalu …. Harusnya, Nina dan Gala terjerembab. Namun itu tak terjadi. Sepasang tangan merengkuh kuat keduanya. Perlahan pemuda itu membantu Nina menjejakkan kaki dengan kokoh kembali. Segera ia menarik tangannya setelah adegan penyelamatan tadi, tersenyum hangat pada Nina. “Hati-hati, Nada.” Nina tertegun. Tiba-tiba kelu. “Bayinya … kenapa?” tanya Eri kemudian. “De-mam.” “Oh.” Eri meraih baby bag yang teronggok di atas aspal, menyampirkan di bahunya. “Ayo, aku antar. Mau ke rumah sakit kan?” Nina sontak menggeleng. “Terus? Mau ke mana?” “Bukan. Gue bisa sendiri!” ketus Nina kemudian. Eri mengatupkan bibir. Menatap Nina lekat. “Gue tau, lo bisa sendiri. Dan gue ngga berniat buruk apalagi aji mumpung. I just want to help you. That's all. Lagipula, menerima bantuan ngga lantas membuat lo berhutang, Nad. Saat pemeriksaan nanti, lo bisa dampingin … Gala?” Nina mengangguk saat Eri kembali menatapnya setelah mendelik dan membaca rangkaian huruf empat huruf di baby bag. “Lo bisa nemanin Gala. Sementara jika diperlukan, gue rela mundar-mandir ngebantu lo ngurus admin dan obat. Gimana, Nada?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN