Belakang Gedung

1152 Kata
Wijaya menunduk mengambil sebuah benda yang melilit di kakinya. Rumput panjang yang telah kering itu melingkar di kakinya. Beruntung, bukan ular atau sejenisnya. Wijaya mengelus d**a lalu melanjutkan tidurnya. Keesokan harinya, Wijaya bertemu dengan raja. Sesuai dengan panggilan, Wijaya tengah duduk di sebuah ruangan di kerajaan. Sebuah ruangan yang memang digunakan untuk mengadakan pertemuan dengan orang penting. Kehadiran Wijaya terlihat begitu disambut dengan baik. Terlihat dengan ruangan yang telah dibersihkan dan dirapikan, serta jamuan yang tidak memandang latar belakang hidup Wijaya. Jamuannya, tetap sama dengan para raja yang pernah singgah di kerajaan. . “Wijaya, kemungkinan besar musuh akan datang dalam beberapa hari lagi. Saya tidak tahu akan datang pada hari apa. Saya mengundang kamu untuk membahas langkah awal yang harus kita siapkan. Kemarin, kamu mengatakan untuk mengumpulkan para pemuda dan pemudi guna adanya penyuluhan tentang pola pikir, lantas sekarang harus bagaimana?” “Begini Baginda Raja, apakah di daerah kerajaan ada salah satu ruang yang longgar dan bisa menampung banyak jiwa? Menurut saya, lebih nyaman berkumpul di wilayah kerajaan, agar keamanan bisa terjaga dengan kuat. Kalau ada, bisakah saya gunakan tempat itu?” tanya Wijaya membuang napas. “Nantinya, biarkan saya yang memberikan penjelasan kepada mereka, tapi saya juga minta bantuan dari Baginda untuk mengumpulkan mereka, nantinya,” sambungnya dengan mantap. “Maaf, Baginda, saya akan menyampaikan pendapat saya, di belakang sana bisa digunakan. Menurut saya lebih aman dari mata-mata yang selalu berusaha untuk menguntit informasi. Tapi, tetap saja beberapa prajurit harus dikerahkan ketika acara berlangsung.” Prajurit yang berdiri di ambang pintu itu membungkuk untuk menghormati raja setelah selesai menyampaikan pendapatnya. “Nah benar, kita gunakan saja tempat itu. Lalu, apa yang dibutuhkan untuk itu Wijaya?” tanyanya. “Cukup tempat yang aman dan nyaman saja, Baginda,” jawab Wijaya tersenyum manis. Beberapa saat kemudian, Wijaya telah kembali ke rumah. Duduk di halaman rumah sembari menikmati secangkir teh hangat. Di temani ketela rebus yang diberi oleh Ibu Tunggadewi. Walaupun hanya makanan sederhana, tapi sangat nikmat. Sebab, ketela merupakan makanan murni dari alam yang belum tercemar oleh pestisida. “Wijaya, ketelanya mau lagi?” tanya Tunggadewi yang sedang mengambil pakaian dari jemuran. Tumben, bukan Gayatri yang mengerjakan tugas itu. Apakah ada masalah dengannya? “Tidak, Ibu. Masih ada, kok,” jawab Wijaya tersenyum ramah. Sekitar pukul dua siang, Prabu Tengker menggedor pintu rumah yang ditempati Wijaya beberapa waktu. Wijaya menghampirinya dengan menjaga sopan santunya. “Wijaya, kamu dipanggil Baginda Raja. Sekalian saya titip Gayatri dengan kamu,” katanya lalu meninggalkan teras rumah. Tidak lama kemudian, Wijaya bersama dengan Gayatri telah sampai di depan gerbang kerajaan. Melangkah masuk berdua bertemu Baginda Raja. “Wijaya, pemuda dan pemudi sudah siap. Mereka telah berkumpul di ujung sana,” katanya. Bergegas berjalan beriringan ke tempat yang dimaksud. Jangan heran, di belakang mereka tetap ada beberapa prajurit yang mengantarkan. Bahkan, mereka tetap berada di tempat yang sama. Tidak ada niatan untuk pergi, demi keamanan. Betapa terkejutnya, Wijaya menatap orang-orang seusianya yang duduk berjejer dengan rapi. Pemuda dan pemudi yang begitu bersemangat untuk mengikuti acara. Terutama bagi perempuan yang merasa dispesialkan di hari ini. Mereka akhirnya bisa keluar dari rumah dengan izin orang tuanya. “Terima kasih untuk teman semua yang hadir. Terutama, bagi kalian perempuan yang dengan perasaan senangnya hadir di tempat ini. Sebelumnya, saya ingin bertanya, bagaimana rasanya bisa keluar dari rumah dan meninggalkan pekerjaan rumah?” tanya Wijaya. Gayatri bangun dari duduknya. Mengangkat tangannya untuk mencari perhatian dari Wijaya. “Gayatri akan menjawab, Jaya. Menurut saya, hari ini begitu istimewa, sebab perempuan-perempuan akhirnya diberi ruang untuk bisa keluar dari dapur. Gayatri berharap hari ini akan ada sesuatu yang lebih baik dan perempuan bisa mendapatkan apa yang menjadi haknya, bukan hanya berterus-terusan mengerjakan kewajibannya saja,” ujarnya kemudian kembali duduk. “Saya akan menyampaikan beberapa hal demi keutuhan dan kejayaan kerajaan. Tapi, sebelumnya saya meminta ke kalian untuk tetap kondusif. Jangan ada perseteruan yang berlanjut sampai acara hari ini selesai. Sebaiknya, jika kita menginginkan adanya kemajuan, sudah seharusnya tidak ada lagi perang sesama saudara.” Wijaya mengambil bilah bambu yang ada tergeletak di sebelah kanannya berdiri. “Bilah bambu ini akan saya jadikan bahan perumpamaan yang pertama. Jadi, perhatikan dengan baik, apa yang akan saya perbuat terhadap bambu ini.” Wijaya melangkah mendekat ke salah satu pemuda yang duduk di paling kanan. Mengajaknya untuk berdiri. Kemudian, menyuruhnya untuk mematahkan bilah bambu menjadi dua bagian. “Nah, sudah patah, kan?” tanyanya. Seluruh orang yang ada di tempat itu pun mengangguk. “Apa bisa diperbaiki agar menjadi utuh kembali?” tanya Wijaya yang tidak mendapatkan respons oleh mereka. “Bisa saja disambung kembali. Caranya, dengan diikat pakai tali. Tapi, tidak akan sempurna lagi. Akan ada cacat yang melekat pada bambu ini. Logikanya, jika kalian saling berseteru satu sama lain, mungkin kerajaan akan tetap ada. Tapi, kejayaan yang didapatkan tidak akan sesempurna itu. Karena, pada dasarnya ada sebuah kecacatan terhadap hubungan antar warganya. Oleh karena itu, mari kita sudahi perseteruan itu. Fokus dengan kerajaan. Mengabdi ke kerajaan agar tetap bertahan dan semakin maju.” “Wijaya, lalu apa lagi yang harus dilakukan untuk menghadapi musuh nantinya? Mereka bisa saja sewaktu-waktu menyerang,” ujar salah satu pemuda yang duduk di barisan paling belakang. Seketika, dirinya menjadi pusat perhatian dari semua orang yang ada. “Tidak usah menatap seperti itu, saya bukan orang penting di sini,” sambungnya yang merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian. “Kamu penting di sini. Sebab, kamu pun akan ikut maju dalam perang mempertahankan kerajaan. Kalau kamu merasa tidak penting, silakan keluar,” timpal Wijaya mengambil batu kecil. “Maaf,” lirihnya. Wijaya membuang kembali kerikil yang ada di tangannya. Teringat bahwa kerikil itu belum berguna. Kemudian, Wijaya melanjutkan perkataannya. Dia memiliki saran untuk mengubah pola pikir mereka untuk menang dan bisa melawan tanpa ada yang tumbang dalam peperangan. “Wijaya, maksudnya bagaimana?” tanya salah satu pemuda yang dari awal memperhatikan perkataan Wijaya dengan serius dan fokus. “Apa yang harus kita lakukan?” “Gunakan akal kalian. Kemudian, kuasai setidaknya satu jurus pencak silat agar bisa melindungi diri sendiri.” Wijaya melangkah ke depan. Menatap beberapa pemuda yang terlihat gagah. Menghampiri salah satunya yang terlihat sedang melamun. “Kamu ini gagah, tapi suka sekali melamun. Coba kamu praktikkan satu jurus pencak silat yang kamu bisa. Saya yakin pasti bisa. Soalnya, kalian kan sering ikut dalam perang.” Pria itu tidak bergerak sama sekali. “Baiklah, kalian pelajari dan didalami. Bismillah, nantinya bisa melindungi diri sendiri. Kemudian, untuk perempuan silakan ikut dengan Gayatri. Saya minta tolong kepada Gayatri untuk mengajarkan angka.” Wijaya beranjak mengajak para pemuda untuk berlatih beberapa jurus yang ada di dalam pencak silat. Memberikan contoh terlebih dahulu, lalu diikuti oleh para pemuda. Setidaknya, salah satu jurus harus dikuasai. Tujuannya, agar bisa mengelabuhi musuh ketika perang, nantinya. Wijaya juga mengajari tata cara memainkan beberapa senjata perang yang bisa digunakan. “Silakan berlatih, saya akan melihat para gadis di sebelah sana,” kata Wijaya sembari tersenyum. Jarinya menunjuk ke arah kanan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN