"Katakan, Bu. Apakah engkau tidak mencintaiku?"
-Adibah Khanza Azzahra-
Selama beberapa bulan menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad, Sinar banyak berkontribusi untuk pesantren tersebut. Tak jarang pemuda itu membersihkan halaman dan masjid pesantren di luar piket atau jadwal bersih-bersih. Santri lain yang melihat tindakan Sinar pun merasa kagum, terutama para santri putri.
Tak sedikit santri putri, baik yang di bawah atau pun seusianya menyukai pemuda asal Subang itu. Sinar juga berhasil membuat teman sekamarnya yang sering merokok menjadi berhenti dan menaati peraturan.
"Tenang wae atuh, kalau di dunia teu bisa ngarokok mah, enke wae di akhirat," ujar Sinar pada teman-temannya di dalam kamar asrama.
"Emang di surga ada rokok, A?" tanya Herlan dengan polosnya.
"Eeh jangan salah atuh. Rokok mah ada, apa pun ada!" sahut Sinar.
Gofur dan teman-teman lain pun menyimak ucapan Sinar.
"Masa iya ada rokok?" tanya Sadi.
"Bener atuh, di surga ada rokok. Tapi, di surga teh teu aya api. Jadi, kalau mau nyalain rokokna, yah, harus ke neraka heula." Sinar terkekeh.
Gofur pun ikut tertawa mendengar lelucon Sinar. "Haha, ada-ada aja, A."
"Ah intina mah nggak ada rokok!" pekik Sadi.
"Yah gini aja, Kang Sadi. Kita ini kan santri, nimbah ilmu di sini juga gratis, masa kita nggak mau naatin peraturan? Kalau di luar pondok pesantren Akang mau ngerokok mah, sok wae. Tapi, entong di dieu atuh," ujar Sinar.
"Iyaa, iyaa. Pan ane udah sebulan ini berhenti ngerokok," tutur Sadi.
"Padahal A Sinar teh baru tiga bulan di sini, tapi bisa buat Kang Sadi berhenti ngerokok. Kang Gofur itu udah sering banget ngancam mau laporin Kang Sadi, tapi tetep wae cicing," ucap Herlan.
"Nya ngges atuh, mau jam sepuluh itu. Ke masjid heula," ajak Sinar.
Sambil menunggu komando dari kiai untuk mulai sholat duha berjamaah, Sinar dan ketiga teman sekamarnya duduk-duduk di depan masjid pesantren. Beberapa santri lain fokus membaca-baca kitab.
"A, urang teh rek nanya ka A Sinar. Ari orang-orang teh kenapa yah, suka teriak-teriak bid'ah sama kita-kita yang sering ngelakuin marhabanan?" tanya Herlan.
"Yee, nggak usah tanya, eta mah udah jelas aliran sesat!" pekik Sadi.
"Husss, tong nyarios kitu, Kang!" ujar Gofur.
"Lah, emang bener! Kalau nggak sesat, apa lagi coba? Masa iya mereka ngatain kita sesat, ahli neraka, hanya karena kita merayakan maulid. Mereka bilang, katanya tidak ada di zaman Rasulullah. Yah, jelas atuh teu aya, pan Rasulullah na masih hidup, masa mau mengenang Rasulullah!" tutur Sadi.
"Ngges atuh, Kang. Urang teh nanya sama A Sinar," sahut Herlan.
"Udah atuh, jangan debat. Saya jawab sebisanya aja yah, mohon maaf kalau keliru. Sebelumnya, saya mau tanya dulu. Kalau kita maulidan atau marhabanan itu ngapain aja?" tanya Sinar.
"Baca kitab Al-Barzanji atau sejenisnya gitu, A. Terus, dengarin kajian tentang sejarah kelahiran Rasulullah," ujar Herlan.
"Nah, kira-kira ada yang tahu enggak sejarah adanya maulid Al-Barzanji atau bacaan yang biasa dibaca kalau lagi acara maulidan?" tanya Sinar.
"Jujur, urang mah teu nyaho, A," ungkap Herlan.
"Sarua atuh!" jawab Sadi dan Gofur nyaris berbarengan.
"Jadi, di zaman dulu setelah wafatnya Rasulullah. Zaman setelah wafatnya para Tabiin juga Tabi Tabi'it, umat muslim pernah mengalami krisis iman, bahkan nyaris lupa dengan sosok Rasulullah. Pada waktu itu, Sultan Salahuddin Al Ayyubi mengadakan sayembara supaya orang-orang membuat syair atau puisi penggugah jiwa agar bisa membuat kita kembali mengingat Rasulullah. Nah dari sayembara itu, akhirnya terpilihlah satu prosa karangan Syekh Al-Barzanji yang indah. Ketika orang membaca prosa tersebut, maka akan langsung ingat dan mengenang Rasulullah. Karena mereka orang Arab dan syairnya berbahasa Arab, mereka dengan mudah memahaminya. Jadilah sampai sekarang kita sering melantunkan syair itu saat acara-acara maulid. Tujuannya, untuk mengenang Rasulullah." Sinar berhenti sejenak.
"Tapi, kita? Orang Indonesia kalau lagi maulidan asal baca aja, asal bunyi, asal suara enak, tanpa tahu isi dan maknanya. Sebenarnya semua itu percuma!! Karena, kalau niatnya sudah beda, nggak akan sampai," tutur Sinar.
"Maaf, nih. Niat apa?" tanya Sadi.
"Niat kita maulidan atuh, Kang. Kalau niatnya benar-benar ingin mengenang Rasulullah, bersholawat kepada beliau Shalallahu Alaihi Wassalam, maka bagus. Insya Allah kita akan dapat syafaat dari Rasulullah. Tapi, kalau niatnya supaya orang mendengar suara kita yang merdu saat melantunkan syair itu, percuma saja menurutku," tutur Sinar.
"Oh iya, iya, bener!" Gofur mengangguk-angguk.
"Jadi, kalau ada yang mengatakan kita sesat karena mengadakan maulid, tak usah digubris atau malah emosi. Jangan juga mengatakan sesat pada mereka yang mengatakan kita sesat. Sebenarnya kita itu sama, yaitu Islam. Hanya saja wadah kita berbeda, hargai pendapat orang lain agar hidup kita lebih berkah. Jauhi perdebatan dan kurangi kebencian terhadap sesama," tutur Sinar.
"Jadi, intinya kita bukan orang sesat ya, A?" tanya Herlan.
"Bukan atuh, mereka juga bukan orang sesat. Sesat itu, apabila kita melanggar syariat, seperti membayangkan bagaimana Allah dan melakukan hal haram lainnya..." Sinar terhenti ketika seseorang menepuk punggungnya.
"Udah, bahas maulidnya disambung nanti aja sesudah belajar. Sekarang masuk dulu, sholat duha," ungkap Abah Jaelani dengan senyuman khasnya yang berwibawa dan berlalu memasuki masjid.
Sinar terkejut melihat Abah Jaelani yang tiba-tiba ada di belakangnya.
"Astaghfirullah, sejak kapan ada Abah Jaelani, teh?" tanya Sinar.
"Sejak Aa menjelaskan tentang sejarah Al-Barzanji," ujar Herlan.
"Naha teu ngomong? Malu euy!" ungkap Sinar.
"Naha malu? Pan nggak lagi maksiat atau ngelanggar peraturan, yang biasa ngelanggar peraturan aja nggak tahu malu," tutur Gofur.
"Ai maneh nyindir urang?" ujar Sadi.
"Teu usah tersinggung atuh, Kang. Pan emang kenyataan," goda Herlan, mereka pun serentak terkekeh.
Sinar serta para santri yang tidak sekolah pun mengikuti kegiatan sholat duha berjamaah dan setelah itu dilanjutkan kajian untuk memperlajari kitab Ta’limul Muta’alim.
***