"Ra, please maafin aku." Risa mengejar Dara yang berjalan mengacuhkannya.
"Kamu itu teman siapa sih? Temanku atau Kak Bobby?" tanya Dara marah.
"Teman kamu Ra. Maafkan aku. Kak Bobby yang mendesakku untuk mempertemukan kalian. Jika tidak, ia akan menerorku terus. Kamu tahu? Aku takut dengan tatapan lapar para pemujanya. Gadis-gadis itu seakan mau menerkamku gara-gara Kak Bobby mendekatiku untuk mendekatkan kalian."
"Maafkan aku Ra."
"Baiklah Ris. Aku maafkan. Tapi jangan ulangi lagi. Aku nggak mau dicomblang-comblangin."
"Iya Ra, aku janji. Jadi? Kita baikan?" Risa mengacungkan kelingkingnya, dan Dara menyambutnya disertai senyuman. Keduanya kini berbaikan lagi. Sudah menjadi hal biasa mereka akan bertengkar dan berbaikan dengan mudah.
Keduanya berjalan beriringan menuju kelas. Seolah tak ada apa pun yang terjadi.
***
"Ra, makan di kantin yuk! Aku lapar."
"Ya sudah, yuk! Kamu traktir ya? Hehehe," ucap Dara tertawa.
"Dasar!!"
Keduanya segera menuju kantin untuk menikmati makan siang. Setelah memesan soto dan es teh keduanya mengobrol dan bercanda seperti biasa. Mengabaikan pengunjung kantin lainnya yang menatap mereka tak suka. Dara dan Risa tak peduli, karena merasa mereka memiliki hak yang sama di sekolah itu.
"Sok-sokan banget sih."
"Iya, sok kecantikan sampai berani menolak Kak Bobby. Dia pikir dia siapa?"
"Nona besar juga bukan."
"Upik abu aja belagu. Hahaha." Segerombolan gadis yang berkata pedas tertawa terbahak-bahak.
Risa yang geram mendengarkan sahabatnya disindir seperti itu ingin menghampiri gadis-gadis itu. Namun, tangan Dara dengan sigap menahannya dan Dara menggelengkan kepala. Memohon pada Risa untuk tidak memperpanjang masalah.
"Hahhh ... kenapa menahanku?"
"Sabar Ris ... tak usah didengarkan. Jangan membuat masalah lebih rumit lagi. Biar saja aku yang kena buli, kamu jangan."
"Tapi Ra, kamu tahan mendengar mereke menggunjingmu begitu?"
"Kata-kata mereka tak sedikit pun menyakitiku. Karena mereka bukan orang yang berharga untukku." Risa menepiskan senyumnya, benar apa yang Dara katakan. Tak penting meladeni orang-orang yang iri dan tak penting seperti mereka.
"Sudah, ayo makan dan segera kembali ke kelas."
Keduanya melanjutkan makan lagi dan menghiraukan hinaan-hinaan yang ditujukan pada Dara.
***
"Ris, ingat besok ada ulangan matematika. Belajar Ris, jangan baca komik melulu," nasehat Dara ketika mereka berjalan menuju ke kelas.
"Em, kan ada kamu," jawab Risa sembari membaca komik di aplikasi online terlaris di Indonesia itu.
"Enak aja. Belajar! Aku mau punya sahabat yang pinter." Mendengar perkataan Dara, Risa jadi cemberut.
"Eh, iya iya maksudku. Berusahalah Ris! Jangan terus menggantungkan diri padaku. Kita kan nggak mungkin selamanya bersama. Bisa saja besok aku mati atau kemana gitu."
"Dara! Aku nggak suka kamu ngmong begitu lagi. Kamu nggak akan kemana-mana. Jangan lupakan janji persahabatan kita."
"Hehehe, iya Risa. Cuma bercanda juga. Tapi berusahalah! Jangan membuat orang tua kamu kecewa. Kita boleh saja menikmati masa muda. Tapi ingat, belajar adalah hal utama."
"Iya Bu guru."
"Dasar ya, dinasehati malah meledek."
"Ris, kamu duluan saja ke kelasnya. Aku mau ke kamar mandi sebentar."
"Okay ...." Akhirnya kedua gadis itu berpisah di jalan. Risa menuju kelasnya dan Dara menuju ke toilet.
Setelah menyelesaikan ritualnya di kamar mandi, Dara segera kembali ke kelasnya. Namun di tengah jalan ada beberapa gadis yang mencegatnya.
"Kamu Dara?" tanya seorang gadis yang terlihat seperti ketua geng dari tiga orang yang mencegat Dara.
"Iya Kak benar, saya Dara."
"Sini kamu." Tangan Dara ditarik menuju ke sudut sekolah itu. Dara tak dapat melawan, ia hanya pasrah ditarik ketiga gadis itu.
"Hei! Kamu jangan keganjenan ya?"
"Mak-maksud Kakak apa?" tanya Dara gelisah. Nyali Dara sedikit menciut karena kini ia dikepung tiga orang gadis. Sedangkan dirinya hanya sendiri. Kemungkinan besar ia akan kalah jika mereka menyerangnya.
"Halah! Pura-pura bego segala. Kamu kan yang suka menggoda Bobby? Asal kamu tahu. Aku ini pacarnya Bobby. Jadi jangan pernah berpikir untuk mendekatinya!" gertak gadis yang terlihat paling cantik dan modis. Dia adalah Tiara, anak kelas XI yang paling populer di tingkatannya.
"What? Kakak salah paham. Dara tak pernah menggoda Kak Bobby. Kak Bobby sendiri yang mengejar-ngejar Dara."
"Heh? Kamu nggak punya kaca ya? Mana mungkin Bobby mendekati anak ingusan seperti kamu. Pokoknya aku peringatkan! Jangan pernah kamu mendekati Bobby lagi. Jangan sok kecentilan!" Ketiga gadis itu menertawakan Dara, karena menganggap Dara terlalu kepedean.
"Tapi Dara benar-benar tidak menggoda atau mendekati Kak Bobby, Kak."
"Banyak alasan ya Lo!" Tiara mengangkat tangan dan bersiap melayangkan tangan ke pipi Dara. Ingin memberi Dara pelajaran. Juga untuk memberi tekanan pada adik kelasnya itu. Agar tak berani melawan perintahnya. Dara memejamkan mata dan meringis. Bersiap menerima pukulan yang akan membuat pipinya memerah. Ia tak dapat berbuat apa-apa. Karena kedua orang teman Tiara memegangi kedua lengannya.
Namun beberapa detik ia memejamkan mata, tak ada pergerakan dari Tiara. Dara segera membuka matanya dan ia melihat tangan Tiara yang hampir saja memukulnya, ditangkap oleh tangan lainnya.
"Tiara! Apa yang kamu lakukan?" bentak Bobby pada Tiara. Nyali gadis cantik itu menciut. Tiara menarik tangannya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Malu juga takut mendapatkan amarah dari Bobby. Orang yang menjadi sebab ia mengancam Dara.
"Kamu nggak papa, Dara?" tanya Bobby khawatir.
"Eng-gak kok Kak. Dara nggak papa." Kedua lengan Dara masih diapit dua sahabat Tiara.
"Lepaskan tangan kalian!" bentak Bobby murka. Sherly dan Diana teman Tiara segera melepaskan tangan Dara dengan ketakutan. Bukan mustahil mereka akan mendapatkan masalah, jika sudah menyinggung Sang Ketua OSIS.
"Jadi ini yang kalian lakukan sebagai kakak kelas? Membuli dan mengancam adik kelas, bahkan ingin memukulnya?" Semua diam membisu tak berani berkata-kata.
"Saya sebagai ketua OSIS sangat kecewa dengan perilaku kalian. Harusnya kalian memberi contoh yang baik. Membantu adik kelas baru agar nyaman dan betah bersekolah di sini. Terutama kamu Tiara, saya sangat kecewa sama kamu. Kamu wakil ketua OSIS, tapi kamu memimpin teman-teman kamu untuk membuli adik kelas." Tiara menunduk kesal. Bukan menyesal tapi dalam hati mengutuk Dara.
"Bubar semua. Tiara tunggu aku di ruang OSIS. Kita harus bicara." Tiara dan teman-temannya pergi dalam keheningan namun dalam hati sangat kesal.
"Kamu beneran nggak papa Ra?" tanya Bobby memegang kedua lengan Dara.
"Nggak papa Kak. Maaf tolong lepaskan tangan Dara. Dara tak nyaman." Dara segera menepis tangan Bobby karena tak nyaman diperlakukan demikian.
"Ah, maaf ya Ra." Bobby masih menatap Dara dengan intens. Sayangnya Dara acuh tak acuh enggan memandang wajah kakak kelasnya itu.