"Wijaya!” teriak seorang pria yang datang ke rumahnya. Bahkan, tanpa ada kata permisi, dengan lantangnya memanggil disertai menggedor pintu. Wijaya membuka pintu, menemui pria itu.
“Biasakan untuk memiliki sopan santun,” kata Wijaya menatap pria yang sedang menghadap membelakangi Wijaya. “Ada perlu apa, Anda ke sini?”
“Ajari saya berhitung dan ilmu lainnya. Saya tidak mau kalah dengan perempuan yang mulai bangkit dan membuka mata tentang pentingnya sebuah ilmu.” Pria itu membalikkan badan.
Wijaya menghampirinya. Menepuk bahunya sekali. Mengajak pria itu untuk duduk di bangku panjang depan rumah. “Apa kamu sudah paham dengan apa yang katakan hari kemarin?” tanya Wijaya.
“Sudah, saya percaya dengan perkataanmu. Baginda Raja telah membuka mata saya untuk bisa menatap masa depan. Dunia akan selalu berkembang dan semakin mengeluarkan alat-alat canggih disertai dengan pembaharuan yang tidak akan berhenti. Begitu pula dengan manusia yang seharusnya bisa mengubah diri menjadi lebih baik lagi. Salah satunya, ya, dengan mempelajari ilmu.”
“Bagus, saya menyukai pemuda yang memiliki pemikiran cerdas. Sekarang, ikut saya,” kata Wijaya keluar dari teras rumah. Mengajak pria itu duduk di kayu panjang yang ada di halaman. Mengajarkan angka beserta operasi hitung dasar seperti apa yang telah diberikan kepada gadis-gadis, kemarin.
Hanya butuh waktu satu jam, pemuda bernama Kandu telah memahaminya. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka memiliki otak yang cerdas. Hanya saja, masih awam akan ilmu. Sesuatu yang masih tabu dan banyak penentangan dari pihak orang tua. Beruntung, kehadiran Wijaya memberikan dampak baik bagi masyarakat. Salah satunya, membuka mata warga akan pentingnya sebuah ilmu untuk menjalani masa depan.
“Oh iya, jangan pernah meninggalkan kebudayaan yang ada. Apalagi, berbuat seperti tadi. Hak itu bukan sebuah adab dari bertamu.”
Kandu mengangguk lalu pamit pergi. Setelah itu, Wijaya berjalan untuk mencari sang pujaan hati. Dia yakin, Gayatri sedang mencuci pakaian di sungai. Benar apa yang diduga. Gadis itu tengah berdiri di kelilingi air yang mengalir sedikit deras. “Perlu bantuan?” kata Wijaya berdiri di belakang Gayatri.
“Eh,” lirihnya membalikkan badan.
“Kaget, ya?” goda Wijaya dengan senyum manis.
Gayatri tidak menjawab. Kembali fokus dengan pakaian yang masih belum selesai dicuci. Tapi, terlihat senyum tipis yang muncul dari bibirnya. Wijaya pun bisa melihat betapa tersipu darinya yang berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya dengan menunduk.
“Kenapa tidak mau menatap saya?” tanya Wijaya berjalan untuk menyejajarkan kaki dengan gadis itu. Tapi, Gayatri tidak menjawab ataupun menatapnya. Wijaya melangkah ke arah kanan. Mengambil wadah yang terbuat dari anyaman rotan. Entah milik siapa.
Kemudian, mencari bambu yang runcing di tepi sungai. Kakinya menyusuri sungai untuk menombak ikan di sungai. Sebuah makanan yang akan dikonsumsi untuk makan siang, nanti.
“Kamu mau ikannya?” tanya Wijaya memperlihatkan hasil menombak yang masih ada di bambu.
“Enggak, buat Akang, saja,” jawabnya. Sebutan yang disematkan membuat Wijaya semakin berbunga-bunga. Tidak seperti biasanya, apakah Gayatri sudah mulai membuka hati untuknya?
Beberapa waktu kemudian, Gayatri pergi membawa keranjang rotan. Tanpa mengucapkan pamit kepada Wijaya yang sedang mencari ikan. “Ternyata buaya itu tidak hanya laki-laki saja,” ujarnya sembari menepi ke daratan.
Sekitar pukul setengah dua siang, Wijaya telah siap untuk mengolah ikan. Tapi, ternyata ada sebuah panggilan dari prajurit kerajaan. Wijaya harus segera menghadap ke Baginda Raja. Terpaksa, Wijaya harus menahan rasa lapar demi mengabdi kepada Kerajaan.
“Mohon maaf, Baginda, ada apa Anda memanggil saya?”
Tiba-tiba perutnya yang telah kosong pun berbunyi nyaring. Benar-benar membuatnya malu di hadapan Raja. Wijaya hanya bisa tersenyum sembari memegangi perutnya.
“Kamu belum makan?” tanyanya.
Wijaya mengangguk. Tidak lama kemudian, ada beberapa prajurit yang membawakan minuman untuknya. Tidak hanya itu, ada beberapa makanan yang sudah disiapkan hanya dalam waktu sekejap. Raja mempersilakan Wijaya untuk ikut serta dengannya makan siang. Suatu kebanggaan tersendiri bagi Wijaya.
“Raja, mohon maaf, di luar ada beberapa orang yang memaksa untuk bertemu,” kata salah satu prajurit yang ditugaskan untuk menjaga keamanan bagian depan kerajaan.
Makanan yang baru dinikmati satu sendok pun terpaksa harus ditinggalkan terlebih dahulu. Raja yang selalu mengayomi warganya pun bergegas untuk menemui orang itu. Wijaya yang penasaran pun ikut untuk keluar dari ruangan itu. Padahal, dia tahu hal itu tidak sopan. Tapi, tetap saja kakinya memaksakan untuk ikut melangkah.
“Baginda Raja, saya tidak akan ikut maju dalam perang, jika harus mempelajari ilmu yang sama sekali tidak sesuai dengan skill berperang,” ujarnya.
“Lalu menurutmu harus bagaimana?” tanya raja menatap ke arah pemuda itu. Kedua tangannya pun dilipat rapi. Pemikiran raja yang memang sepaham dengan Wijaya, tidak akan bisa diubah begitu saja.
“Menurut saya, lebih utama adalah belajar cara menggunakan senjata yang benar. Belajar untuk menghadapi musuh dengan benar. Bukan malah belajar angka dan dijelaskan untuk mengubah pola pikir. Untungnya apa?”
“Kamu tahu, di saat kita maju perang, kita tidak tahu apa yang bakal terjadi. Kemajuan dalam pola pikir, menurut saya jauh lebih penting. Sebab, dengan pemikiran yang baik secara tidak langsung akan membantu dalam situasi yang tidak terduga. Lalu, cara menggunakan senjata yang benar, itu akan dipelajari. Ada waktunya sendiri. Belajar tentang angka, itu juga perlu agar tidak ada lagi kerugian akibat kekurangan orang yang tidak bisa berhitung. Harga senjata itu mahal, kalau kita tidak bisa berhitung, kita bisa saja dijerumuskan oleh penjualnya.”
“Tapi .... “
“Kamu kalau memang tidak mau untuk ikut membela kerajaan juga tidak masalah. Tapi, saya tidak akan mengubah apa yang sudah berjalan. Selain bisa menguntungkan kerajaan, ilmu yang diberikan oleh Wijaya juga bermanfaat untuk masyarakat.”
Pria itu hanya terdiam. Pergi meninggalkan wilayah kerajaan. Entah bagaimana perasaannya. Tidak lama kemudian, Wijaya dan raja pun kembali ke ruang makan. Menikmati makanan yang telah tersaji. Bahkan, sudah mendingin karena sempat ditinggalkan. Ibaratkan, seorang wanita yang memilih pergi karena didiamkan oleh seseorang yang dicintainya. Jadi, jangan pernah sesekali menyalahkan wanita ketika telah bersikap dingin. Sebab, dalam menjalani kehidupan itu sebenarnya hanya sederhana. Tergantung bagaimana kita memperlakukan seseorang.
“Wijaya, saya harap kamu tetap melanjutkan untuk berbagi ilmu dengan pemuda-pemudi. Kamu itu seorang pemuda yang memiliki segudang ilmu. Umat yang beruntung memiliki hal itu, di saat orang lain masih terbayang-bayang kebiasaan lama.”
“Saya akan tetap berbagi, selama mereka masih mau untuk menerima ilmu dari saya. Baginda Raja hanya perlu memberikan dukungan kepada saya, agar warga masih percaya dengan saya, sehingga kegiatan-kegiatan positif dapat berjalan lancar.” Wijaya menghabiskan air putih yang ada di gelasnya.
Beberapa menit kemudian, Wijaya bersama dengan baginda raja duduk di sebuah ruangan yang bersifat rahasia. Mereka hanya berdua di dalamnya. Membicarakan sesuatu yang akan menjadi sebuah rahasia sampai waktu yang tepat akan diumumkan kepada warga. “Maaf, Baginda Raja, saya merasa tidak pantas untuk duduk di kursi ini. Apalagi, kursi ini selama ini diduduki oleh .... “
“Prabu Tengker tetap akan menjadi orang kepercayaan saya. Tapi, untuk saat ini saya membutuhkan seseorang yang memiliki pemikiran yang lebih maju, yaitu kamu.”
“Saya tidak enak hati, Baginda Raja,” jawab Wijaya. Tak terasa, raja yang terkenal ramah itu merangkul Wijaya agar segera duduk di kursi yang sudah ada di ruangan itu.
“Tenang saja. Kita mulai membahas sesuatu yang perlu untuk didiskusikan, ya.”
Banyak hal yang mereka bahas di meja itu. Menyangkut perkiraan musuh akan menyerang kerajaan. Selain itu, ada banyak hal yang harus segera untuk dituntaskan. Salah satunya, kemampuan pemuda dan prajurit dalam mempertahankan dan melindungi diri dari serangan musuh. Sang raja pun menginginkan agar Wijaya segera membuat tembusan baru untuk memperkuat persatuan. Secara tidak langsung, dia dipercaya untuk memimpin perang nantinya.
“Saya akan melakukan yang terbaik untuk kerajaan. Terima kasih atas kepercayaannya untuk saya,” kata Wijaya untuk mengakhiri diskusi.
Wijaya pamit untuk kembali. Menempuh jalan terjal untuk sampai ke tempat huninya. Sebuah rasa lelah yang disambut dengan kekesalan. Matanya merasa kesal kala melihat ikan di dalam keranjang telah dikelilingi semut merah. Terpaksa, ikan yang dicari dengan penuh perjuangan harus dibuang, karena tidak layak untuk dikonsumsi.
Bertemu dengan Tunggadewi yang sedang membuang sampah di belakang rumah. “Wijaya tunggu sebentar, ya,” ucapnya berlalu masuk ke dapurnya. Tidak lama, dia kembali dengan membawa satu piring dari tanah liat yang dilapisi daun pisang, di atasnya ada ikan yang telah dimasak. Terlihat menggoda untuk makan malamnya nanti.
Wijaya mengucapkan terima kasih lalu bergegas menyimpan makanannya. Kemudian, kembali pergi untuk mencari kayu bakar. Tapi, baru saja melangkah dari pintu, Gayatri memanggilnya tiga kali.
“Ada apa, Gayatri?” tanya Wijaya tanpa menatap gadis itu.
“Wijaya, ajarkan ke saya ilmu baru. Saya juga ingin menjadi perempuan yang pintar, sesuai dengan kata-kata kamu beberapa waktu lalu. Saya juga ingin kelak memiliki keturunan yang cerdas, jadi sekarang saya harus belajar banyak hal,” katanya dengan suara yang terdengar canggung. Bahkan, kepalanya saja menunduk. Kenapa perempuan suka sekali menunduk untuk menyembunyikan rasa malunya? Batin Wijaya yang belum juga menghadap ke arah Gayatri.
“Oke, tapi saya mau mencari kayu bakar terlebih dahulu,” jawab Wijaya melangkah ke depan.
“Saya ikut,” timpalnya mengikuti di belakang Wijaya.
Melangkahkan kaki untuk menelusuri tepi hutan. Mengambil ranting-ranting yang berjatuhan di tanah. Dikumpulkan satu persatu sampai terkumpul banyak. Mengangkatnya untuk dipanggul di bahu Wijaya. Walaupun berat, tapi lebih berat ketika Wijaya harus tidur dalam keadaan gelap.
“Wijaya, kenapa dari tadi diam saja?”
“Karena saya lagi tidak memiliki topik untuk berbicara. Kamu kenapa mengikuti saya sampai rela menelusuri hutan?”
“Karena saya ingin ikut saja. Saya merasa bosan di rumah saja. Kalau sekiranya saya hanya mengganggu ... saya minta maaf,” jawabnya. Lagi-lagi, Gayatri menunduk.
“Kenapa, sih, suka banget menunduk?”
“Karena kita harus bisa menundukkan pandangan. Apalagi, kita bukan mahram,” jawab Gayatri dengan suara yang lirih.
“Kalau begitu .... “