Terjebak Suasana

1166 Kata
Wijaya berjongkok di tengah-tengah perempuan. Menjelaskan tentang angka dan operasi bilangan dasar. Beruntung, gadis-gadis itu cepat tanggap ketika diajarkan untuk menghafal tentang angka. Kini, Wijaya dengan perlahan mengajarkan operasi tambah dan kurang. Ada beberapa gadis yang kurang mengerti dengan tujuan Wijaya mengajarkan materi ini. “Wijaya, kenapa kita harus belajar tentang angka. Kenapa laki-laki tidak?” tanya salah satu perempuan yang rambut panjangnya digelung serta memakai kebaya cokelat tua. “Bukan, begitu. Mereka nantinya juga akan belajar hal ini. Tapi, tidak untuk saat ini. Mereka harus mempersiapkan untuk perang, nanti. Sedangkan, kalian harus belajar hal ini agar tidak mudah dimanipulasi oleh musuh. Jadi, kalian tidak mudah tertipu. Kemudian, suatu saat nanti kalian menjadi seorang ibu. Seorang ibu yang akan memberikan generasi cerdas dan pintar. Sebab, kecerdasan seseorang itu kemungkinan terbesarnya berasal dari ibu.” Wijaya melanjutkan menuliskan beberapa soal untuk dikerjakan. “Hari ini, saya berharap kalian bisa mengerti dan paham akan materi ini. Saya tidak tahu, apakah besok masih bisa berbagi ilmu atau tidak,” sambung Wijaya setelah selesai menuliskan soal di tanah. “Terima kasih, Jaya. Semoga ilmu kamu jauh lebih bermanfaat,” sahut Gayatri sembari berdiri menatap Wijaya. “Kami berharap, kamu bisa membangkitkan kami dari kebodohan,” sambung Gayatri dengan kepala menunduk. “Bangkit itu bukan dari diri saya atau orang lain. Tapi, untuk bangkit dan maju itu dari pribadi kalian masing-masing. Sekarang, pilihannya ada pada diri kalian. Apakah mau melanjutkan mencari ilmu atau tidak?” jawab Wijaya menatap satu persatu wajah gadis-gadis yang sibuk mengerjakan soal darinya. “Percayalah, ketika kalian mau untuk bangkit dan terus belajar, akan ada cahaya terang di depan sana ... masa depan,” sambungnya tersenyum manis. “Wijaya, kita hanya belajar tentang angka saja?” tanya salah satu gadis yang duduk di paling belakang. “Tentu saja tidak, lain waktu akan belajar hal lain lagi. Tapi, sabar, ya. Jangan lupa angka-angka dan cara berhitungnya diingat terus,” kata Wijaya berlalu. Melangkahkan kaki untuk mendampingi pemuda-pemuda yang sedang berdiskusi. Lebih tepatnya, mereka kurang setuju dengan pendapat Wijaya. Tepat ketika Wijaya berdiri di sana, Raja yang menjadi pemimpin wilayah itu pun datang dengan didampingi beberapa prajurit. “Wijaya, bagaimana?” tanyanya. “Saya sudah menyampaikan apa yang saya tahu, Baginda. Tapi, untuk dasar-dasar perang saya tidak begitu mengerti. Mungkin, bisa meminta bantuan dari pihak prajurit kerajaan untuk membimbing mereka.” “Baik, untuk hari ini cukup sekian saja. Mungkin, kalau ada yang ingin ditanyakan?” ujarnya menatap pemuda dan pemudi yang masih terlihat semangat berdiri. Padahal, sinar mentari telah berada di atas kepala manusia. “Baginda, sebelumnya saya mau meminta maaf. Saya tidak setuju dengan pendapat Wijaya. Bagaimana bisa perempuan mendapatkan kebebasan. Bukankah pada dasarnya seorang perempuan itu hanya berada di rumah dan mengerjakan pekerjaannya? Lantas, kenapa sekarang mereka turut serta di tempat ini?” tanya seorang pemuda yang memiliki rambut ikal. “Pertanyaan yang mewakili semuanya. Saya akan menjelaskan, saya setuju dengan gagasan dari Wijaya. Sebab, sudah seharusnya kerajaan melakukan perubahan. Agar bisa lebih berkembang, bahkan maju. Salah satu caranya adalah dengan adanya ilmu dan pemikiran yang lebih maju. Kalau tidak dimulai dari kita saat ini, lalu siapa yang akan melakukan hal ini? Apakah harus menunggu cucu moyang dulu? Selain itu, dengan rakyat yang berilmu, otomatis semua aspek kehidupan akan lebih maju. Dengan begitu, kerajaan pun akan jauh lebih maju. Serta tidak goyah, ketika ada badai datang secara mendadak. Kalau masih mau latihan silakan, saya tinggal,” jawabnya diakhiri dengan sebuah senyuman yang terlihat begitu manis. Pertama kalinya bagi rakyat kerajaan melihat sang raja tersenyum ceria. Mungkin, dengan kehadiran Wijaya akan menjadikan kerajaan jauh lebih baik dan kondusif. Wijaya membebaskan kepada mereka untuk berbuat sesuka hati. Tapi, tetap harus menjaga pikiran yang sudah mulai berubah. Selain itu, tujuannya adanya perubahan pola pikir agar tidak mudah terpengaruh oleh musuh. Sebuah perang akan ada kalah dan menang, tapi jauh lebih terhormat jika kalah, akan tetapi membawa nama tetap baik. Jangan sampai dengan adanya perang menjadikan perpecahan yang lebih besar lagi di dalam satu wilayah kerajaan. Beberapa waktu kemudian, Wijaya bersama Gayatri pergi dari kerajaan setelah berpamitan kepada baginda raja. Mereka kembali ke rumah sebelum petang tiba. Takut jika Prabu Tengker akan menjadikan Wijaya sebagai mangsanya juga. Sebab, keras kepalanya masih saja belum melunak. Bahkan, masih saja ada rasa tak suka terhadap Wijaya. “Wijaya, terima kasih atas semua ilmu yang kamu bagikan untuk kami,” ujarnya sebelum berlalu masuk ke rumah kayunya. Baru saja kaki Wijaya akan melangkah masuk ke rumah. Tapi, Prabu Tengker telah mencekal lengan kanannya. “Ada beberapa yang akan saya sampaikan,” katanya dengan tatapan mata yang begitu tajam. Wijaya hanya bisa tersenyum sembari mengangguk. “Silakan Baginda Prabu.” “Jangan pernah terjebak rasa dengan Gayatri. Saya tidak ingin putri saya dirusak oleh laki-laki. Apalagi kamu,” katanya dengan suara yang begitu terdengar sadis. Setelah kepergian Prabu Tengker dari hadapannya, Wijaya pergi ke sungai untuk mencari ikan dan membersihkan diri. Begitu tenang ketika dirinya menjeburkan diri ke dalam air. Menenangkan pikiran yang sebenarnya belum tertata rapi. Apalagi, hatinya yang menahan rindu dengan ibunya, tapi tidak tahu bagaimana cara untuk kembali ke dunianya. Belum lagi, hatinya yang rapuh terlebih dahulu, sebelum berhasil mendekati Gayatri. Wijaya kembali ke permukaan air. Mengganti pakaiannya di balik batu besar yang ada di sungai. Kemudian, melanjutkan kembali ke rumah. Membawa beberapa ikan hasil tambaknya. Duduk di depan tungku kayu sembari membakar ikan. “Alhamdulillah, bisa makan, walaupun hanya ikan saja. Segala sesuatunya memang patut untuk disyukuri.” Wijaya beranjak duduk di bangku panjang. Menikmati ikan bakarnya dengan air putih dari teko. Terdengar suara ketukan pintu dari depan. Tapi, siapa yang datang kala waktu magrib seperti saat ini? Wijaya melangkahkan kaki untuk membukakan pintu. Ternyata, ada seseorang yang tengah tersenyum manis membawa satu piring berisi ketela rebus. “Jaya, ini ada sedikit umbi untuk makan malam dari Bunda,” katanya. “Terima kasih, ya,” jawab Wijaya menerima piring dari anyaman rotan itu. Tidak lama kemudian, Wijaya kembali menikmati makan malamnya seorang diri. Tiba-tiba saja pikirannya terganggu dengan sebuah rasa yang terus membelenggu. Rasa cintanya kepada Gayatri yang begitu anggun, walaupun terlihat polos. “Duh, Gayatri, kenapa kamu menjadi kembang desa di sini. Jujur, sejak pertama bertemu, saya mencintaimu. Tapi, saya sadar diri. Tidak pantas untuk dirimu. Biar saja rasa ini aku ramu seorang diri. Biar saja terus terjebak dalam suasana yang selalu membuatku berbunga-bunga. Tenang saja, rasa ini akan selalu aku simpan dalam relung hatiku. Biar nanti Tuhan yang menyatukan kita. Restu dari orang tuamu, akan kalah dengan restu Tuhan, nantinya. Aku hanya perlu bersabar dan terus berdoa. Sebab, pada hakikatnya cinta dalam diam itu hanya bisa melihatkan Tuhan di dalamnya.” Wijaya menepuk dahinya tiga kali. Merasa telah terlalu jauh berimajinasi dan berbicara sendiri, selayaknya orang yang mengalami gangguan dalam kejiwaan. “Dasar, kenapa sih harus menjadi laki-laki yang bu-cin!” teriaknya lalu menyeduh air putihnya. Matanya menatap kecewa dengan ikan bakar yang telah habis. Padahal, perutnya masih terasa lapar. Akhirnya, Wijaya menyantap ketela rebus dari Gayatri. Setidaknya, malam ini dia bisa tidur nyenyak, tanpa memikirkan perut yang keroncongan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN