Gayatri berdiri di ambang pintu. Masih menatap ke arah ayahnya dengan segala rasa bingungnya. Banyak orang yang ada di rumahnya membuat dia merasa tidak baik-baik saja. Bahkan, di sana ada raja kerajaan duduk di sana. Apakah ada sesuatu yang menyangkut ayahnya? Gayatri cemas dengan kondisi ayahnya. Melangkah ke arah ayahnya, duduk di sebelahnya sembari menanyakan perihal itu. “Ayah, sebenarnya ada apa?” tanyanya sekali lagi dengan suara yang begitu lirih.
“Gayatri, Wijaya menyukaimu. Dia ingin menikahimu. Sampai kapan pun, Ayah tidak akan merestui itu. Walaupun, Ayah juga tahu kalau kamu menyimpan hati untuk pria itu. Ayah minta kamu masuk ke kamar,” katanya sembari menunduk.
Gayatri masih terdiam di sebelah ayahnya. Matanya melirik ke arah Wijaya. Dia merasa senang karena pria yang ia cintai memiliki rasa yang sama. Tapi, kenapa ada kendala di restu dari orang tua? Gayatri merasa tak enak hati dengan pria itu. Tak bergerak sama sekali dari tempatnya, membuat Prabu Tengker merasa kesal dengannya. Menyuruh Gayatri untuk segera pergi dari ruangan itu. Bahkan, dia terlihat begitu marah, sebab Gayatri yang tak kunjung menuruti perintahnya.
“Kang Mas, tolong jangan marah-marah, ingat darah tinggi,” katanya.
“DIAM KAMU!” teriaknya.
“Prabu, benar apa yang dikatakan Dewi. Kalau pun kamu menolak lamaran Wijaya, bisa dikatakan dengan baik-baik. Tidak perlu dengan adanya emosi seperti ini. Kedatangan kami secara baik-baik, kalaupun ditolak, kami juga ingin ditolak secara baik-baik, terima kasih atas jamuannya. Kami permisi kembali terlebih dahulu,” kata raja sembari mengajak Wijaya dan beberapa prajurit keluar dari rumah kayu itu.
Malam ini, Wijaya semakin tidak bisa tenang. Bukan memikirkan rasa malu karena ditolak lamarannya. Tapi, Wijaya memikirkan cara agar bisa melupakan gadis itu. Ya, memang sebuah kata ikhlas membutuhkan waktu yang cukup lama. Mungkin, memang sudah jalannya seperti ini. Wijaya harus belajar untuk mengikhlaskan gadis itu.
“Tidak apa, Jaya, yang penting sudah berusaha untuk mengungkapkan rasa itu. Sekarang, lebih baik pikirkan untuk kemajuan kerajaan. Hak itu jauh lebih penting daripada memikirkan cinta.”
Empat hari kemudian, tepatnya hari Sabtu. Wijaya telah bersama beberapa pemuda di halaman belakang kerajaan. Mereka akan berlatih kuda bersama prajurit yang sudah ditugaskan oleh raja. “Baik, sebelum kita berlatih, sebaiknya kita berdoa terlebih dahulu. Semoga, kita diberi keselamatan dalam satu hari ini,” kata Wijaya sembari tersenyum. Sebuah senyuman yang dipaksa. Senyuman yang dibalut luka terperih di hatinya.
“Siap,” jawab mereka dengan kompak.
Mereka memulai untuk berlatih kuda. Karena adanya kuda yang terbatas, akhirnya mereka bergilir untuk berlatih. Walaupun begitu, tidak menyurutkan semangat untuk bermain kuda. Menurut Wijaya, para pemuda berhak untuk bisa mengendarai kuda. Sebab, saat inilah kuda sebagai alat transportasi yang digunakan di area kerajaan. Benar-benar masih tradisional, belum tersentuh dengan alat-alat canggih yang lebih efisien.
“Jaya, kamu dulu saja,” kata salah satu dari mereka.
Berkuda adalah salah satu kegiatan baru baginya. Entah apa yang akan terjadi, dalam hatinya yang masih perih kini bertambah miris. Jantungnya berpacu cepat, masih berasa kaget dengan jalannya kuda. Bahkan, dia masih tidak mengerti cara mengendalikan kuda. “Jangan terlalu dipacu untuk berjalan cepat,” kata prajurit yang menjaganya.
Tak terasa, kegiatan itu telah selesai beberapa menit yang lalu. Kini, Wijaya sedang menikmati air putih yang disediakan pihak kerajaan. Wijaya merasa beruntung mendapatkan wilayah dengan pemimpin yang dermawan dan memiliki jiwa pemimpin yang baik. Entah apa yang akan terjadi, jika Wijaya terjebak di kerajaan lain. Mungkin, dia akan diperlakukan dengan buruk.
“Terima kasih atas semua dukungan dari Baginda Raja untuk saya,” ujar Wijaya sebelum berpamitan dengan Raja Purnama.
“Berapa kali kamu mau mengucapkan terima kasih? Pulang lalu istirahat. Sakit hati boleh, tapi jangan berlarut,” jawabnya, “saya tahu dengan senyummu yang palsu itu. Senyuman dibalik rasa sakit akibat luka dalam hati, memang itu tidak enak. Tapi, terus bangkit untuk berjuang kembali, perempuan tidak hanya Gayatri saja,” sambungnya sembari menepuk bahu Wijaya. Setelah itu, raja melangkah pergi untuk menemui seseorang yang bertamu ke kerajaan.
Di pertengahan jalan, Wijaya bertemu dengan Gayatri yang sedang mencari kayu bakar. Gadis itu menatap Wijaya dengan tatapan yang begitu manis. Tapi, Wijaya yang sedang berjuang untuk menata hatinya kembali pun hanya melenggang pergi, tanpa menggubris gadis itu. “Wijaya,” panggilnya. Tapi, pria yang dipanggilnya itu tidak meliriknya sama sekali.
Gayatri pun melanjutkan untuk mengumpulkan kayu bakar. Dia mengerti dengan sikap Wijaya yang tidak seperti biasa. Memahami rasa sakit yang ada di dalam hati pria itu. Sadar siri jika keluarganya yang telah membuatnya berubah. Tapi, Gayatri merasa sedikit kecewa dengan pria itu. Kenapa Wijaya tidak berjuang lagi untuk mendapatkannya?
Sebuah rasa yang begitu menyakitkan. Ternyata, bukan hanya utang saja yang menyebabkan terputusnya silaturahmi. Tapi, sebuah rasa dalam hati yang tidak mendapatkan restu pun membuat hubungan yang baik-baik saja menjadi berubah. Kini, Gayatri pun merasakan rasa sakit yang sama dengan pria itu. Sebuah rasa cinta yang tak bisa bersama karena terhalang restu orang tua.
“Maaf, saya tidak sengaja,” kata Wijaya ketika mereka bertemu di halaman rumah sepetak hunian Wijaya. “Saya .... “
“Wijaya, apa kamu akan menyerah begitu saja? Saya tahu, kamu bisa tersenyum seperti itu, tapi di hatimu begitu merasakan luka. Begitu juga dengan saya. Apa yang dikatakan Ayah waktu itu, memang benar. Saya pun menaruh hati dengan kamu. Sekarang, saya kecewa dengan kamu yang tidak ingin berjuang lagi untuk mendapatkan restu dari Ayah.”
“Kalau saya berjuang pun, Ayah tidak akan suka dengan saya. Dasarnya, beliau memang tidak terlalu suka dengan saya, Gayatri. Saya tanya sama kamu, dengan apa saya bisa mendapatkan hati Ayah kamu?” tanya Wijaya tanpa memandang wajah gadis itu.
“Kamu bisa mencoba untuk mengambil hati Ayah, kan?” jawabnya dengan menggampangkan. Padahal, mengambil hati seseorang yang telah memiliki karakter keras kepala tidak semudah yang dikatakan oleh Gayatri. Bahkan, bisa saja dengan mengorbankan nyawa, pun tidak akan membuat Prabu Tengker membuka hatinya untuk menerima Gayatri.
“Memang, apa yang bisa saya lakukan?”
“Wijaya, batu saja bisa terkikis dengan air yang terus jatuh di atasnya. Sekeras-kerasnya sikap Ayah, pasti akan luluh dengan sikap yang baik dari kamu. Saya berharap, kamu mau untuk berjuang mendekati Ayah. Tapi, kalau memang kamu tidak serius dengan saya, saya tidak akan memaksa itu. Saya pamit terlebih dahulu,” katanya sembari membawa kayu bakarnya masuk ke rumah.
Wijaya sendiri tidak tahu dengan hatinya. Melangkah lebih jauh pun rasanya ragu, apalagi untuk mundur. Menyerah begitu saja, hal itu bukanlah sikap yang dewasa. Tapi, berjuang kembali pun, masih ragu dengan balasan dari Prabu Tengker.
“Kenapa harus serumit ini, Tuhan?” lirihnya sembari melemparkan kerikil ke sembarang arah. Pikirannya sedang tidak baik-baik saja, membutuhkan sandaran, tapi tidak tahu pada siapa.
Hari demi hari telah dilewati. Rasanya semakin sakit kala melihat Gayatri semakin terlihat menjauh darinya. Lalu, apa dia harus berjuang kembali?
“Wijaya, apa kamu memang serius dengan Gayatri?” tanya Tunggadewi saat bertemu di sungai. Beberapa hari ini, Gayatri tidak lagi pergi ke sungai untuk mencuci pakaian. “Apa yang membuat kamu tertarik dengan anak saya?” sambungnya.
“Saya mencintai Gayatri dengan tulus. Tidak ada maksud terselubung dari sebuah rasa itu. Tapi, kalau memang tidak ada restu, saya bisa apa?” jawabnya sembari mengambil air.
“Wijaya, kalau Tuhan merestui, semuanya bisa saja terjadi, termasuk dengan bersatunya kalian. Saya harap, kalian bisa berjuang bersama-sama untuk mendapatkan hati dari Ayah,” katanya berlalu membawa keranjang rotannya.
Semua yang ada di dalam hatinya selalu dibuat tidak jelas. Dibuat semakin terombang-ambing dengan segala rasa resah, kecewa, luka, dan bahagia. Semakin bingung dengan perasaannya sendiri, Wijaya memilih untuk tetap tenang dan selalu meminta pada Tuhan. Biarkan saja Tuhan yang mengatur kisah asmaranya. Apabila memang Gayatri jodohnya, nantinya juga bakal bertemu.
Baru saja Wijaya masuk ke dapur. Tiba-tiba ada keramaian yang tak terduga. Banyak prajurit kerajaan sebelah yang berdatangan membawa senjata. Wijaya keluar dari rumah. Bergabung dengan Raja Purnama dan seluruh anggota perangnya. Mempertahankan kerajaan agar tetap berada di bawah kekuasaan Raja Purnama.
“MAJU!” teriak Raja Purnama yang sedang menghadapi raja dari kerajaan musuh.
Mereka fokus dengan lawan perang masing-masing. Berjuang untuk memenangkan perang. Semangat yang membara sampai tak sengaja mempertemukan Wijaya dengan Prabu Tengker. Pria yang beberapa hari tidak pernah saling bertegur sapa. Tapi, kali ini mereka berusaha agar bisa bersikap profesional demi kemenangan.
Saling beradu senjata sampai menimbulkan beberapa anggota yang saling tumbang. Darah-darah banyak berceceran di tanah. Termasuk Wijaya yang terkena senjata milik lawan. Tergeletak di tanah dengan keadaan yang kehilangan banyak darah.
“WIJAYA!” teriak Raja Purnama yang meninggalkan lawannya. Berlari menghampiri Wijaya yang nyaris terinjak oleh para prajurit perang. Seketika, anggota prajurit lawan memilih meninggalkan tempat. Persis dengan seorang yang tidak bertanggung jawab.
“Wijaya, kedua kalinya kamu terjatuh saat perang. Apa karena kamu lagi tidak baik-baik saja?” tanyanya.
“Baginda Raja, kalau saya kenapa-kenapa saya mau minta tolong untuk sampaikan maaf ke Gayatri karena belum bisa berjuang lebih banyak lagi,” jawabnya yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang diajukan.
Wijaya memejamkan matanya karena merasakan ngilu dan nyeri hebat di tubuhnya. Apalagi, bagian perutnya yang terkena keris. Raja Purnama secara spontan memanggil prajuritnya untuk membawa Wijaya ke kerajaan. Menggunakan obat yang seadanya, Wijaya harus segera ditangani.
“Baginda raja, bagaimana dengan Wijaya?” tanya Prabu Tengker dengan paniknya.
“Prabu, dia sedang ditangani. Kenapa Anda menjadi peduli?”
“Saya hanya cemas. Walaupun saya tidak begitu menyukainya, tapi saya masih memiliki rasa kemanusiaan. Apalagi, dia terjatuh saat mempertahankan nama naik kerajaan, mempertahankan wilayah kerajaan,” jawabnya, “sekali lagi, Baginda, saya masih memiliki rasa empati,” sambungnya.
“Lebih baik Anda .... “