“Prabu, lebih baik sekarang Anda pergi terlebih dahulu. Saya masih harus mengurus banyak hal, termasuk Wijaya yang masih ditangani. Belum ada kabar baik sejak tadi,” sambung Raja Purnama sembari melangkah ke arah dapur. Sedangkan, Prabu Tengker masih saja setia berdiri di depan pintu menunggu kabar tentang pria itu.
Tidak lama kemudian, ada salah satu prajurit yang ditugaskan untuk mengantar Prabu pergi dari kerajaan. Bukan karena tidak suka, Raja Purnama merasa sedang tidak baik-baik saja. Dia tidak ingin amarahnya dilampiaskan kepada orang lain. Jadi, menurutnya lebih baik jika di kerajaan tidak ada orang dari luar lebih dahulu. Setidaknya, sampai Wijaya membaik.
Beberapa waktu kemudian, Raja Purnama dikejutkan dengan kehadiran gadis cantik mengenakan kebaya warna hitam. Rambut yang digelung rapi dan memakai jarit berwarna cokelat bercorak bunga. “Maaf, Baginda Raja, saya ingin menjenguk Wijaya. Akan tetapi, kalau Baginda tidak mengizinkannya, saya akan kembali lagi ke rumah,” kata Gayatri sembari bersimpuh di hadapan Raja Purnama.
“Saya bukan Tuhan, Gayatri. Tidak sepantasnya kamu bersimpuh padaku. Berdirilah,” katanya sembari membantu gadis itu untuk berdiri.
Raja Purnama mengajak Gayatri untuk duduk di bangku depan. Ditemani jamuan dari kerajaan dan pemandangan sejuk yang ada di sekitar kerajaan. “Gayatri, kamu tahu dari mana?” tanyanya.
“Saya sudah tahu jika akan ada perang. Tapi, saya tidak menyangka jika akan terjadi hal ini pada Wijaya. Tadi, Ayah bilang tentang kondisi Wijaya yang belum sadarkan diri. Baginda, apakah Wijaya sudah sadarkan diri?” jawab Gayatri dengan tatapan mata yang begitu sendu. Menahan air mata agar tidak runtuh dari tempatnya.
“Wijaya kritis. Kita tunggu saja m, bagaimana nantinya,” jawab Raja Purnama sembari meneteskan air matanya. Seakan kehilangan sosok putra dalam hidupnya. Padahal, Wijaya hanya seorang laki-laki biasa yang tidak memiliki ikatan darah dengannya.
“Wijaya, maafkan saya,” lirih Gayatri mengusap air mata yang akhirnya jatuh juga.
“Lebih baik, kita berdoa agar diberi kesembuhan. Air mata yang berjatuhan tidak akan membuatnya terbangun. Hanya Tuhan yang bisa memberikan kesembuhan, Gayatri,” jawab Raja Purnama sembari mengambil air putih yang ada di meja. Meneguknya untuk m3nghilangkan rasa dahaga. Cuaca yang panas membuat suasana semakin memanas. Bahkan, kepala Raja Purnama pun ikut semakin panas.
Gayatri menunduk. Hatinya dirundung rasa gelisah. “Gayatri, lebih baik kamu kembali dulu. Nanti kalau sudah ada kabar baik, saya akan memberimu kabar,” kata Raja Purnama sembari beranjak pergi. Memang, Wijaya membutuhkan orang-orang untuk menjaganya. Tapi, Raja Purnama ataupun Gayatri juga butuh istirahat agar tetap sehat. “Kesehatanmu juga diperlukan oleh Wijaya. Saya tahu kalian saling sayang. Tapi, saat ini Wijaya membutuhkan doa terbaikmu,” sambungnya.
Gayatri telah pergi. Dia memilih menuruti perkataan Raja Purnama daripada hatinya yang terasa begitu egois. Lagi pula, jika tetap berada di kerajaan, apa yang bisa dilakukannya untuk Wijaya? Justru, kehadirannya di kerajaan akan membuat suasana negatif. Tambah lagi, masalah kerajaan yang masih banyak dan harus diselesaikan.
Gayatri duduk di bangku panjang. Meneguk air putih. Matanya tidak bisa berbohong jika dirinya sedang bersedih. Tak lama dari itu, Tunggadewi hadir dari arah dapur. Beliau membawakan satu piring singkong rebus. “Makan dulu, ya. Nanti kalau kamu ikut sakit, bagaimana mau bertemu dengan Wijaya?” katanya.
“Bunda, Wijaya kritis. Apa ini salah kita yang membuatnya menjadi seseorang yang lingkung?”
“Tidak ada yang salah. Semua yang terjadi sudah takdir. Wijaya sakit juga karena berkorban untuk kerajaan. Bunda yakin, dia laki-laki yang kuat.”
“Bunda, Ayah di mana?” tanya Gayatri sembari mengusap air matanya. Sepanjang perjalanan kembali dari kerajaan, Gayatri menangis sesenggukan. Bahkan, tak sedikit warga yang menatapnya dengan aneh. Ada juga yang menertawakannya. Tapi, masalah hati memang tidak bisa untuk dibohongi ataupun ditutupi.
Gayatri berjalan keluar. Menuju tempat yang baru saja disebutkan oleh ibunya. Kakinya menyusul sosok ayah yang sedang mencari ikan. Sebuah kegiatan sebagai pelampiasan emosi, menombak ikan dengan bambu runcing.
“Ayah!” teriak Gayatri dari tepi sungai.
Pria itu melirik ke arah anaknya. Tapi, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya masih asyik mencari ikan yang akan ditombak. Gayatri yang menyadari dengan tanggapan ayahnya pun memutuskan untuk turun ke air. Mendekat ke arah ayahnya. Memegang lengan ayahnya dengan lembut. “Ayah, menepi sebentar,” katanya.
Melangkah untuk menepi sejenak. Duduk di batu besar yang ada di tepi sungai. Gayatri masih memikirkan kata yang tepat untuk membuka percakapan. Sebab, Gayatri takut jika perkataannya akan menyinggung.
“Kenapa?” tanyanya membuka pembicaraan.
“Ayah, Wijaya kritis.”
“Terus, kenapa?”
“Ayah, Gayatri mohon ... mohon kasih restu untuk kami. Bukankah Ayah tahu dengan perasaan Gayatri kepada Wijaya? Apakah Ayah tidak ingin melihat anaknya bahagia?” Gayatri menunduk. Lagi-lagi, dia merasa takut untuk menatap ayahnya. Apalagi, saat ini kondisi ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Emosinya masih setinggi langit. “Kalau memang Ayah tidak merestui kami, Gayatri akan tetap memaksa pergi untuk mengejar kebahagiaan Gayatri.”
“Gayatri!” teriaknya dengan tatapan mata yang semakin terlihat ganasnya, “Apa kamu mau menjadi anak durhaka? Selama ini Ayah dan Bunda yang membesarkanmu.”
“Apa Ayah juga tidak sadar dengan sikap yang buruk? Ayah selalu seenak sendiri untuk memutuskan sesuatu. Ayah tidak pernah mendengarkan omongan Gayatri ataupun Bunda. Gayatri mengakui kalau Ayah selama ini menuruti apa yang Gayatri inginkan, tapi terkadang Ayah juga egois. Apa salahnya Wijaya sampai Ayah tidak rela jika Gayatri dengannya?”
“Karena kehadiran Wijaya membuat posisi Ayah tersingkirkan di kerajaan.”
“Jadi, hanya karena itu? Pantas saja Baginda Raja menggantikan Ayah. Karena, Ayah saja tidak bisa bersikap bijaksana. Lagi pula, Wijaya berhak mendapatkan kepercayaan itu dari Baginda Raja Purnama. Sebab, Wijaya memang pemuda yang cerdas, selain cerdas, Wijaya memiliki sikap yang lebih baik daripada Ayah. Secara logika saja, seorang raja bisa digantikan kapan saja, lantas apalah Ayah yang hanya sebagai tangan kanan seorang raja. Bisa kapan saja digantikan,” kata Gayatri meninggalkan Ayahnya.
Gayatri merasa kesal dengan sikap Ayahnya. Seorang pria yang seharusnya bisa bersikap lebih dewasa. Nyatanya, usia tidak menjamin kedewasaan seseorang. Justru, Wijaya yang jauh lebih muda dari Prabu Tengker saja bisa bersikap jauh lebih dewasa daripada usianya.
Bahkan, di saat kondisi Wijaya sudah kritis pun Prabu Tengker seolah tidak peduli. Padahal, bagi Gayatri sosok Wijaya sangat dibutuhkannya. Selain bisa belajar banyak hal dan membuka pikiran lebih maju, hatinya terasa patah ketika harus kehilangan pria itu. Kini, Gayatri duduk bersama ibunya di dapur. Mereka membuat tepung singkong seperti apa yang pernah dibuat oleh Wijaya. Gayatri ingin membuat sebuah kue lapis. Kue pertama yang pernah dinikmatinya. Tentu saja, sebuah kue buatan Wijaya beberapa waktu yang lalu. Sebelum adanya lamaran yang ditolak mentah-mentah oleh Prabu Tengker.
“Gayatri, ini kalau sudah diiris tipis terus dijemur?” tanya ibunya.
“Iya, Bunda. Tapi, kemungkinan besok saja, deh. Sekarang sudah cukup sore. Bahkan, di luar mendung,” jawab Gayatri.
Tidak lama kemudian, Prabu Tengker masuk melalui pintu belakang. Duduk di sebelah Gayatri. Terdiam dan berkelana dengan pikirannya sendiri. Begitu pula dengan Gayatri yang tidak menyapa ayahnya. Bukan ingin egois, tapi Gayatri masih menyimpan rasa kecewa padanya. “Aduh, anak sama Bapak kok saling mendiamkan? Tidak baik, loh,” kata Tunggadewi sembari menata irisan singkong di sebuah nampan yang terbuat dari anyaman bambu.
“Gayatri, bagaimana keadaan Wijaya?” tanya Prabu Tengker yang secara mendadak bersikap peduli dengan pria itu. Padahal, sebelumnya dia begitu sinis dan tidak peduli. “Ayah minta maaf, tapi untuk masalah restu, Ayah belum bisa memberikan itu,” sambungnya.
“Tadi siang masih kritis. Sekarang ... belum tahu. Belum ada kabar dari Raja Purnama.” Gayatri beranjak. Berjalan menuju kamarnya. Entah, rasanya Gayatri masih enggan untuk bertemu dengan ayahnya. Walaupun, di dalam relung hatinya yang paling dalam, tidak ada rasa benci sedikit pun.
“Sebentar, biarkan saya susul Gayatri,” kata Tunggadewi meletakkan alat untuk menumbuk yang terbuat dari kayu itu. Melangkah mengejar Gayatri yang masuk ke kamarnya. Sedangkan, Prabu Tengker merasa tidak nyaman duduk seorang diri di dapur. Pikirannya kacau ketika melihat putrinya merasa menjauhinya.
Tunggadewi telah duduk di sebelah Gayatri. Menghadap ke dinding pemisah yang terbuat dari kayu. “Gayatri, kamu tahu enggak, kenapa Ayah bersikap seperti itu?”
Gayatri melirik ke arah ibunya. Kemudian, kembali menatap lurus depan. Tangannya terasa tersentuh dengan telapak tangan ibunya yang kasar. Seorang wanita pekerja keras demi bisa makan setiap harinya. Bagaimana mungkin bisa memiliki telapak tangan yang mulus, jika setiap harinya Tunggadewi mencabut dan menanam pohon singkong.
“Kenapa?” tanya Gayatri dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Gayatri, Ayah sebagai orang tua tidak bisa dengan sembarangan menyerahkan kamu kepada seorang laki-laki. Tidak ada seorang Ayah yang tidak menginginkan putrinya bahagia. Tapi, Ayah tidak mau kamu jatuh ke pelukan laki-laki yang tidak tepat. Berbicara tentang Wijaya, apa kamu tahu asal-usul dari pria itu?”
Gayatri menggeleng.
“Tuh, kamu juga belum tahu. Sebaiknya, kita cari tahu terlebih dahulu tentang bibit, beber, dan bobotnya agar semuanya jelas. Tidak ada kesalahpahaman di kemudian hari. Percayalah, Ayah itu sayang dan ingin kamu bahagia,” katanya sembari memeluk Gayatri, “temui Ayahmu, meminta maaf,” sambungnya.
Bukan hanya Wijaya saja yang terbaring kritis. Restu dari ayahnya pun masih berada di garis yang tidak ada kepastian. Hatinya masih rapuh, tapi tidak bisa untuk memaksakan kehendak ayahnya. Gayatri hanya bisa berdoa dan meminta melalui Tuhan.
“Ayah, maafkan Gayatri sudah marah-marah tidak jelas. Gayatri .... “
“Tidak apa-apa. Justru, Ayah yang tidak bisa bersikap lebih dewasa. Ayah terlalu dibutakan dengan jabatan, sehingga membenci seseorang yang tidak memiliki masalah dengan Ayah. Gayatri, beri Ayah waktu untuk mencari tahu tentang Wijaya.”
“Iya, Ayah. Gayatri tidak akan memaksakan restu itu. Gayatri ingin mendapatkan restu yang memang asli dari hati Ayah dan Bunda.”
“Besok pagi, kita ke kerajaan ... menjenguk Wijaya.” Tunggadewi tersenyum manis ke arah kedua orang yang menjadi belahan jiwanya.