Di saat santri lain kembali ke asrama selepas shalat duhur dan makan siang, Sinar justru membereskan serta membersihkan lantai masjid yang baru saja digunakan untuk belajar juga beribadah.
Seperti hari-hari biasanya, santri MI kelas IV sampai VI akan mengikuti kegiatan sekolah Diniah dalam satu kelas, yang jumlahnya 20 santri putra terpisah dengan 25 santri putri yang di dalamnya termasuk Salamah, Khanza, Rahayu juga Faridah tak lain anak-anak kiai pengasuh Pondok Pesantren Al-Hasan Akmad.
Salamah, Khanza dan Rahayu berangkat bersamaan dan bertemu Faridah di depan rumah. Empat putri kiai itu berjalan beriringan menuju ruang madrasah. Ketika melintasi masjid, Faridah melihat Sinar yang sedang membersihkam masjid.
"Ceu... Ceu... Eta akang santri baru teh," ujar Faridah.
"Masa santri baru nyapu-nyapu masjid di jam segini?" ujar Salamah.
"Sambil kerja juga kali," sahut Rahayu.
Lagi-lagi Sinar melihat Khanza melintas di hadapannya. Pemuda yang sedang memegang gagang sapu berwarna hijau itu memperhatikan Khanza dan ketiga saudaranya. Khanza yang tak sengaja mengetahui hal tersebut merasa risi dan malu.
***
Bersambung....
Sampai di kelas, Faridah yang duduk tepat di samping Khanza berbisik. "Ceu, akang santri yang tadi teh asa kasep!"
"Enggak, Dah, biasa aja," sahut Khanza.
"Ih, Ceu Khanza mah teu ngarti orang kasep!" ujar Faridah.
"Kamu suka sama aa yang tadi?" tanya Khanza.
"Aa? Oh ya bener, panggil aa aja ah. Namina saha nya!" Faridah menggerakkan bola matanya ke atas seolah sedang mencari jawaban.
"Penasaran mah tanya wae sama Abah Jaenudin," sahut Khanza.
"Iya bener banget, Ceu. Nuhun pisan nya ide cemerlangnya!" Faridah memeluk Khanza dengan erat.
Khanza merasa risi. "Aduh... Aduh... Udah Faridah, sesek napas ini. Masih kecil suka sama akang-akang ih!" ujar Khanza.
***
Cuaca yang terik kini telah berganti kesejukan, walau panas, siang di Garut tidaklah sepanas kota-kota lainnya. Menjelang sore, santri-santri Ibtidaiah segera dipulangkan dari waktu belajarnya, sedangkan santri lainnya menunggu komando untuk mulai membersihkan lingkungan pesantren.
Usai sekolah Diniah, Khanza dan Faridah meneruskan perjalanan untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Di jalan, dua gadis itu berpapasan dengan Sinar.
"Ceuu, eta Aa anu kasep!" bisik Faridah pada Khanza.
"Biasa wae, ah!" balas Khanza yang juga berbisik.
Sinar mencuri pandangan untuk melirik Khanza, walau begitu, ketiga anak manusia tersebut saling menunduk saat berpapasan. Perasaan Sinar tak biasa setiap kali melihat Khanza. Sedangkan Faridah tak kuasa menahan senyumnya setiap bertemu dengan pemuda asal Subang itu.
Sampai di rumah, Khanza langsung menemui ibunya yang sedang menyusui Yusuf.
"Assalamu'alaikum, Buu." Khanza mengecup punggung tangan Ibu Masito.
"Wa'alaikumussalam..." sahut Ibu Masito setengah berbisik. "Neng, Ceu Salamah teh bobo. Khanza cuci piring bekas tadi pagi sama beresin rumah nya. Yusuf baru aja bobo, takut kebangun," imbuhnya dengan nada berbisik.
Khanza menganggukan kepalanya. "Muhun, Bu." Gadis dengan wajah bercahaya itu beringsut keluar dari kamar ibunya.
hanza pergi ke dapur untuk menjalankan amanah ibunya. Piring yang masih dipenuhi makanan sisa itu satu per satu diraih oleh gadis berkulit lembut itu.
Khanza memastikan apakah masih ada abu gosok yang bisa ia gunakan untuk mencuci piring. Gadis itu mengangkat rok panjang berwarna merah muda dan menyingsing lengan bajunya yang nerwarna putih. Khanza mulai jongkok dan berhadapan dengan piring-piring kotor tersebut.
Dari belakang terdengar suara Abah Jaelani dan menepuk punggung Khanza secara perlahan. "Neng, uwih sakolah teh emam heula. Eta, tadi pas ngisi pengajian Abah dapat bingkisan, ada di meja tah, isinya nasi sama ayam, emam dulu sok, nanti nyuci piringnya," tutur Abah Jaelani.
"Teu nanaon, Bah. Khanza nyuci heula wae," sahut Khanza.
"Oh, nya ngges atuh." Abah Jaelani pun berlalu ke kamar mandi
Setelah Khanza selesai mencuci piring, gadis itu pergi ke kamar untuk mengganti bajunya. Di depan pintu kamar, ia berpapasan dengan Salamah yang hendak pergi ke kamar Ibu Masito.
Khanza mendengar percakapan antara Ibu Masito dan Salamah, karena jaraknya sangat dekat.
"Eluuuh, si Pinternya Ibu udah bangun." Terdengar suara Ibu Masito.
"Lapar enggak? Dari pulang sekolah tadi belum emam, kan?" tanya Ibu Masito pada Salamah.
"Iya, Bu, Salamah lapar. Ibu masak telur ceplok lagi?" Khanza mendengar suara kakaknya.
"Iya atuh, dah cuma ada telur yang bisa dimasak. Eh, tapi perasaan tadi abah bawa bingkisan, sok wae atuh di emam. Isina daging ayam jeung nasi, emam yang banyak biar makin pinter," tutur Ibu Masito.
Khanza yang mendengar percakapan kakak dan ibunya merasa sedih. Ia selalu berusaha menuruti serta memenuhi keinginan Ibu Masito agar bisa merasakan kasih sayang yang merata. Tetapi, rasanya sama saja. Siang malam Khanza berusaha menjadi sosok anak yang nurut dan baik, Ibu Masito tetap menampakan ketidak adilan pada dirinya.
***