Wijaya merasa tidak aman setelah mendengar kegaduhan yang ada. Suara-suara bising yang keluar dari mulut para prajurit. Gayatri yang menunduk berlindung mencari perlindungan. Gemetar dari dirinya begitu terlihat, padahal kejadian ini bukan hanya pertama kalinya yang ia lihat.
“Diam dulu, di sana sedang tidak baik-baik saja,” katanya menarik Wijaya yang hendak berdiri. Wijaya merasa penasaran dengan kejadian itu. Perlahan, melihat kedua kubu yang sedang saling hantam. Rasanya, seperti pecundang bukan mengikuti perang, malah mengumpet. “Jaya, jangan mencari petaka. Kamu mau ikut perang pun tidak akan tahu ijut di pihak siapa,” kata Gayatri dengan suara yang lirih.
“BERHENTI!” teriak seorang pria dengan pakaian jubah putih. Wijaya melihatnya sekilas, pria itu begitu berani menengahi kedua kubu yang sedang beradu perang. Pria itu membawa sebuah tasbih di tangan kanannya. Begitu mengagumkan.
Kedua belah pihak berhenti saling menyerang. Walaupun, tetap masih merasakan kesal. “Kalian berada di bawah naungan yang sama. Naungan Kerajaan Sriwijaya. Tapi, kenapa kalian masih saja beradu seperti saat ini? Peperangan saudara seperti ini yang akan merusak keutuhan dan kejayaan. Apa masalahnya?” tanyanya dengan tegas.
“Masalah besar tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan.”
“Masalah besar? Apa kalian tidak berpikir bahwa tanah kita sedang tidak baik-baik saja? Masih ada penyerangan dari kerajaan sebelah. Tapi, kalian malah sibuk perang saudara. Lantas, bagaimana bisa kita memenangkan peperangan yang jauh lebih besar demi kejayaan tanah kita?” jawabnya melangkah ke depan sebanyak lima kali. “Kembali dan tenangkan pikiran masing-masing.”
“Maaf, perang yang sudah dimulai tidak dengan semudah itu diakhiri,” timpal salah satu dari mereka sembari menyerang pasukan Prabu Tengker.
Pria yang mengenakan jubah putih itu menahan Prabu Tengker agar tidak melayani lawannya. “Dengan adanya perang saudara ini, bisa dipastikan kerajaan akan mundur terlebih dahulu sebelum berangkat peperangan. Sebab, pasukannya yang tidak bisa kompak dam bersatu. Ibarat kata, sapu lidi yang kehilangan talinya,” katanya sembari menatap kedua belah pihak secara bergantian. “BUBAR!”
Tidak lama kemudian, kedua pasukan telah pergi meninggalkan area hutan. Tersisa pria yang memakai jubah dan Prabu Tengker saja. Suatu kejadian yang tidak pernah dilihat oleh Wijaya. Sebuah suasana yang hanya sering dilihat melalui sebuah film kolosal saja.
“Kalian berbuat apa di sana?” tanyanya dengan suara yang lebih mengerikan.
“Gayatri, kamu berbuat apa di sana?” tanya Prabu Tengker yang menyadari putrinya yang sedang berada di semak-semak bersama seorang laki-laki. “Awas saja kamu berbuat aneh-aneh dengan putri saya,” lanjutnya meraih lengan putrinya agar menjauh dari Wijaya.
“Ayah, Gayatri dan Wijaya hanya bersembunyi untuk menghindari kejadian tadi. Benar yang dikatakan Paman tidak saatnya untuk bermusuhan dalam satu kerajaan. Memang, Ayah tidak merasakan betapa takutnya putrimu ketika melihat Ayah sedang berperang dengan saudara sendiri? Gayatri takut kehilangan Ayah,” lirihnya.
“Gayatri ... Maaf,” katanya sembari mengajak kembali putrinya. Wijaya berdiam diri di tempat. Merasa tidak enak hati terhadap Prabu Tengker. Tapi, dirinya memang tidak berbuat kesalahan terhadap Gayatri.
“Maaf, Paman, sebenarnya apa yang terjadi sampai ada sebuah perang saudara?” tanya Wijaya dengan sopan santunnya. Walaupun, dirinya tahu tidak sepantasnya bertanya tentang sesuatu yang bersifat rahasia. “Sekali lagi, maaf jika pertanyaan saya kurang berkenan,” katanya membungkukkan badannya.
“Wahai pemuda, seharusnya itu bukan lagi menjadi pertanyaan. Akan tetapi, sudah melekat dalam diri. Lantas, kenapa kamu tidak menghentikannya malah memilih untuk bersembunyi?” jawab pria yang mengenakan jubah putih itu beranjak dari tempat.
“Saya sebenarnya bukan berasal dari sini, Paman,” jawab Wijaya dengan jujur.
Wijaya hanya menatap kepergian pria itu. Seseorang pria yang tidak diketahui namanya. Beberapa saat kemudian, Wijaya memilih untuk kembali ke rumah yang telah disiapkan oleh Prabu Tengker beberapa waktu yang lalu. Beristirahat di sana ditemani dengan sebuah air putih dalam teko.
Sekitar pukul tiga sore, Wijaya duduk di teras. Duduk di sebuah kayu yang ada di depan ruang. Menikmati sejuknya udara. Tidak disangka, Gayatri menghampiri dengan membawakan sepasang pakaian lagi. Walaupun bekas ayahnya, setidaknya bisa digunakan untuk menutup aurat Wijaya dan berganti pakaian.
“Nanti kamu kena marah, Gayatri,” kata Wijaya sembari menatap wajah teduh milik gadis yang rambut panjangnya digelung itu.
“Tidak apa,” katanya.
Gayatri meletakkan pakaian itu di kayu sebelah kanan Wijaya. Pergi dengan meninggalkan senyuman manisnya. Wijaya membalas senyum tipis sembari mengambil pakaian itu. Masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Mencari kamar mandi, tapi tidak ada sama sekali. Terpaksa, Wijaya harus pergi ke rumah Gayatri. Hati dan pikirannya kalut jika harus bertatapan dengan Prabu Tengker. Apalagi menatap gadis itu. Seorang gadis yang menjadi idamannya.
“Mau apa kamu kemari?” tanya Prabu Tengker yang sedang duduk di halaman rumahnya. Menikmati secangkir kopi buatan istrinya.
“Maaf, Ayahanda dari calon istri saya, saya ingin meminta bantuan Ayahanda. Saya ingin bertanya, di manakah letak kamar mandi?” tanya Wijaya.
“Kamu bisa juga, ya, melawak. Sayangnya, tidak lucu untuk saya. Kamu kalau mau mandi berak, atau lainnya, pergi saja ke sungai,” jawabnya menunjukkan jalan setapak yang ada di sebelah kanan rumah. Jalan yang menghubungkan ke sungai terdekat. Sebuah tempat yang digunakan untuk mandi, mencuci, sampai berburu ikan.
Wijaya mengangguk laku izin untuk segera pergi ke sungai. Menyelam untuk mandi sekaligus untuk mengisi perutnya. Sebab, dia belum lagi menikmati makanan. Perutnya telah berbunyi beberapa kali. “Sialkan, sabun bisa pakai pasir,” katanya masuk ke rumah.
Wijaya telah sampai di sebuah sungai. Berjalan melawan arus air sungai, Wijaya menghampiri air terjun yang menyegarkan. Wijaya mengguyur tubuh di bawah air terjun. Menggosok wajahnya perlahan memberikan rasa nyaman untuk menghilangkan rasa penat.
“Enak, sih, tapi sebenarnya diriku ini berada di daerah mana?” lirihnya sembari mengganti pakaiannya.
Baru saja selesai memakai pakaian, Wijaya telah mendengar suara yang begitu keras. Menggema di ruang hampa, Wijaya menelusuri jalan untuk mencari tahu tentang suara itu. Betapa terkejutnya, Wijaya melihat seorang pria sedang menyayat kulit kuda. Lantas, kenapa dia begitu tega? Akibat ulahnya, kuda mengeluarkan darah yang begitu banyak mengalir di tanah.
“Rasakan kamu Tengker!” teriaknya sembari membuang pisaunya. “Makanya jangan pernah bermain-main denganku.” Pria itu tertawa puas kala melihat kuda itu terjatuh tak berdaya.
Wijaya yang mendengar nama Prabu Tengker pun bergegas pergi melalui jalan lain. Berlari ke arah rumah Prabu Tengker dengan pikiran yang kalut. Mengetuk pintu tiga kali sampai akhirnya dibukakan oleh Gayatri.
“Wijaya ada apa?” tanyanya dengan lembut.
“Ayah kamu ada? Ada sesuatu yang perlu aku sampaikan,” kata Wijaya sembari mengusap peluh yang menghiasi kulit wajahnya.
“Memang kenapa?” tanya Gayatri lalu pergi memanggil ayahnya, setelah melihat Wijaya yang tampak serius jika dilihat dari matanya.
Kini, Wijaya telah bersama Prabu Tengker. Duduk di teras dengan suasana yang canggung. Wijaya pun tidak tahu harus memulainya dari mana. Merasa bingung dan melihat Prabu Tengker yang mulai tak nyaman membuat Wijaya harus segera memulai percakapan.
“Mohon maaf, Ayahanda dari Gayatri, saya mau mengatakan sesuatu yang serius. Tapi, sebelumnya saya ingin bertanya sesuatu. Apakah Anda memiliki seekor kuda berwarna hitam?” tanya Wijaya dengan menunduk. Menyimpan rasa takut terhadap sosok pria yang tengah membenarkan bajunya.
“Iya, ada.”
“Sewaktu saya di sungai, saya melihat seseorang tengah menganiaya kuda hitam, Beliau mengatakan bahwa kuda itu milik Anda, ya, Ayahanda,” kata Wijaya masih dalam keadaan menunduk.
Prabu Tengker tidak menjawab. Berlari dengan kencang tanpa memakai alas kaki. Berlari ke arah sungai untuk memastikan kudanya. Wijaya mengikuti dari belakang, walaupun dengan langkah yang tidak terlalu cepat. Melihat Prabu Tengker yang sedang mengelus kudanya yang tengah terbaring tanpa nyawa. Melihat darah yang terus menetes, membuatnya harus tega mengubur darah-darah itu dengan tanah.
“Hei, kamu, bantu saya,” katanya yang menyadari jika Wijaya sedang mengikutinya.
Wijaya berjalan mendekat. Membantu Prabu Tengker yang sedang menutup darah-darah itu dengan tanah. Begitu miris, tubuh kuda itu tersayat beberapa bagian sampai kehilangan napas. “Kamu kembali ke rumah, ambil tambang besar sama istri saya,” katanya.
Wijaya mengangguk lalu berlari. Sesampainya di rumah, menghampiri ibu dari gadis itu. Meminta bantuan untuk membawakan tali tambang dibawa ke tepi sungai.
“AYO CEPAT!” teriak wanita yang mengenakan kebaya hitam itu sembari berlari.
Wijaya mengikutinya. “Mas Prabu, tambang ini untuk apa?” tanyanya.
“Buat tarik tambang,” jawabnya.
Wijaya dan istri dari Prabu Tengker pun menuruti perkataan yang nyeleneh itu. Mereka berdua saling menarik ujung tali. Padahal, jelas-jelas terdapat kuda yang sedang tergeletak. Kuda yang harus segera dilakukan evakuasi ke tempat lain. Bahkan, jika diperlukan, kuda tersebut dikubur dalam tanah agar tidak menimbulkan bau bangkai yang tak sedap.
“Dasar kalian ini sama-sama kurang waras, sini talinya,” kata Prabu Tengker meminta tali yang sedang digunakan untuk tarik tambang. Wijaya melepas ujung tambang sehingga wanita itu terjungkal. “Kamu ini,” kata Prabu Tengker mengambil ujung tali.
“Mas, saya tidak ditolong?” lirihnya sembari berusaha untuk bangkit.
“Berdiri sendiri,” jawabnya menali ke bagian badan kuda.
Setelah itu, Prabu Tengker dibantu oleh Wijaya membuat sebuah lubang untuk memakamkan kuda itu. Walaupun harus dipenuhi perjuangan, akhirnya kuda tersebut berhasil dimakamkan dan tidak akan mengganggu warga lainnya.
“Wijaya, apakah kamu tahu siapa yang membunuh kuda saya?” tanyanya sembari mengusap air keringat dengan baju lengan kirinya.
“Saya tidak kenal Ayahanda. Akan tetapi, saya masih ingat dengan ciri-ciri orang tersebut.” Wijaya mengupil. Sebuah kebiasaan buruk yang hampir setiap hari terjadi. Tapi, ulahnya itu tidak memengaruhi kadar ketampanannya. “Ayahanda, sebenarnya ada apa dengan perang yang tadi?” sambungnya sembari meremas celana hitamnya.
“Bagaimana dengan cirinya? Bisakah kamu tidak memanggil saya dengan Ayahanda, sebab, saya bukan Ayah kamu,” jawabnya dengan cuek.
“Mohon maaf, saya lebih nyaman seperti itu, agar kelak tidak canggung ketika telah menjadi menantu Ayahanda Prabu,” jawab Wijaya dengan bercanda.
“Ciri-cirinya apa?”