Wijaya tersenyum mengerti dengan situasi yang sedang terjadi di tempat itu. Sedang diadakan perbaikan di sejumlah area. Tapi, sebenarnya masih bisa untuk masuk melalui pintu samping. “Kalau lewat sebelah samping, apakah bisa?” tanya Randa.
“Belum bisa, Mas. Kemungkinan buka dengan normal besok,” jawabnya sembari membenarkan topi kuning yang sesuai dengan standar pekerja.
“Pak, kami dari jauh loh,” kata Wijaya mencoba untuk merayu agar bisa masuk ke dalam tempat itu. Tapi, lagi-lagi Wijaya tidak bisa untuk masuk ke dalam sana. Sebab, peraturan selama adanya perbaikan tidak akan menerima pengunjung terlebih dahulu.
Terpaksa, mau tidak mau, Wijaya harus kembali lagi ke kos. Membuang ongkos dan waktu dengan sia-sia. Setelah sampai di kos, Wijaya dan Randa saling bertukar nomor agar memudahkan dalam berhubungan. Randa kembali ke rumahnya pada pukul empat sore. Sedangkan, Wijaya melanjutkan untuk membersihkan ruangan yang belum sepenuhnya rapi.
Sekitar pukul sembilan malam, tepatnya setelah selesai menjalankan empat rakaat. Wijaya tertidur di lantai dengan alas sajadah birunya. Terlelap sampai memimpikan sesosok wanita anggun. Wanita yang satu tipe dengan Gendis. Tapi, rupanya jauh lebih segar dan menawan.
Mimpi yang begitu indah sampai akhirnya melihat sebuah asap dari bawah pintu. Asap berwarna putih cerah yang memenuhi ruang bawah pintu kamar kos. Terbangun lalu mendekati. Menyentuh bawah pintu untuk memastikan. Tidak ada barang berbahaya ataupun api. Lalu, dari mana asal asap itu? Sesuatu yang aneh terjadi beberapa saat kemudian.
Gumpalan asap mengumpul di telapak tangan Wijaya. Membawa Wijaya sampai di luasnya hutan pedalaman. Sebuah hutan yang dihuni dengan pepohonan yang besar dan banyak bambu. Semak-semak yang begitu lebat menambah hawa yang begitu asing. Selain itu, Wijaya merasakan gumpalan asap tadi menghilang seketika. Melebur dalam angkasa dalam sekejap mata.
Serasa merasakan kejadian yang ada di dalam mimpinya beberapa waktu yang lalu. Bedanya, saat ini dia benar-benar berada di tengah hutan. Hutan yang dipenuhi kabut sedikit hitam membuat langkah kakinya sedikit terhambat. Pikirannya berkelana untuk mencari jalan keluar dari tempat itu. Tapi, tidak juga menemukan solusi berdasarkan logikanya. Bahkan, dirinya sampai berada di tempat itu pun dengan jalan yang tidak diketahuinya.
Menelusuri jalan setapak yang ada di hutan hanya dengan bantuan indra peraba dan rasa. Jalanan masih dalam keadaan sedikit tertutup kabut. Bagaimana pun, dia terjebak di dalam hutan. Bahkan, tidak terlihat adanya rumah ataupun warga yang sedang berlalu lalang.
Matanya melihat ke arah depan. Terlihat seekor binatang berkaki empat. Dia begitu merasa kalut, benar-benar berada di antara hidup dan mati. Bergegas ke arah kanan untuk bersembunyi di balik pohon besar. Agar bisa mengelabui binatang itu. Binatang buas yang memiliki badan besar yang sering dielukan sebagai raja hutan.
Setelah binatang buas itu pergi, Wijaya melanjutkan untuk berjalan. Melangkahkan kaki sampai terasa pegal, tapi dia menemukan seseorang yang sedang menjemur selendang. Wijaya menghampirinya dengan menjaga sopan santunnya.
“Permisi,” kata Wijaya dengan kepala yang sedikit menunduk.
“Eh, permisi, iya permisi,” jawabnya dengan latah. Akibatnya, selendang yang masih basah itu terjatuh dari genggamannya. “Aduh, maaf, ada apa?” tanyanya sembari mengambil selendang yang telah kotor dengan tanah.
“Maaf, ini daerah mana?” tanyanya yang malah ditertawakan oleh gadis itu.
“Seharusnya saya yang merasa aneh dengan Anda. Kenapa pakaian kamu seperti itu?” tanyanya dengan melirik kemeja milik Wijaya. “Ikut saya,” lanjutnya menggandeng lengan Wijaya.
Menyuruhnya untuk duduk di bangku panjang depan rumahnya. Sebuah rumah yang khas dengan zaman terdahulu. Tidak ada dinding dari batu bata melainkan masih murni dari kayu. Ditambah suasana di sekitar yang terasa nyaman dan segar. Tidak lama kemudian, gadis itu membawakan satu pasang pakaian untuk Wijaya.
“Dipakai saja, ya, takutnya nanti warga merasa aneh sama kamu, walaupun memang aneh,” katanya menaruh sepasang pakaian itu ke bangku yang longgar.
Wijaya menurut dengan perkataannya. Masuk ke dalam kamar mandi yang ada di belakang rumah. Mengganti pakaiannya dengan pakaian yang khas dengan tradisionalnya. Mengenakan ikat kepala yang terbuat dari kain. Kata gadis itu, agar sama dengan pemuda lainnya yang tinggal di daerah itu.
“Gayatri, kamu dengan siapa?” tanya seorang pria yang begitu gagah dengan pakaiannya. Di sampingnya, ditemani seorang wanita yang mengenakan pakaian sama.
“Gayatri juga belum berkenalan, Ayahanda. Tadi, tiba-tiba hadir di hadapan saya,” jawab gadis itu sembari menunduk sekejap. Memberikan penghormatan terhadap ayahnya.
Wijaya menatap ke arah sekitar. Merasa aneh dengan semua yang ada di sana. Pria itu mengajak Wijaya untuk masuk ke dalam rumahnya. Di dalam sana, terdapat beberapa barang unik yang dipajang dengan rapi. Duduk di kursi yang terbuat dari anyaman rotan.
Di temani sebuah sajian air teh dalam gelas dari gerabah. Terasa nikmat dan menyegarkan. “Kenalkan saya Prabu Tengker, sebelumnya, mohon maaf, kamu berasal dari mana?” tanyanya sembari menuangkan air dari teko ke gelasnya.
“Perkenalkan nama saya, Wijaya, saya tidak tahu kenapa saya bisa sampai di sini. Mulanya, saya tersesat di hutan,” jawab Wijaya dengan membungkukkan diri sebagai tanda hormat kepada tuan rumah.
“Baik, kamu tinggal di mana?” tanyanya.
“Saya tidak ada tempat tinggal di sini. Saya pun tidak tahu harus pergi ke mana, karena saya tersesat sejauh ini,” jawab Wijaya meletakkan gelas yang terbuat dari tanah liat itu.
“Kamu bisa tinggal di rumah sebelah. Memang, kotor. Tapi, masih layak untuk ditempati. Tidak mungkin jika tinggal di sini. Sebab, tidak baik jika seatap dengan gadis yang tidak ada hubungan halal dengan kamu,” katanya.
Beberapa saat kemudian, Wijaya diantar Prabu Tengker ke rumah yang ada di sebelah kanan. Membersihkan tempat yang dipenuhi debu. Agar bisa digunakan untuk tempat tinggalnya beberapa waktu selama terjebak di dunia yang asing. Setelah selesai membersihkan rumah, Wijaya bersama Gayatri berjalan keliling sekitar rumah. Mengamati warga yang sedang menjalankan aktivitasnya. Mencari kayu bakar dan lainnya.
“Nama kamu Gayatri?” tanya Wijaya dengan tatapan lurus ke depan. Pikirannya berkelana dengan sosok Gendis yang selalu hadir dalam mimpinya. Apakah, Gayatri sosok wanita yang nyata ada untuknya?
“Iya, saya Gayatri. Kalau boleh tahu, sebenarnya kamu berasal dari mana?” tanyanya.
Belum sempat menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan yang memekikkan telinga. Gayatri mengerti dengan teriakan yang terjadi. Sebuah tanda akan ada sebuah peperangan antara kedua kubu yang memang lama berselisih. Gayatri mengajak Wijaya untuk segera pergi mencari tempat persembunyian.
“Itu ada apa?”
“Ayo, ikut Gayatri,” katanya sembari menyeret lengannya. Berlari kencang agar bisa menghindari peperangan. Apalagi, Wijaya orang baru yang tidak mengerti akan permasalahan yang ada di wilayah kerajaan.
Mereka bersembunyi di balik semak-semak tepi jurang. Berdoa kepada Tuhan agar diberi keselamatan. “Gayatri, memang ada apa?”