Gayatri mengambil alih alat penumbuk itu dari tangan ibunya. Mulai menumbuk sedikit demi sedikit singkong. Berhenti saat tangannya telah mulai terasa pegal. Gayatri memilih untuk diam sejenak. Kemudian, pergi dari dapur untuk mencuci pakaiannya yang sempat tertunda.
“Gayatri, belajar lagi mau?” tanya pria yang berdiri di depannya.
“Nanti kalau ada temannya,” jawab Gayatri pergi ke sungai. Melalui jalan yang ada di sebelahnya, walaupun harus menginjak semak belukar.
Beberapa waktu kemudian, Gayatri telah selesai menjemur pakaiannya. Entah kenapa, secara mendadak ada beberapa gadis desa yang datang untuk mengajak belajar bahasa. Padahal, Gayatri sedang ingin menghindari pria itu. Tapi, malah ada teman-temannya yang ingin belajar.
“Kalau kalian mau, kalian bisa tunggu sebentar di sini,” kata Gayatri mengambil keranjang rotan untuk dibawa ke rumah terlebih dahulu. Gayatri masuk ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Memang, dia masih merasa tidak nyaman berada di dekat pria itu. Tapi, entah kenapa dirinya malah berdandan terlebih dahulu.
Mereka telah duduk di teras rumah sepetak itu. Menunggu Wijaya yang sedang mencari beberapa benda yang bisa digunakan untuk belajar hari ini. Entah apa yang akan diajarkan oleh pria itu. Tapi, terlihat dengan jelas bahwa Wijaya telah menyiapkan beberapa ranting, batu, dan sejumlah daun.
“Sekarang, aku mau kalian menuliskan nama dari benda ini,” kata Wijaya sembari memperlihatkan daun itu.
Gadis-gadis dengan semangat belajar yang tinggi pun berusaha untuk menuliskan huruf demi huruf agar tersusun sesuai dengan nama benda itu. Tapi, dasarnya seseorang yang sedang belajar, kesalahan pasti ada. Gayatri pun salah menuliskan satu huruf. Seharusnya huruf “D” dia malah menuliskan huruf “B”.
“Kamu bilang sudah mengerti,” ejeknya.
“Ya, bagaimana,” jawabnya sembari menghapus tulisannya yang ada di tanah, “bagaimana yang benar?”
Wijaya pun menuliskan huruf-huruf itu dengan benar. Bahkan, ia menuliskannya besar-besar. Sampai akhirnya, ia memberitahu rangkaian huruf yang benar untuk kata ranting, daun, dan batu.
“Kalian tahu apa gunanya bahasa dalam kehidupan?” tanya Wijaya.
“Apa itu bahasa?” timpal salah satu gadis yang membiarkan rambutnya terurai.
“Bahasa merupakan salah satu aspek terpenting dalam berkomunikasi. Tanpa ada sebuah bahasa, kita tidak akan saling bertegur sapa. Ada bahasa lisan, bahasa tulis, dan bahasa isyarat. Mungkin ada lagi yang lainnya. Setidaknya, kalian mengetahui tiga itu. Barusan, kita telah melakukan dua jenis, yaitu bahasa lisan dan tulis. Itu sebabnya, kalian harus mengetahui dan menghafal huruf agar bisa menggunakan bahasa tulis,” kata Wijaya sembari tersenyum manis ke arah gadis-gadis itu secara bergantian.
“Komunikasi itu apa?” tanya Gayatri. Wijaya melupakan jika dirinya sedang berhadapan dengan gadis-gadis yang berbeda masa dengannya. Alhasil, dia harus bersabar dalam menjelaskan segala sesuatunya. Terutama, sesuatu yang beru mereka dengar atau lihat.
“Komunikasi itu, contoh mudahnya, ya, kita saat ini. Kita saling berbicara ini namanya komunikasi,” jawab Wijaya dengan tersenyum manis untuk Gayatri.
“Oh iya,” jawab Gayatri yang sedang membenarkan sanggulnya.
“Kembali ke bahasa, ya, jadi kalian wajib belajar bahasa. Seiring berjalannya waktu, bahasa akan mengalami kemajuan. Akan ada kosa kata baru yang muncul untuk berkomunikasi. Tapi, paling tidak kalian bisa membaca dan menulis, itu sudah modal utama untuk menghadapi kehidupan ke depannya.”
“Wijaya apakah bahasa itu sama dengan basa? Sebab, saya pernah mendengar Ayah mengatakan bahwa, seorang wanita harus bisa menggunakan basa yang sesuai dengan tata krama.” Gadis yang menggunakan kebaya berwarna hijau itu mengangkat tangannya. Kemudian, menatap wajah Wijaya dengan serius. Gadis yang memiliki rasa ingin tahu begitu tinggi membuat Wijaya semakin semangat untuk berbagi ilmu. Bagi Wijaya, lebih baik memiliki satu siswa, tapi aktif daripada memiliki banyak siswa, tapi pasif. “Kalau memang sama, kenapa sedikit berbeda?”
“Sama saja. Basa adalah kosa kata yang muncul dari suatu suku, yaitu suku Jawa. Kita bisa menggunakan kata bahasa ataupun basa.”
Setelah kurang lebih satu jam Wijaya berbagi ilmu dengan mereka, akhirnya telah usai. Kini, hanya ada Gayatri yang berdiam di tempat. Gadis itu tengah mengamati tulisan-tulisan yang masih ada di tanah. Melihat huruf demi huruf sembari mengeja. Perlahan, Gayatri bisa mencerna dengan baik apa yang ditulis oleh Wijaya.
“Masih kurang paham?” tanyanya.
Gayatri mendongakkan kepalanya. Matanya tak berkedip. Tersadar karena matanya terkena debu. Mengucek matanya berkali-kali sampai memerah, sedangkan debunya masih saja menempel di sana. Wijaya mendekat ke arah Gayatri, meniup matanya beberapa kali sampai debu-debu itu menghilang. “Daripada dikucek, mendingan juga minta tolong buat dibersihkan. Kasihan matanya memerah,” ujarnya yang membuat Gayatri semakin tidak bisa berkutik. Pipinya pun ikut memerah akibat kata-kata Wijaya yang terlalu manis.
“Kenapa kamu tidak mencintai perempuan lain?” tanya Gayatri sembari membenarkan posisi berdirinya.
“Karena hanya kamu yang menarik hati saya,” jawabnya.
“Saya bukan tali, ya,” jawab Gayatri.
“Siapa yang bilang kalau kamu tali?”
“Itu tadi Wijaya bilang menarik. Bukankah hanya tali yang bisa digunakan untuk tarik-menarik."
“Oh kamu sedang melawak?” tawa Wijaya.
“Gayatri, kembali ke rumah,” kata Prabu Tengker yang telah kembali dari dinasnya. Wijaya pun hanya bisa melihat punggung gadis itu yang berangsur menghilang.
Setelah gadis idamannya benar-benar telah tak terlihat dari pandangannya, Wijaya memutuskan untuk kembali ke rumah sepetak itu. Menyalakan api bakar untuk memasak singkong dan memasak air untuk minum. Tapi, ternyata kayu bakar yang ada di rumah itu basah. Wijaya lupa belum menjemur kayu bakar itu. Alhasil, Wijaya harus meminta tolong kepada keluarga Prabu Tengker.
Pria itu mengetuk pintu tiga kali. Tidak lama kemudian, muncul seorang gadis yang tengah membawa sisir rambut. “Ada apa?” tanyanya sembari melepaskan tangan dari kepalanya. Membiarkan rambutnya tergerai di punggungnya. Pertama kalinya Wijaya melihat Gayatri yang terlihat anggun dengan rambut panjangnya.
“Eh, saya mau minta dua batang kayu bakar. Saya lupa belum menjemurnya tadi,” kata Wijaya dengan gugup.
“Tunggu di sini sebentar,” katanya berlalu ke rumahnya.
Lima menit kemudian, Gayatri kembali dengan membawa tiga kayu bakar berukuran besar. Cukup untuk Wijaya memasak air dan singkong. Tambah lagi, bisa untuk menghangatkan diri. Mengingat hujan yang turun, tanpa melihat kondisi.
Mengucapkan terima kasih lalu kembali ke rumah. Melangkah ke arah dapur. Bergegas menyalakan api. Perutnya yang telah keroncongan pun tak bisa lagi menahan lapar lebih lama. Saking laparnya, Wijaya rela memakan singkong yang belum sepenuhnya matang. Masih keras di bagian dalam.
“Semoga perut tidak bermasalah,” lirihnya sembari menutup panci yang digunakan untuk memasak air.
Dor!
Wijaya kaget kala mendengar suara dari pistol itu. Pistol yang berasal dari arah mana saja dia tidak tahu. Wijaya menutup jendela dan pintu yang ada serapat mungkin. Bukan tidak ingin mengetahuinya, tapi dia harus memikirkan dirinya sendiri. Apalagi, lengan dan perutnya baru saja dalam masa pemulihan. Apakah pistol itu berasal dari musuh?