Wijaya terdiam kala mendengar suara Prabu Tengker. Ucapannya yang terdengar lantang membuatnya takut untuk berkata. Prabu Tengker yang masih merasa kesal pun memutuskan untuk pergi mencari pelaku yang berani membunuh kudanya. Berjalan ke arah rumah seseorang yang menjadi musuhnya. Dia begitu yakin dengan perasaannya. “Dasar pria tidak tahu diri!” teriak Prabu Tengker setelah berdiri di depan rumah musuhnya. “Keluarlah!” teriak Prabu Tengker sembari mendorong pintu menggunakan tongkatnya.
“Kenapa?” jawab pemilik rumah dengan sombongnya.
“Bisakah Anda berbuat kedamaian dengan saya, walaupun hanya beberapa menit saja? Apa maksud Anda membunuh kuda saya?” Prabu Tengker meraih kerah baju pria yang ada di hadapannya. Menarik kerah baju tradisional berwarna cokelat itu dengan kekuatan yang kuat.
Pria itu terdiam. Bahkan, tangan dan kakinya pun tidak berkutik untuk membalasnya. Seakan pasrah dengan perlakuan Prabu Tengker terhadapnya. Tidak lama kemudian, terdengar teriakan seorang wanita yang memanggil nama Prabu Tengker.
“Kang Mas, tolong hentikan!” teriak Tunggadewi menarik pakaian suaminya yang sedang memukul pria lain. “Kang Mas, hentikan!” teriaknya lagi, karena tidak mendapatkan respons dari suaminya. Bahkan, tangan saja masih sibuk dengan pukulan-pukulan itu.
Tunggadewi pun merasa heran dengan suaminya. Pertama kalinya, dia melihat seorang Prabu Tengker bisa semarah itu dengan orang lain. Padahal, jika berada di dalam rumah bersama keluarga, Prabu Tengker terlihat begitu baik dan selalu menciptakan suasana yang harmonis dan romantis. Tunggadewi tetap berusaha untuk menghentikan aksi kekerasan itu. Sampai akhirnya, dirinya sendiri yang menjadi korban pukulan dari suaminya.
“Dewi,” lirih Prabu Tengker sembari mengangkat istrinya. Melangkah meninggalkan tempat musuhnya. Kembali ke rumah untuk mengobati istrinya. Menggunakan bau minyak, akhirnya Tunggadewi bisa sadarkan diri dari pingsannya.
“Kang Mas, jangan pernah berbuat gegabah. Belum tentu, Kang Mas Adipati yang membunuh Patih. Perbuatan yang dilakukan tadi, justru bisa merugikan diri sendiri. Mungkin, Patih telah pergi karena dibunuh orang lain, tapi percaya saja, Patih akan selalu ada. Selamanya, dia akan ada di dalam hati Kang Mas Prabu.” Tunggadewi berusaha untuk duduk dengan menyender di kepala ranjang.
“Biar saya bantu,” ujarnya sembari membantu pergerakan Tunggadewi yang masih kesulitan akibat luka yang ada. “Maafkan saya, saya tidak sengaja memukul kamu,” sambungnya meninggalkan kamar.
Gayatri melangkah masuk ke kamar ibunya. Duduk di tepi ranjang lalu membungkukkan badan untuk mencium kening ibunya. Penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Ingat, jangan pernah sesekali merawat orang tua dengan hati yang kotor. Sebab, dulu, ibu dan ayah selalu merawat anak-anaknya dipenuhi rasa kasih sayang dan pandangan masa depan yang begitu indah.
“Ibunda, maafkan Gayatri belum bisa menjadi putri yang terbaik,” katanya.
“Tidak, Sayang. Gayatri putri Ibu yang paling baik. Sebab, putri Ibu hanya satu saja.” Tunggadewi tertawa tipis.
Tidak lama kemudian, terdengar suara dari luar. Gayatri izin untuk membukakan pintu. Ternyata, Wijaya yang tengah berdiri di depan pintu dengan senyum manisnya. Gayatri mengajak Wijaya untuk masuk ke dalam rumahnya. Tentu saja, ada alasan. Wijaya ingin menjenguk kondisi Tunggadewi.
“Gayatri, buat apa kamu mengajaknya masuk?” tanya Prabu Tengker yang sedang membawa nampan berisi air untuk mengompres luka lebam yang ada dalam tubuh istrinya.
“Ayah, Wijaya hanya ingin menjenguk Ibu,” jawab Gayatri sedikit menunduk. Matanya tidak berani menatapnya, walaupun hanya sedetik.
“Tidak, tidak baik seorang laki-laki bertamu ke rumah perempuan. Apalagi, pernah membawa kamu bersembunyi di semak-semak,” jawabnya berlalu ke arah kamar.
Gayatri keluar mengejar Wijaya. Ternyata, pria itu tengah duduk di sebuah kayu besar yang tumbang. Menatap ke arah langit dengan air mata yang menetes. Melihat hal itu, Gayatri merasa bersalah atas ucapan dari ayahnya. Dia pun tidak ada rasa malu untuk meminta maaf atas nama ayahnya.
“Aneh, kenapa juga saya merasa tersinggung dengan ucapan Ayahmu. Saya hanya sedang bingung saja. Saya bingung untuk kembali ke dunia saya,” jawab Wijaya mengusap air matanya. “Sebenarnya saya ini tersesat di masa yang beda dengan saya.”
“Masa yang berbeda?” tanya Gayatri dengan senyuman yang selalu melekat di bibirnya.
“Iya, Gayatri, tolong jangan terlalu manis senyumnya, saya takut kalau khilaf,” katanya tertawa tipis. Tangannya meraih dagu Gayatri yang begitu membuatnya terpesona. Mengarahkan ke atas agar sejajar dengan wajahnya. “Kamu cantik,” kata Wijaya sembari melepaskan jemari yang mendarat di dagunya.
“Eh, kamu sudah khilaf,” kata Gayatri menyentuh dagunya.
Gayatri menghadap ke depan lalu menunduk. Jemari kanannya mulai menyentuh dagunya. Mengusap beberapa kali untuk menghilangkan bekas jemari pria di sebelahnya. “Maaf,” kata Wijaya tanpa memandang gadis itu.
Tidak lama kemudian, Prabu Tengker hadir di hadapan pemuda dan pemudi itu. Wajahnya yang terlihat sangat marah dan murka. Apakah Prabu Tengker bisa melihat gerak-gerik orang lain? Wijaya menunduk, nyalinya menciut kala melihat langkah kaki Prabu Tengker yang semakin membesar.
“GAYATRI!” teriaknya sembari menatap putrinya dengan tajam. Tangannya meraih lengan kanan putrinya. Menyeretnya agar ikut kembali ke rumah. “Sudah berapa kali Ayah katakan, jangan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan siapa-siapa kamu. Apalagi, laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya. Ayah selalu mengajarkan ke kamu tentang larangan hal itu, kan?” sambungnya dengan suara yang masih keras.
“Ayah, Gayatri tahu. Tapi, bukan berarti Ayah bisa mengekang begitu. Gayatri pun mau hidup dengan bebas. Hidup selayaknya manusia lainnya. Bukan kehidupan yang penuh dengan larangan. Lagian, Gayatri juga bukan anak kecil lagi. Gayatri bisa menjaga diri,” katanya sembari melepaskan tangan Ayahnya.
Prabu Tengker tidak percaya dengan perkataan yang berhasil lolos dari putrinya. Seorang anak perempuan yang selalu menurut akan perintah dan larangannya. Tapi, semenjak kehadiran Wijaya, Gayatri menjadi seseorang yang lepas kendali. Memang, apa yang ia katakan jujur dari dalam hatinya. Dia pun merasa hidupnya tidak adil. Selalu dikekang oleh Ayahnya. Hanya dengan alasan agar kehormatannya sebagai pemimpin tetap terjaga. “Gayatri, perempuan itu seharusnya di rumah. Memasak dan melakukan pekerjaan lainnya. Membantu Ibumu. Jangan pernah main-main sama Ayah,” kata Prabu Tengker meninggalkan Gayatri.
“Gayatri, memang perempuan tidak boleh keluar rumah?” tanya Wijaya yang tidak beranjak dari tempat duduknya.
*Kenapa? Bukankah hal itu tidak asing, kan?” jawabnya sembari mengusap air matanya. “Ya, beginilah seorang perempuan. Banyak dikekang dan tidak diberi ruang untuk bisa bebas,” sambungnya.
“Tidak adil. Seharusnya, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Sama-sama memiliki hak untuk bebas,” jawab Wijaya.
“Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk kami. Anak perempuan, sejengkal pun sebenarnya tidak boleh keluar dari rumah. Kami ditugaskan untuk tetap berada di dapur membantu untuk mengerjakan tugas seorang ibu rumah tangga.”
“Gayatri, kamu harus membuat sebuah kemajuan. Kamu harus bisa mengangkat derajat perempuan. Tapi, juga harus bisa menjaga apa yang menjadi kodrat seorang perempuan.” Wijaya berdiri menatap mata Gayatri yang begitu indah.
“Maksud kamu?” tanya Gayatri berjalan mendekat ke arah Wijaya.