Part 5

2408 Kata
"Ra, abis sekul PIM yok." ajak Diki seraya menaruh tasnya dikursinya. Rara yang tadinya asik dengan ponsel,  meletakkan ponselnya sejenak diatas meja. "Yah, sorry Dik. Ngga bisa deh kayaknya." "Lah mau ngapain lu? Tumbenan." Dika merasa aneh, tidak biasanya Rara jika diajak ke mall menolak. Bukan Rara sekali yang hobinya shopping. Rara berfikir sejenak. Dia bingung ingin melontarkan alasan seperti apa. Dia belum mempersiapkan alasan apapu. Fikir Rara, mereka tidak akan ke mana mana hari ini. Jadi Rara bisa ikut meeting dengan Dani. "Ini, lu tau Tante Rita kan?" tiba tiba fikiranmya terlintas nama adik Mamahnya. Mungkin ini bisa menjadi alasannya. "Hooh tau. Kenapa emang?" "Jadi gini, kan dia lagi hamil muda tuh. Terus gue di suruh dia nemenin abis balik sekolah. Kan suaminya masih kerja." Soal Adik Mamahnya memang benar, sedang hamil muda. Tapi tidak dengan Tantenya yang meminta dirinya untuk ditemani. Bahkan berhubungan saja dia jarang dengan Adik Mamahnya itu. Rara sendiri tahu jika Tantenya hamil dari Mamahnya kemarin. "Oh begono. Okew lah." ujar Dika pasrah. Tidak mungkin dia melarang Rara. Nanti yang ada Rara merasa tidak nyaman bersahabat dengan dirinya. "Sorryy yaa. Sebagai gantinya istirahat gue yang traktir deh." "Nah kalo yang ini gue ngga nolak dah. Mayankan duit gue bisa di tabung buat investasi." Rara berdecih, "Cih laga lu investasi." "Ck, tabungam buat masa depan. Gue ngga mau jadi orang susah entar." Chika yang dari tadi menyimak obrolan kedua sahabatnya, kini ikut merespon apa yang dilontarkan Dika. "Sok sokan melarat lu. Tujuh turunan delapan tanjakan lu juga ora bakal miskin Dik." cibir Chika. "Ye itu kan bokap nyokab yang punya. Ya gue mah masih nyodorin tangan." sanggah Dika tidak terima dengan pernyataan yang diberikan Chika. "Udah oy. Tumbenan lu berdua ribut, ati ati jodoh." gurau Rara sengaja supaya tidak ada saling memyudutkan habis ini. Jika sudah perkara seperti ini, pasti akan berlangsung alot alias lama. "Najis." "Iyuuhhh." Keduanya melontarkan komentar penolakan secara bersamaan. "Tuhkan barengan. Gue siap kok jadi Onti muda." tambah Rara. "Bangke lu." ujar Chika seraya melemparkan Rara dengan penghapusnya. Bukannta mengenai Rara, tapi malah mengenai kepala Dika yang memang dudum bersebrangam dengan keduanya. Rara sengaja menghindar dari lemparan Chika. "Setan lu Chik." umpat Dika tidak terima dirinya dilempar penghapus. Untung guru pengajarnya belum datang. Jadi Dika bisa menghampiri kurai Chika. Dan memelintir leher sang empu yang melemparkannya dengan penghapus. "Eeeegghhh.. Aa-mmpun Dik. Ma-aapp kag--akk sengaa-ja." ujar Chika terbata bata. Sebab lehernya di pelintir oleh Dika. "Ampun kagak lu." Dika melonggarkan pelintirannya, "I-ya ampun." gumam Chika. Dika langsung melepaskan pelintirannya. Sedangkan Rara, dia tidak menolong Chika sama sekali. Dia masih asik dengan tertawanya. Bahkan sangat puas melihat Dika menyiksa Chika. "Kampret lu Ra, temennya mau mati malah diketawain." Chika sebal kepada sahabatnya ini. Tidak tahukah Rara, bagaimana rasanya seakan akan nyawa sedang ditarik dari ubun ubun? Ya begitulah yang tadi Chika rasakan. Alay memang bagi kalian, tapi itu kenyataannya. Seperti tidak ada oksigen yang masuk ke tenggorokannya. Dika sebenarnya hanya bercanda, tapi bercandanya Dika pasti juga memakai kekuatan. Namanya saja anak laki laki. Pasti mereka, akan lebih kuat dari perempuan. Tidak lama kemudian guru mereka datangan. Dan pelajaran berlangsung sampai waktu yang sudah ditentukan. **** Tok.. Tok.. "Masuk." jawab Aldo tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. "Permisi Pak, saya mau mengingatkan Bapak. Setengah jam lagi kita ada pertemuan dengan Pak Dani. Manager kafe yang akan bekerja sama dengan kita." ujar sang sekertaris mengingatkan. "Baik." jawab Aldo dengan singkat. Sang sekertaris langsung undur diri. Dia tidak merasa tersinggung sama sekali hanya karena jawaban sang boss yang selalu singkat. Sudah menjadi santapannya selama bekerja di sini. Mau berjalan 3 tahun dia bekerja dengan Aldo. Menurutnya demi rupiah, dia akan mengesampingkan perasaannya karena di perlakukan seperti itu. Setelah sang sekertaris keluar, Aldo segera merapihkan pakaiannya. Mengenakan jas yang dia lampirkan dikursi kebesarannya. Dan memasukan ponsel beserta kunci mobil kedalam saku jasnya. Begitu meliat bossnga keluar dari ruangan, Diah-sekertaris Aldo- segera mengikuti langkah bossnya. Dia tahu, jika ada perkumpulan seperti ini sang boss tidak mau di cap jelek oleh pihak pekerja sama. "Dimana?" tanya Aldo. Jika orang yang belum mengenalnya, pasti akan merasa amat ambigu dengan pertanyaannya. Tapi itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Diah. "Di Raicastro Pak. Kafe yang dipegang oleh Pak Dani." ujar Diah sambil membuka room chatnya dengan Dani semalam. Tanpa menunggu lama, Aldo menjalankan mobilnya menuju kafe yang disebutkan sang sekertaris. Kafe itu tidak asinh bagi Aldo. Jika dirinya penat, pasti akan singgaj kesana. Yang kebetulan letaknya memang tidak jauh dari kantornya. "Pak Dani udah nunggu kita Pak." ujar Diah ketika mobil milik Aldo sudah terparkir rapih diparkiran mobil. "Oke." jawab Aldo seraya membuka pintu mobilnya dan melangkahkan kakinya kedalam kafe tersebut. Diah segera menyusul boosnya, dia tidak mau dicap sebagai sekertaris lelet. Setelah membuka pintunya, Aldo sudah melihat seorang lelaki yang mengangkat tanganya. Memberi tahu tempat dimana mereka melakukan meeting. "Selamat siang Pak Aldo Frenklin." ujar Dani seraya mengulurkan tanganya dengan sopan. "Siang Pak Dani?" Aldo tidak tahu dengan siapa dia bersalaman. Jadi dia bertanya seraya menerima uluran tangan lelaki dihadapannya. "Iya Pak. Saya Dani Atmadja. Manager di sini." "Oh baik." Dani mempersilakan Aldo beserta sekertarisnya untuk duduk. Dan memanggil pelayan untuk menyediakan makanan atau minuman yang mereka mau. Aldo mengisyaratkan Diah untuk menanyakan apa yang sedang mereka tunggu. Karena Aldo tidak suka membuang buang waktu. Sedangkan Dano dari tadi sudah risau, kenapa Rara belum datang juga. Padahal sudah hampir mau jam setengah dua. Tadi Rara memberi kabar, jika dia sudah pulang dari jam 1. Perjalanan dari kafe ke sekolahnya Rara bahkan hanya dua puluh menit. Tapi ini sudah lewat sepuluh menit dari perkiraan Dani. Dia merasa tidak enak dengan Aldo. "Pak Dani, maaf. Ini apa lagi ya yang kita tunggu?" tanya Diah. "Eh astaghfirullah. Maaf ya, ini kita nunggu owner kafe ini." jawab Dani. Aldo mengernyitkan dahinya bingung, apa tadi kata Dani? Owner? Jadi kafe ini bukan miliknya? Dia hanya berjabat sebagai manager saja? "Host.. Host.. Maaf Kak aku telat." Sontak ketiganya langsung mengarahkan pandangan mereka kepada anak sekolah yang masih mengenakan seragam SMA. Dengan keringat terlihat di dahinya seperti habis lari maraton saja. Dani mengulurkan tissue ke arah Rara. Rara langsung menerima dengan senang hati dan langsung mengelap dahinya. Dia belum menyadari kehadiran dua orang didepan Dani. Mungkin karena berlawanan dengan posisi Rara berdiri. Dani langsung mengisyaratkan Rara menggunakan matanya, untuk menyapa kedua orang di hadapannya. Rara yang paham, langsung mengikuti arah pandang Dani. Dia terkejut, ternyata ada dua orang lagi si sekitarnya. Dia kira hanya ada Dani. "Eh, selamat siang Pak Bu," ujar Rara dengan sopan sambil mengulurkan tanganya. Diah menerima uluran tangan Rara, tali dengan pandangan seakan tidak mengerti siapa gadis SMA yang mengulurkan tanganya ini. "Perkenalkan, saya Almaira. Pemilik kafe Raicastro ini." ujar Rara memperkenalkan siapa dirinya. Aldo yang dari tadi tidak terlalu fokus ke anak sekolah yang berseragam SMA itu, langsung meneliti penampilan Rara dari atas sampai bawah. Tidak terlihat sama sekali jika dialah owner kafe yang akan bekerja sama denganya. Dani tau, dua orang didepannya ini pasti terkejut melihat dengan siapa mereka akan bekerja sama. "Ehm, Ra duduk. Maaf sebelumnya, memang benar jika Almaira ini adalah pemilik kafe ini. Dia memang belum mengerti banyak tentang dunia bisnis. Tapi in syaaAllah, dia sudah banyak pengalaman. Dan sudah lebih dari tiga perusahaan dibidang makanan bekerja sama dengan kafe kami." ujar Dani berusaha meyakinkan keduanya. Bagi Dani sudah hal yang lumrah, jika perusahaan yang mau bekerja sama dengan mereka akan meregukan Rara yang berstatus sebagai seorang pelajar. Tapi jangan salah, Rara ini tipikal orang yang langsung mengerti dengan hal yang baru dipelajarinya. Jadi mudah bagi Dani untuk membimbing Rara. "Anda yakin?" tanya Aldo kurang yakin dengan keahlian Rara. "Saya jamin Pak. Kami tidak akan mengecewakan perusahaan Bapak." bukan Dani yang menjanjikan, tapi Rara sendirilah yang berbicara seperti itu. Dia orang yang tidak mau direndahkan. Bahkan dengan orang tuanya sekalipun. "Oke." Akhirnya mereka langsung memulai pembicaraan. Karena peningkatan omset bulan ini, Frenklin's Company yang memang dibidang makanan minuman untuk mereka ajak bekerja sama supaya keduanya bisa lebih maju lagi. Baik di dalam negeri atau luar negeri sekalipun. Tidak hal yang aneh, jika bekerja sama dengan Frenklin's Company maka kafe atau resti tersebut akan tambah melejit omsetnya. Akhinya meeting yang sedikit alot, adu argumen antara Rara dan Aldo selesai sudah. Diah selaku sekertaris sudah mencatat point point penting yang akan dilakukan mereka kedepannya. "Baik, hasil rapatnya nanti akan saya ketik lalu saya kirimkan ke anda Pak Dani." ujar Diah. "Baik Bu Diah." Dari tadi pandangan Aldo tidak beralih dari Rara. Dia merasa takjub dengan gadis belia seperti Rara yang selalu menampikan argumen yang tidak sesuai dengan pola fikirnya. Rara tidak sadar diperhatikan seperti itu. Bahkan pandanganya sekarang melihat bagaimana para karyawannya melayani pembeli di kafenya. Aldo dan Diah memutuskan untuk pulang setelah mereka rasa sudah tidak ada lagi yang akan dirundingkan. Ketika bersalaman dengan Rara, Aldo sengaja menahan tangan Rara. "Senang bisa bertemu dengan anda, Nyonya Almaira." ujar Aldo seperti biasa dengan kalimat datarnya. Jadi Rara pun tidak bisa menebak, itu kalimat yang memang senang bertemu atau hanya kalimat sindiran? Jadi Rara hanya menjawab dengan senyumannya saja. Tidak terlalu perduli juga dengan kalimat tersebut. Setelah di rasa kedua orang itu sudah keluar dari kafenya, Rara bersender dibahu Dani. "Gila Kak. Baru kali ini partner debat sealot itu." gumam Rara seraya memejamkan matanya. Dani tersenyum mendengar keluhan Rara, pasalnya baru kali ini boss kecilnya itu mengeluh. "Ya begitulah Ra, dunia bisnis. Ada berbagai macam orang. Kamu baru ketemu yang begitu, saya udah sering.  Lebih malah dari yang itu." ujar Dani seraya mengelus kepala Rara. Bagi para pegawai sudah biasa melihat boss utama mereka dengan bos kedua bagi mereka, jika bermesraan seperti itu. Awalnya mereka mengira, jika keduanya ada hubungan special. Tapi Dani pernah menjelaskan, tidak ada hubungan apapun antara keduanya. Dani hanya menganggap Rara sebagai boss dan adiknya. Aldo belum memundurkan mobilnya, masih diparkiran. Dimana keadaan mobilnya bisa melihat langsung dimana tadi posisinya duduk. Jadi dia bisa melihat interaksi dua orang berbeda jenis kelamin yang tadi melakukan rapat dengannya. Entah kenapa, hatinya seperti tidak terima. "Pak?" panggil Diah. Dia merasa bossnya dari tadi hanya duduk saja di kursi kemudi. Bahkan belum memakai seatbeltnya. "Eh iya," merasa tersadar dengan tindakan anehnya, Aldo segera memakai seatbeltnya dan memundurkan mobilnya. Keluar dari pelataran parkiran kafe. Sedangkan didalam kafe, kedua insan masih asik menikmati kesunyian. "Mau makan apa?" tanya Dani. Dia tabu, pasti Rara belum makan. Kebiasaanya melupakan makan siang. Rara menegakkan badannya, "Hmm apa ya, mie goreng boleh?" Rara memang belum makan siang. Hanya istirahat pertama, itupun dirinya hanya memakan batagor dan mentraktir kedua sahabatnya. "Jangan pedes tapi." peringat Dani tahu kebiasaan boss kecilnya. Lupa jika dirinya sendiri memiliki penyakit lambung. "Siap bos." ujar Rara seraya meletakkan tangannya di dahi, seakan akan hormat dengan atasannya. Padahal dia sendiri pemilik kafe ini. "Indah," panggil Dani kepada pelayan yang kebetulan lewat didepan mereka. "Iya Pak, eh ada Mbak Rara." sapa Indah kepada boss utamanya yang memang jarang datang kesini. Kecuali weekend. Para pekerja disini memang sudah memaklumi Rara dengan kesibukannya sebagai seorang pelajar. "Apaan sih Ndah, Mbak mbak. Emang kapan gue nikah ama Mas lu." dumel Rara merasa tidak terima dengan julukannya di kalangan para pegawainya sendiri. Dia tidak suka di panggil dengan embel embel Mbak. Seakan akan dirinya sangat tua. Padahal dia tahu, diantara semua pekerjanya dia lah yang paling muda umurnya. Semuanya sudah lulus dari sekolahnya bahkan ada yang sedang kuliah juga. Seperti Indah ini salah satunya, seorang Mahasiswi yang bekerja parttime demi sesuap nasi di Ibu Kota. Indah tertawa melihat bossnya cemberut, "Haha, iya maaf Ra." Rara memang sudah memperingati kepada seluruh pegawainya untuk memanggil nama nya saja. "Kak, gue mau mie goreng kayak biasa ya." ujar Rara kepada Indah. "Siap bos. Pedes juga ngga?" tanya Indah sudah menjadi kebiasaan Rara jika memakan apa saja berbau pedas. "Jangan Ndah. Sesendok aja sambelnya." bukan Rara yang berkomentar melainkan Dani. Rara mengerucutkan bibirnya sebal. Indah pun sudah berlalu dari hadapan keduanya. "Itu bibir mau jadi bebek? Hah?" gurau Dani melihat Rara masih memanyunkan bibirnya. "Apaan sih. Udah ah aku mau liat mereka dulu." Rara berlalu menuju dapur. Sudah menjadi kegiatan rutinnya jika dia berkunjung pasti akan kedapur. "Hayy Kakak kakak Rara yang cantik." sapa Rara kepada Koki yang ada didapur. "Ehm, yang ganteng ngga disebut Ra." sindir Koki pria yang memang sengaja Rara tidak menyebutkan. "Eh ada Mas Rudi yang ganteng. Ngga keliatan loh Mas." jawab Rara yang dibalas Rudi dengan memutar bola matanya. "Tumben Dek ke sini?" tanya salah satu Koki perempuan. "Iya Kak, tadi di suruh ke sini sama Kak Dani." ujar Rara seraya berjalan memasuki pekarangan dapur. "Kamu yang mesen mie goreng ya Ra?" tanya Koki di ujung sana, seorang perempuan juga. Rara memamg memiliki Koki tiga orang. Dua orang wanita dan satu orang pria. "Iya Mbak." "Tumben ngga pedes Ra?" tanya Koki perempuan yang sedang memasakkan makanannya. Diam diam Rara berjalan ke samping Koki tersebut, dia tidak tahu dari tadi ada yang mengikuti langkahnya ke dapur. Baru saja dia mau membisikan sesuatu ke telinga sang Koki, sebuah intrupsi sudah terlontarkn. "Ngga. No pedes hari ini." kalian pasti tahu siapa yang menginterupsi. Siapa lagi jika bukan Dani? "Oke Pak Dan." ujar Koki yang sedang memaksakan Rara mie gorengnya. "Sebel ah. Ngga ce-es Mbak Rita mah." dumel Rara seraya keluar dari dapur sambil menghentakkan kakinya. Sebelum mengejar Rara, Dani berpesan kepada Rita agar nanti ada pelayan yang mengantarkan pesanan Rara ke ruangannya. "Yok ke dalem aja." ujar Dani seraya merangkul bahu Rara, mengarahkan agar Rara berbelok ke dalam ruangannya. Di dalam ruangan Dani, memang tersedia balkon. Yang sering menjadi tempat tongkrongan keduanya jika sedang berada di Kafe. "Gimana sekolah kamu?" tanya Dani seraya mendudukan dirinya di kursi tepat di sebelah Rara. "Ya begitu Kak. Ngga ada yang signifikan juga. Yaa kek air mengalir aja. Lancar sejahtera." jawab Rara seraya memainkan ponselnya. Dani langsung menurunkan ponsel Rara, "Udah di bilang. Kalau lagi ngobrol jangan maen hp." tegur Dani. Yang di tegur hanya melontarkan senyumannya, " Ya maap Kak." "Emang ada yang penting banget apa di hp itu. Jomblo juga." ejek Dani. Sudah biasa mereka saling mengejek satu sama lain. "Yeee nyadar. Situ emang ada? Jomblo kok teriak jomblo." sindir balik Rara. Dani tidak membalas dengan perkataan, dia hanya mengulurkan tangannya untuk mengacak rambu orang di sampingnya. "Kak Dani ih. Sumpah ya aku paling sebel sama orang yang giniin aku. Emang di kira aku kucing apa pake di elus elus segala." Dani tidak marah mendengar dumelan Rara. Dia malah senang, hiburan bagi Dani. "Misi Pak," Tidak lama kemudian pegawai datang membawa pesanan Rara beserta dua minuman. Untuk Dani dan juga Rara. Mereka menikmati sore senja itu secara bersama dengan disertai canda tawa, tanpa mengetahui ada hati yang sudah di bawa terbang oleh Dani dan belum tahu akan kah hatinya selalu di buat melambung atau akan di jatuhkan suatu saat nanti. Hanya takdir lah yang bisa menjawabnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN