Berdua

1097 Kata
Wijaya tidak melanjutkan ucapannya. Dia memilih kembali ke rumah sebelah agar lebih leluasa untuk istirahat. Padahal, sejujurnya dia masih ingin untuk menatap gadis idamannya. Tapi, dia tidak ingin melepaskan hatinya terlalu jauh dalam mencintai seseorang, termasuk Gayatri. Duduk di bangku kecil sembari menghangatkan tubuh di sore itu. Dia menyalakan bara api. Sebuah kehangatan yang bisa menemaninya. Tidak lama kemudian, api tersebut mati akibat tertimpa air hujan dari atas. Ya, atap rumah itu terbawa angin yang begitu kencang. Tidur di sebuah rumah dalam keadaan banjir. Walaupun terasa berat, Wijaya tidak ingin merepotkan Prabu Tengker ataupun orang lain. “Hm, sudah magrib juga. Lebih baik besok saja dibetulkan,” lirihnya sembari melanjutkan tidur di bangku panjang. Bahkan, wajahnya saja sering kali basah akibat air hujan. Serasa tidak meneduh di dalam rumah. Keesokan harinya, Wijaya terbangun dengan keadaan langit yang sudah cerah. Bahkan, sinar matahari pun sudah muncul. “Wijaya,” panggil seseorang yang tidak asing lagi di telinganya. Pria itu bergegas mencuci wajahnya dengan sisa air yang ada di gentong. Padahal, rumahnya saja masih banyak air yang menggenang. “Iya, mohon maaf, semalam angin kencang sekali, sehingga sebagian atapnya ikut terbawa,” kata Wijaya yang merasa tidak enak hati. Sebab, rumah yang ia tempati beberapa waktu ini adalah rumah milik Prabu Tengker. “Tidak apa, kamu lebih baik ke rumah saya, atapnya biar saya betulkan terlebih dahulu. Rasanya tidak sopan mempersilakan orang lain menempati rumah ini dengan kondisi yang tidak layak,” ujarnya melangkah masuk melewati ambang pintu. “Semalam tidak ada ular yang datang, kan, soalnya ini air tinggi?” “Syukur, tidak ada. Hanya saja terganggu dengan air yang tinggi saja. Jadi, kualitas tidur saya terganggu juga,” jawab Wijaya sembari tersenyum. Prabu Tengker melihat luka Wijaya yang basah akibat air hujan. Bahkan, kain putih sebagai tutup pun terlihat kotor dengan noda cokelat. Beliau menyuruh Wijaya untuk ke rumah agar lukanya diobati kembali oleh istri atau Gayatri. Tapi, Wijaya merasa tidak enak hati jika harus merepotkan orang lain lagi. Beberapa menit kemudian, Gayatri datang membawa sapu lidi. Dia dimintai tolong oleh Tunggadewi untuk membantu membersihkan rumah itu. Air yang belum sepenuhnya surut, membuat mereka harus membuangnya terlebih dahulu. Gayatri yang melihat luka Wijaya terkena kotoran pun menyeret Wijaya agar ikut ke rumahnya. Mereka duduk di ruang tamu. Sepenuh hati, luka di lengannya diobati lagi oleh Gayatri. Perhatian yang diberikan oleh Gayatri membuat rasa yang ada semakin menggebu. Tapi, Wijaya sendiri tidak paham dengan hatinya. Dia bimbang dengan sebuah rasa itu akan dibawa ke arah mana. “Eh, sakit ya?” tanyanya yang membuat lamunan Wijaya buyar dalam seketika. “Enggak, kok. Kamu manis,” jawab Wijaya yang mampu membuat pipi gadis itu merona. “Kamu, mah, selalu membuatku terbang tinggi. Lain kali, jangan lagi, ya,” jawabnya menunduk. “Memang kenapa?” “Saya takut kalau ketinggian, nanti jatuh. Jatuh ke bawah, terkena batu-batu, kan sakit.” “Lagian mana ada jatuh ke atas.” Wijaya menyentuh tangan Gayatri dengan sengaja. Tapi, gadis itu berusaha untuk menepis. Sadar diri, satu hal yang seharusnya Wijaya lakukan. Mana mungkin seorang gadis yang masih polos dan suci mau untuk disentuh. Walaupun hanya sebatas tangan saja. Wijaya pun seharusnya bisa lebih menghargai wanita. Tak lagi mencoba untuk menyentuh orang lain sembarangan. “Maaf,” lirihnya sembari mengusap wajahnya. Tidak lama kemudian, ada beberapa perempuan yang datang ke rumah. Mereka meminta tolong kepada Gayatri untuk mengajari tentang huruf. Mendengar hal itu, Wijaya bangga. Bangga terhadap kegigihan perempuan-perempuan untuk terus belajar dan belajar. “Nah, kalau kalian ada semangat untuk belajar, kan, enak,” kata Wijaya yang sedang membungkus lengannya dengan kain putih. “Maaf, ya, saya masih susah untuk menulis. Nanti saya akan jelaskan lebih banyak lagi,” sambung Wijaya. Beberapa jam kemudian, mereka telah selesai belajar tentang huruf. Kini, mereka tinggal berdua saja. Sebab, Prabu Tengker dan Tunggadewi sedang sibuk membenarkan rumah yang ditempati Wijaya. “Gayatri, kita berasa jadi anak durhaka, ya. Ayah dan Bunda sedang bersih-bersih, kita malah duduk-duduk santai.” “Eh, iya. Kalau begitu, saya mau menyiapkan makan dan minum untuk mereka,” katanya berjalan ke arah dapur. Wijaya mengikuti gadis itu. Mereka berdua di dapur sembari menunggu ketela rebus matang. Selain itu, mereka mencoba untuk membuat sesuatu yang baru. Wijaya mengupas dua buah singkong. “Kamu mau buat apa?” Wijaya hanya melirik sekilas ke arah Gayatri. “Lihat saja, nanti.” “Jaya, ini yang direbus sudah banyak, loh, buat apa kamu mengupas lagi,” ujarnya sembari memalingkan wajahnya dari Wijaya. Gayatri merasa kesal dengan pria yang ada di sebelahnya. Merasa heran dengan setiap tingkah lakunya yang terlihat aneh di matanya. Tapi, apa yang dilakukan oleh Wijaya selalu berhasil mencetuskan inovasi. “Kamu ada pisau yang lebih tajam?” tanyanya masih sibuk membersihkan kulit singkong. Wijaya mengambil pisau yang ada di dekat Gayatri. Mulai mengiris singkong tipis-tipis sampai selesai. Kurang lebih setengah jam, Wijaya telah selesai menyelesaikannya. Gayatri masih saja merasa kesal dengan tingkah Wijaya. Baginya, hal itu hanya membuang-buang singkong yang seharusnya bisa dijadikan makan malam, nanti. “Kamu bisa gak sih jangan berulah?” “Nanti kamu juga bakal ketagihan,” jawabnya sembari tertawa. Wijaya melanjutkan untuk mencuci singkong-singkong itu. Seharusnya, sebelum diiris sudah dicuci. Tapi, dia melewatkan hal itu. Padahal, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dibuat. Hanya mengikuti kata hatinya agar tidak terlihat begitu longgar waktu. Setelah selesai mencuci, Wijaya menjemurnya di tengah terik matahari. “Lanjutkan besok kalau sudah kering. Nanti sore, tolong diangkat,” kata Wijaya sembari menyentil pelan dahi Gayatri. Wijaya bersama Gayatri masuk ke rumah. Membantu orang tuanya yang sedang membersihkan rumah. “Loh, kok tanganmu kotor?” tanya Tunggadewi kepada Wijaya yang sedang mengambil sapu lidi di belakang pintu. “Iya, tadi mengupas singkong,” jawab Wijaya tersenyum ramah. Gayatri menepuk dahinya. Lalu berlari meninggalkan tempat. Dia teringat dengan api yang masih menyala sejak tadi. Padahal, singkong rebus telah matang. Tak lama dari itu, Gayatri datang membawa satu piring singkong rebus dan satu teko air putih. “Terima kasih,” kata Wijaya. “Tanganmu memang sudah tidak sakit, kamu pakai untuk mengupas singkong?” “Masih sedikit nyeri, tapi saya tidak mau berlarut meratapi rasa sakit di lengan ini. Salah satu cara gar segera sembuh, ya karena kita memiliki pemikiran sembuh dan tetap beraktivitas seperti biasa.” “Bagus.” Prabu Tengker keluar dari rumah. Dia ingin ke sungai membuang air. Tapi, baru juga beberapa detik meninggalkan, beliau sudah kembali lagi. Datang dengan ekspresi wajah yang tampak marah. “Siapa yang menjemur singkong?” “Maaf ... itu saya minta singkongnya, Ayahanda dari calon istri saya,” jawab Wijaya menahan tawa. “Buat apa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN