Rencana Risa dan Bobby

1017 Kata
"Tutup buku kalian. Yang duduk di meja paling belakang berdiri! Segera maju dan ambil buku yang ada di meja teman-teman yang duduk di depan kalian. Kumpulkan semua buku pelajaran di depan. Hari ini kita ulangan dadakan." Suasana kelas yang semula sunyi menjadi riuh seketika. Bagaimana bisa mereka mengingat rumus-rumus fisika jika belum belajar. Bahkan buku pelajaran hanya mereka baca seminggu yang lalu. Benar, karena para murid biasanya menerapkan sistem belajar kebut semalam. Dan kini sialnya, akan diadakan ulangan mendadak. "Harap tenang! Biar teman kalian melakukan tugasnya mengumpulkan buku dengan baik. Tugas kalian hanyalah menyiapkan alat tulis yang akan kalian gunakan." Kelas hening kembali. Dan ulangan pun segera di mulai. Setelah soal dibagikan, para murid sibuk mengerjakan. Ada yang hanya bisa mengerjakan satu soal dari sepuluh pertanyaan uraian. Ada yang bisa menjawab beberapa. Dan ada yang bahkan sama sekali tidak mengerti jawabannya. Mau mencontek teman pun tak bisa, karena guru fisika mengawasi tanpa berkedip. Mereka benar-benar mendapatkan kejutan dari guru fisika mereka pagi itu. Namun lain halnya dengan Dara. Gadis itu dengan mudah mengerjakan satu per satu soal yang diberikan. Seolah-olah ia hafal di luar kepala. Tetapi bagi Risa yang melihat Dara dengan mudah mengerjakan, hal itu biasa saja. Karena sahabatnya itu memang cerdas sejak SMP. "Dar, pindahkan tanganmu! Aku nggak bisa membaca jawaban nomor empat," pinta Risa. "Dih, bawel." Meskipun menggerutu Dara memindahkan tangannya agar Risa bisa membacanya. Enam puluh menit waktu yang diberikan guru akhirnya berakhir. Banyak siswa yang mengumpulkan kertas jawaban dengan wajah muram. Seolah hari itu mereka tak mendapatkan uang saku dari orang tua mereka. "Baik. Sudah terkumpul semua?" tanya Pak Guru. "Sudah Pak ...." jawab para murid serentak. "Bagus. Masih ada sisa waktu dua puluh menit. Kalian boleh gunakan untuk istirahat. Bapak akan mengoreksi hasil tes kalian. Dan Bapak akan mengumukannya di mading. Jadi nanti pada jam istirahat, kalian bisa baca nilai kalian di sana. Yang fail akan mengikuti remidial besok sepulang sekolah. Okay, Bapak tinggal ke kantor. Tapi jangan buat kegaduhan." "Baik Pak." "Pelajaran saya akhiri. Selamat pagi anak-anak." "Selamat pagi Pak." Setelah kepergian guru, murid di kelas menjadi riuh seketika. Banyak yang kesal karena jawaban mereka salah. Hanya beberapa yang benar. Sudah pasti mereka akan ikut tes remidial. Dara yang yakin dengan jawabannya kini bersantai ia bersandar di kursi dengan nyaman dan memejamkan matanya. "Duh, punyaku hanya benar dua. Nomor dua dan delapan." "Untung aku masih benar lima." "Tapi kan baru rumusnya ya? Belum tentu hitungan kita benar. Aduhh ... sudah dapat dipastikan kalau sebagian besar murid di kelas ini akan mengikuti remidial. Bahkan bisa jadi semuanya yang remidi." Dara mendengarkan dengan seksama perbincangan teman-temannya. Sedangkan Risa masa bodo dengan nilai yang akan ia dapatkan. Risa teringat kembali pada perkataan Bobby. Seketika ia melancarkan aksinya untuk membodohi Dara. Demi memenuhi permintaan kakak kelasnya itu, sebelum Risa tak nyaman karena didesak terus menerus. "Aduuhhh, perutku sakit sekali Ra. Antarkan aku ke UKS dong Ra." "Eh, kenapa Ris?" Dara tersentak dari lamunannya di sela-sela perbincangan teman-teman sekelasnya. "Sakit sekaliii Ra." Risa pura-pura memegang perutnya dan membuat ekspresi kesakitan. "Kamu belum sarapan kali? Atau salah makan?" tanya Dara dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Membuat Risa merasa sangat bersalah karena membohongi sahabatnya. "Ayo aku papah. Eh, masih kuat nggak jalan sampai UKS? Atau aku minta bantuan dari murid cowok?" Dara memapah tubuh Risa dengan panik. Karena temannya tak pernah mengeluhkan rasa sakit seperti saat ini. "Eng-gak usah. Kita jalan pelan-pelan saja ya Ra?" "Eh, oh ... Okay." Kedua gadis itu berjalan menuju ruang kesehatan dengan pelan-pelan. Tak lama, mereka sudah sampai di UKS. "Ra! Boleh bicara sebentar?" tanya Bobby yang menghadang jalan mereka di depan ruang kesehatan. "Kakak nggak lihat? Temanku kesakitan dan aku harus mengurusnya dulu." "Ra, se-sebenarnya aku nggak papa kok. Maaf ya Ra, aku lakukan ini untuk membantu Kak Bobby agar bisa menemuimu." "APA? Jadi kamu bohongi aku Ris? Tega kamu ya Ris. Kamu nggak tahu seberapa khawatirnya aku," ucap Dara marah. "Maafkan aku Ra," ucap Risa penuh penyesalan. Sayangnya ia tak dapat berbuat apa-apa. "Ini semua bukan salah Risa. Aku yang memaksa dia untuk mempertemukan kita." "Ya sudah! Cepat katakan!" ucap Dara ketus. "Ra, aku tahu tempat dan situasinya nggak mendukung. Tapi karena kamu selalu menghindariku, aku terpaksa melakukannya sekarang. Dara Aulia aku suka sama kamu. Maukah kamu menjadi pacarku?" ucap Bobby seraya berlutut di depan Dara dengan setangkai bunga mawar merah di tangannya. Aksi nekat Bobby membuat anak-anak yang tengah bermain bola basket di lapangan menghentikan kegiatan mereka. Semua orang mengerubuti kedua insan itu selayaknya semut yang mengerubuti gula. "Terima ... terima ... terima." Sorak-sorai dari para murid yang menyaksikan kejadian itu memenuhi pendengaran Dara. "Kak Bobby, bangunlah! Tidak enak dilihat banyak orang. Bagaimana jika guru juga melihat?" ucap Dara tak nyaman. "Tidak, sebelum kamu menjawab." "Bangun! Dan Dara akan memberikan jawaban." "Baiklah, bagaimana Ra?" Lelaki bertinggi badan 180 cm itu kini berdiri tegak di hadapan Dara. Kini Dara harus mendongak untuk menatap lawan bicaranya. "Kak, Dara tahu Kak Bobby adalah cowok terkeren. Populer di sekolah ini. Kakak adalah cowok idaman gadis-gadis di sini. Tapi maaf Kak, Dara tak bisa. Dara ingin fokus belajar dulu." "Kenapa Ra? Kakak kurang apa?" tanya Bobby dengan wajah memerah menahan amarah. Baru kali ini ia ditolak wanita. Dan itu melukai harga dirinya. "Bukan kurang Kak. Kakak tak ada kekurangan. Kakak adalah lelaki yang hampir sempurna." "Lalu, kenapa kamu tak mau menerima Kakak?" tanya Bobby masih berusaha bersabar. "Dara rasa, Dara tak pantas untuk Kak Bobby." "Siapa yang bilang kamu tak pantas untukku?" "Dara hanya merasa tak pantas, Kak." "Jangan hiraukan pandangan orang lain. Cukup percaya aku Ra. Kumohon terima aku, Ra." "Maaf Kak. Dara tak bisa. Dara juga tak menyimpan perasaan apa pun untuk kakak. Selain rasa hormat sebagai adik kelas." "Ah, oh ... begitu ya? Ternyata aku tak cukup baik di matamu. Tapi asal kamu tahu Ra. Aku tak akan pernah menyerah untuk mendapatkan hatimu. Baiklah sekarang aku mengaku kalah." Dengan langkah lemas lelaki itu meninggalkan Dara dan Risa. Kerumunan siswa yang menonton adegan itu akhirnya bubar. Ada yang lega idola mereka ditolak, ada yang mengumpat karena berpikir Dara sok jual mahal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN