Keesokannya, Gayatri bersama kedua orang tuanya telah bersiap untuk pergi ke kerajaan. Tapi, secara tiba-tiba turun hujan yang disertai petir. Mereka mengurungkan niat untuk pergi. Duduk di bangku panjang sembari melihat angin ribut dari jendela. Sebuah jendela kayu yang dibuka pintunya. “Gayatri, tutup pintu jendelanya. Lihat anginnya besar,” kata Tunggadewi yang sedang menunduk sembari berzikir. Meminta bantuan dan pertolongan dari Tuhan.
“Kenapa, sih, setiap kali ada niat baik, tapi langit tidak mengizinkan,” kata Gayatri.
“Bukan langit. Tuhan belum berkehendak. Nanti, ketika Tuhan sudah mengiyakan, kita juga bakal sampai di kerajaan. Menunggu hujan mereda tidak selama kamu menunggu batu mencair.”
“Batu mana mungkin mencair. Terkikis air itu baru benar,” jawab Gayatri.
Tunggadewi tidak menjawab pernyataan Gayatri. Wanita itu malah melirik ke arah suaminya yang duduk di sebelahnya. Beruntung, pria itu tidak menyadarinya. Andai saja, pria itu sadar akan lirikkan dari istrinya, bisa jadi akan terjadi badai besar di rumah.
“Benar, sih. Menunggu batu mencair bisa berabad-abad,” katanya sedikit tertawa. Gayatri mengerti dengan maksud yang dikatakan oleh ibunya. Menunggu keras kepalanya dari Prabu Tengker lebih lama daripada menunggu hujan. Untuk bisa mencairkan keras kepalanya seseorang, memang dibutuhkan perjuangan yang lebih keras. Bahkan, sampai saat ini saja Prabu Tengker masih keras dengan keputusannya. Masih saja belum memberikan restu untuk Gayatri dan Wijaya. “Bunda, Gayatri ambil makanan dulu. Tiba-tiba perut lapar lagi,” sambungnya sembari beranjak ke dapur. Mengambil singkong rebus yang sudah dingin.
Setelah satu jam, akhirnya langit telah kembali cerah. Bahkan, matahari telah menampakkan wajahnya. Sinarnya telah menerangi bumi. Bahkan, suhu panasnya telah menembus di kulit manusia. Mereka melangkahkan kaki ke arah kerajaan. Sebuah perjalanan yang tidak bisa untuk didefinisikan. Rasa dalam hati Gayatri begitu bahagia, akan bertemu dengan pria idamannya.
“Gayatri, kenapa kamu senyum-senyum sejak tadi?”
“Bahagia saja, akhirnya bisa bertemu dengan Wijaya. Eh, belum, baru mau ketemu,” katanya.
“Hem, awas, ya, jangan aneh-aneh, nanti,” jawab Prabu Tengker tanpa menatap putrinya. Gayatri dibuat heran dengan ayahnya sendiri. Sikapnya bisa berubah secepat kilat. Baru semalam, dia bersikap baik dengan Wijaya. Lantas, kenapa sekarang bersikap cuek lagi?
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu itu, Gayatri telah menginjakkan kaki di halaman depan kerajaan. Baru saja kaki mereka akan melangkah ke dalam, tiba-tiba ada beberapa prajurit yang menghampiri. Salah satu dari mereka menanyakan perihal apa Prabu Tengker dan keluarga datang secara mendadak. Padahal, biasanya mereka diberi kebebasan untuk masuk ke kerajaan. Lantas, kenapa hari ini mereka seakan mata-mata yang harus diikuti penjaga secara ketat? Pantas saja jika Prabu Tengker merasa mendapatkan perlakuan yang berbeda dari biasanya.
“Mohon maaf, kenapa kami diperlakukan selayaknya orang asing? Bahkan, Ayah saya juga masih menjadi bagian dari kerajaan,” kata Gayatri yang tidak nyaman dengan ruang geraknya.
“Maaf, ini perintah dari Baginda Raja Purnama. Kami hanya menjalankan tugas,” jawabnya masih mengawal langkah mereka menuju sebuah ruangan yang digunakan Wijaya dalam masa perawatan. “Oh iya, saat ini Tuan Wijaya sudah mulai membaik. Walaupun, belum sepenuhnya membaik,” sambungnya.
“Prabu, ikut saya sebentar,” kata Raja Purnama yang baru saja muncul di hadapan mereka. Akhirnya, Prabu Tengker pun mengikuti langkah kaki dari sang raja. Entah apa yang akan mereka bicarakan. Terpenting bagi Gayatri saat ini adalah bisa bertemu dengan pria itu. Seorang pria yang telah mengisi hati dan pikirannya beberapa bulan terakhir.
Gayatri meminta izin untuk masuk ke ruangan itu. Dia masuk ke ruangan yang begitu privasi saja tetap dibuntuti dengan salah satu prajurit. Rasanya, seperti tidak memiliki ruang bersifat rahasia. Wijaya yang mengerti dengan pikiran Gayatri pun meminta untuk prajurit itu keluar terlebih dahulu. Gayatri menutup pintu lalu mendekat ke arah Wijaya. Duduk di sebuah kursi yang ada di sana.
“Wijaya, maafkan saya kalau memiliki salah dengan kamu. Maafkan Ayah juga, ya,” kata Gayatri yang menahan tangis, “jujur, aku sayang sama kamu. Saya sedang berjuang untuk mendapatkan restu dari Ayah. Ya, kamu tahu, kan, bagaimana sikap dan sifat Ayah. Butuh waktu untuk bisa mencairkan sifat keras kepalanya,” sambung Gayatri menunduk. Dia tidak ingin Wijaya mengetahui air matanya runtuh dari tempatnya. Bahkan, telah membanjiri pipinya.
“Gayatri, jangan menangis. Saya tahu kamu sedang menangis, walaupun kamu menunduk. Saya tidak apa-apa. Berbicara soal restu, saya paham kok. Kalau memang kita berjodoh, Tuhan akan mendekatkan kita. Tapi, kalau pun tidak, Tuhan akan mengirimkan ke kita orang yang jauh lebih baik. Kita hanya perlu bersabar dan selalu berdoa kepada Tuhan.” Wijaya berusaha untuk mengusap air mata yang telah mengalir deras di wajah gadis itu.
Sedetik kemudian, terdengar pintu yang terbuka. Di sana ada Tunggadewi yang berdiri di ambang pintu. Disertai senyuman yang manis, kakinya melangkah mendekat. Mengambil air yang ada di atas meja. Padahal, air itu untuk Wijaya, tapi bagaimana lagi tenggorokannya telah mengering. Hal tak sopan, justru menimbulkan gelak tawa yang menyingkirkan rasa pedih di hati.
“Bunda ini, kenapa harus di sini,” lirih Gayatri.
“Maaf, sudah keburu haus,” katanya.
Wijaya masih tertawa sembari menahan perut yang masih terasa perih. Luka di tangan saja belum mengering sempurna, kini harus menahan rasa sakit di perut dengan alasan yang sama. Demi mempertahankan kerajaan, Wijaya rela berperang di garis terdepan demi melindungi Raja dan anggota perangnya. Akhirnya, dirinya yang terkena senjata milik lawan. Sudah begitu saja, rasa setia dan tanggung jawabnya masih diragukan oleh Prabu Tengker.
“Tidak apa-apa, Gayatri. Lagi pula nanti bisa minta air lagi, kalau aku haus,” kata Wijaya menengahi ibu dan anak yang sedang beradu mulut hanya karena air putih.
“Tapi, Wijaya .... “
“Wijaya, bagaimana keadaanmu?” tanya Prabu Tengker sembari melangkah ke arahnya. Sebuah pertanyaan yang membuat hatinya terasa adem, tapi tidak dengan wajah dan tatapannya. Sebuah tatapan dingin seperti biasanya. “Lekas sembuh. Seorang pejuang itu tidak boleh jatuh,” sambungnya.
Beberapa waktu kemudian, Prabu Tengker dan Tunggadewi diajak oleh Raja Purnama untuk berkeliling kerajaan. Memang ada maksud terselubung dari raja. Beliau ingin agar dua sejoli itu bisa menumpahkan segala rasa. Rasa kasih, rasa cinta, dan rasa rindu yang telah cukup lama tertahan di dalam hati masing-masing. Berharap dengan begitu, keduanya bisa bersatu dan berjuang demi sebuah restu dari Prabu Tengker.
“Gayatri, kamu tadi mengatakan sedang berusaha untuk mendapatkan restu?” tanya Wijaya memastikan.
“Iya, eh,” katanya sembari menutup bibirnya. Dia tidak sadar dengan perkataannya tadi. Dia keceplosan dengan kata-kata yang seharusnya ia pendam. Kehadirannya bukan untuk menceritakan isi hati, akan tetapi menjenguk sang pujaan hati. “Aduh, Gayatri keceplosan,” sambungnya dengan malu-malu.
“Ha ha lucu, ya, kamu. Gayatri, kamu sudah bisa membaca lebih banyak, kan?” tanyanya.
“Ya, begitu. Mau bagaimana lagi, orang yang mengajari saya saja lagi tumbang. Lekas sembuh, ya, nanti biar bisa mengajari saya lagi,” jawab Gayatri berdiri dari duduknya. Mungkin, dia lelah duduk di bangku yang sama selama berjam-jam. “Saya sudah ingin segera belajar lagi,” sambungnya tersenyum.
“Halah, kangen belajar apa kangen sama yang mengajar?” goda Wijaya.
“Dua-duanya,” lirihnya.
“Wijaya, kalau semisalnya nanti Ayah tetap kekeh tidak memberi restu, apakah kamu akan tetap menunggu? Tapi, kalau kamu mau mencari gadis lain, saya tidak masalah.”
“Hai, tenang saja. Palingan nanti, kita nikah lari,” jawab Wijaya asal.
Gayatri mengerucutkan bibirnya. Dia tidak menyangka dengan jawaban dari pria itu. Mana mungkin dirinya akan nikah lari, tanpa restu dari kedua orang tuanya. Selain itu, dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Sekalipun, terkadang dia merasa orang tuanya tidak mengerti akan keinginannya. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Gayatri jika bisa bersatu dengan seseorang yang ia cintai. Pria yang ia pilih sendiri. Tapi, dia juga ingin menikah dengan restu orang tua. Sebab, sebuah restu dari orang tua begitu penting dalam setiap perjalanan hidupnya. “Jangan marah, saya bercanda Gayatri,” kata Wijaya sembari tertawa tipis.
“Kalau bicara itu yang baik. Ucapan adalah doa,” jawab Gayatri.
“Iya, maaf. Palingan kalau terjadi, ya, kalau kamu yang minta,” katanya dengan tertawa tipis. Secara tidak sengaja, Gayatri menabok perutnya sedikit keras. Wijaya meringis kesakitan, sebab luka di perutnya masih basah. Bahkan, belum mengering sedikit pun. Menahan air mata agar tidak terjatuh, dia merasa malu jika harus menangis di hadapan seseorang yang ia cintai. “saya tidak apa,” sambungnya yang mengerti dengan raut wajah Gayatri yang sedang khawatir. Tapi, dia tidak sanggup untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
“Maaf, ya,” kata Gayatri sembari mengelus pelan perutnya.
“Jangan sentuh-sentuh Gayatri, nanti ada yang bangun. Selain itu, lukanya malah semakin nyeri.” Wijaya tertawa geli menatap wajah Gayatri yang begitu polos.
“Berdiri?” lirih Gayatri sembari menatap wajah Wijaya.
“Iya, sudah jangan dibahas. Kamu belum makan, kan? Sama aku juga belum makan,” kata Wijaya berusaha untuk bangkit dari tidurnya.
“Eh, perasaan saya belum menjawab,” katanya.
Wijaya memanggil salah satu pembantu yang bekerja. Seseorang yang ditugaskan oleh Raja Purnama untuk memenuhi permintaan Wijaya selama tinggal di kerajaan. Cukup memanggil namanya sebanyak tiga kali, beliau sudah hadir di hadapannya. Wijaya meminta tolong untuk mengambilkan dua porsi makanan dan minuman. Wanita paruh baya itu hanya membutuhkan waktu selama lima belas menit saja untuk menyiapkan makanan.
“Silakan menikmati makan siang Tuan,” katanya sembari meletakkan nampan di atas meja.
Keduanya mulai untuk mengisi perutnya. Sebelumnya, terdengar suara cacing yang berteriak kelaparan dari perut Gayatri. Suatu kejadian yang membuat mereka tertawa lepas. Sebuah kondisi yang tidak bisa dirasakan setiap hari. Bahkan, dalam satu minggu sekali saja, rasanya mereka tidak bisa. Takut jika terciduk oleh Prabu Tengker. Tapi, khusus hari ini, mereka dengan leluasa berduaan. Berkat Raja Purnama yang mengerti akan cinta dua remaja yang sedang dilanda rindu memuncak.
Beberapa hari kemudian, Wijaya telah kembali tinggal di rumah sepetak milik Prabu Tengker. Walaupun, masih saja tidak menyukai Wijaya, tapi beliau tidak ada niat untuk mengusir pria itu. Masih ada rasa kemanusiaan yang ada di dalam hatinya.
Intensitas ketemu mereka lebih mudah. Tapi, tentu saja tanpa ketahuan oleh Prabu Tengker. Pagi ini, mereka bertemu di sungai. Tempat biasa mereka selalu bertemu kala mentari muncul. Rutinitas mereka di sungai itu telah kembali. Wijaya yang mengambil air dan Gayatri mencuci pakaian. Kondisi Wijaya pun telah sembuh total. Tangan dan perutnya telah sembuh. Dia bisa bergerak bebas kembali.
“Gayatri,” panggilnya berdiri di belakangnya.
“Ada apa?” tanya Gayatri masih fokus dengan cuciannya. Tapi, suaranya tidak bisa membohongi. Dia gugup kala pria itu begitu dekat. Saking grogi, Gayatri tak sadar dengan salah satu pakaian yang terjatuh. Terbawa arus air sungai yang sedang deras. “Aduh,” katanya sembari mengamati pakaian berwarna biru yang telah jauh dari jangkauannya.
Wijaya menceburkan diri. Berenang untuk mengambil baju itu. Sebuah baju kebaya yang begitu istimewa untuk seorang perempuan. Aura gadis desa dengan kebaya sangat menarik hati. Terlihat lebih anggun dan memesona. Selama sepuluh menit, Wijaya telah berhasil mengambil baju itu. “Makanya, jangan melamun.”
“Maaf, ya, jadi merepotkan kamu. Wijaya, pakaianmu jadi basah,” ujarnya melihat tubuh Wijaya tanpa berkedip. Apalagi, dadanya yang terbuka dengan keadaan basah. Begitu terlihat ketampanan dari pria itu. Tapi, apa yang ada di pikiran Gayatri adalah sesuatu yang salah. Tidak seharusnya dia melihat tubuhnya dengan dalam. “Maaf,” sambung Gayatri menundukkan pandangan.
“Apa kamu mau menikah denganku?” ucap Wijaya tanpa sadar. Matanya sama sekali tidak berkedip menatap manik hitam milik Gayatri.
“Kamu kan tahu, Ayah belum ada restu untuk kita, Jaya,” jawab Gayatri menunduk karena malu dilihat begitu dalam oleh seorang pria. Bahkan, seumur dia hidup, hanya Ayahnya yang berani ia tatap dengan tatapan penuh rasa cinta.
“Bukankah kita bisa menikah lari?”
“Bukankah kamu mengatakan tidak akan melakukan hal itu?” jawab Gayatri mengemas pakaiannya. Gayatri pergi dari tempat itu. Dia takut jika akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Gadis itu memilih menunda pekerjaannya. Padahal, cuciannya belum juga selesai dicuci. Tapi, tatapan Wijaya mampu membuatnya terhipnotis. Beruntung, pikirannya masih dalam keadaan sadar. “Gayatri, harus tetap waras, jangan sampai dibodohi oleh cinta,” sambungnya sembari menepuk dahinya tiga kali.
Kini, Gayatri telah duduk di bangku yang ada di dapur. Memejamkan matanya untuk menormalkan detak jantungnya. Tidak lama dari itu, Tunggadewi mengambil nampan berisi irisan singkong yang telah kering. “Loh, ini kenapa tidak dijemur?” tanyanya sembari melirik ke arah keranjang rotan.
“Belum selesai dicuci, Bunda. Nanti agak siang, ya,” jawabnya.
“Ada apa? Bukannya kamu sudah sampai di sungai?”
“Tidak ada apa-apa, Bunda. Tadi, ada ular yang lewat, jadi Gayatri takut,” bohongnya.
Tunggadewi hanya mengangguk. Mengambil alat untuk menumbuk singkong keringnya. Dia sedang mencoba untuk membuat tepung singkong. Melihat ibunya sedang menumbuk singkong itu membuat Gayatri teringat dengan keringat Wijaya yang bercucuran kala menumbuk singkong ketika tangannya masih terluka. Tapi, semangat yang membara membuatnya berhasil menemukan bahan makanan.
“Bunda, Gayatri ingin .... “ Gadis itu berdiri mendekat ke arah ibunya. Bersuara di dekat telinga ibunya dengan berbisik-bisik. Ia malu untuk mengungkapkan keinginannya yang terasa aneh akibat rasa rindu yang masih tertahan.