Wijaya membuka matanya. Menatap seorang wanita yang tengah berdiri di depannya. Dia pikir, suara ibunya. Tapi, ternyata suara Tunggadewi yang terdengar begitu lembut. Tapi, kenapa beliau berada di hadapannya? Apalagi, waktu telah malam.
Tunggadewi berjalan ke arah bangku. Duduk di sebelah Wijaya sembari menatap sekilas ke arah pemuda itu. “Ada apa? Kenapa di luar?” tanyanya.
“Tidak ada apa-apa, kok. Saya hanya sedang ingin berada di luar saja.”
Wanita itu menyadari wajah Wijaya yang terlihat lesu. Apalagi, bibir yang keabu-abuan menandakan bahwa pria itu sedang tidak baik-baik saja. Memang, terkadang manusia seperti itu. Bilang tidak apa-apa, padahal sedang dalam kondisi yang tidak baik. Akan tetapi, melakukan hal itu agar tidak merepotkan orang lain. Tunggadewi beranjak kembali ke rumah yang ada di sebelahnya saja. Mengambil air hangat dan ketela rebus sisa sore tadi.
“Semoga bisa lebih nyaman,” katanya memberikan segelas air hangat setelah kembali ke teras rumah yang ditempati pria itu. Sudah selayaknya seorang perempuan bisa mengayomi, apalagi jiwa Tunggadewi yang menyukai untuk merawat sesama makhluk hidup. “Kamu bisa cerita ke Ibu kalau ada masalah,” sambung Tunggadewi sembari menatap pria itu.
Tiba-tiba terdengar suara Prabu Tengker yang begitu memekikkan telinga. Laki-laki itu telah sampai di hadapan Wijaya. Tangannya menyeret Tunggadewi untuk diajak kembali ke rumahnya.
“Kamu berbuat apa malam-malam di sana?” tanyanya dengan perasaan kesalnya. Rasa cemburu telah membabi buta di hatinya. “Sadar, dia itu seusia Gayatri!” teriaknya membanting pintu kamar yang tidak jauh dari kakinya berdiri.
“Ayah!” teriak Gayatri yang baru saja terbangun dari tidurnya. Terganggu dengan suara bising dari luar. Terkejut dengan sosok ayahnya yang marah seperti itu. Pertama kalinya, Gayatri melihat pemandangan yang cukup menggetarkan hatinya. “Ada apa?”
“Ibumu ada main bersama Wijaya!” teriaknya sembari berlalu ke belakang.
Gayatri mendekat ke arah ibunya. Mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. Memilih untuk tidak bertanya, melainkan pergi. Menghampiri Wijaya yang masih duduk di teras sembari menatap ke arah langit. Menikmati bintang-bintang yang nyatanya tak membuatnya merasa bahagia.
“Kamu ada apa sama Bunda?” tanya Gayatri yang berhenti di depan pintu masuk ke teras. Menatap Wijaya dengan mata yang sembab menahan tangis. Pilu, ketika hatinya mulai terbuka untuk Wijaya, tapi laki-kaki itu yang membuat kedua orang tuanya saling berantem.
“Maksud kamu? Saya masih pria yang normal. Saya masih waras, Ibu Tunggadewi tadi hanya memberikan air hangat saja. Ini gelasnya masih ada,” jawabnya dengan santai. Tidak ingin kepala yang sudah mulai sembuh menjadi kambuh kembali. “Tadi, saya sedang duduk di sini. Ibu membuang sampah di samping, terus menghampiri saya. Melihat saya pucat pasi, makanya membantu saya dengan memberi air minum hangat.” Tangannya menunjuk ke tempat pembuangan sampah yang tidak jauh dari samping rumahnya.
Gayatri mengangguk. Mengerti di mana letak kesalahpahamannya. Melangkahkan kaki ke arah belakang. Masuk ke rumah melalui pintu belakang. Menghampiri ayahnya yang sedang marah. Bukan berarti ayahnya tidak bisa marah, walaupun seorang yang suka ikut perang. Gayatri mengelus d**a saat melihat ayahnya tengah menghantam dinding yang terbuat dari kayu itu.
“Ayah,” panggil Gayatri.
Prabu Tengker menghadap ke arah putrinya. Mengelus punggung tangannya yang terasa ngilu. Berjalan ke arah putrinya yang tengah menatap sendu ke arahnya. “Ada apa?”
“Jangan marah lagi, Bunda hanya membantu Wijaya yang sedang sakit. Tidak mungkin Bunda khilaf bersama anak bau kencur,” kata Gayatri.
Prabu Tengker mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut. “Iya, Nak. Rambutnya jangan lupa di sisir dulu, ya.”
Mata Gayatri membelalak. Teringat dengan rambutnya yang masih berantakan. Bahkan, dengan percaya diri yang tinggi, dia telah bertemu dengan pujaan hatinya. Gayatri bergegas masuk ke kamarnya. Mengambil sisir dan menghadap ke arah cermin yang berbentuk oval. “Aduh, malu,” lirihnya kala teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu. Beruntung, Wijaya tidak memprotes rambutnya yang masih berantakan.
Gayatri menghampiri ibunya ketika rambut telah selesai dibenarkan. Duduk di bangku sebelah kanan Tunggadewi. Menatap matanya yang masih sendu. Tangannya terulur untuk mengusap pipi ibunya kembali. “Bunda, jangan sedih-sedih lagi. Ayah hanya sedang lelah saja. Nanti juga membaik lagi sama Bunda. Mana ada Ayah bisa hidup tanpa belahan jiwanya,” goda Gayatri.
Melihat ibunya yang sudah tenang, Gayatri mengantarkannya ke kamar untuk istirahat. Setelah mencium kening ibunya, Gayatri pun ikut untuk segera memejamkan matanya. Istirahat cukup agar memiliki tenaga di keesokan harinya. Terlelap dalam tidurnya sampai terdengar suara ayam jago yang berkokok.
“Alhamdulillah,” katanya sembari mengusap wajahnya.
Beranjak untuk segera beraktivitas. Pagi-pagi, Gayatri telah bergegas ke sungai untuk mencuci pakaiannya. Di sana, dia melihat Wijaya yang sedang bermain air. Sebuah kebiasaan yang mulai dimengerti oleh Gayatri. Kemungkinan besar, Wijaya sedang berada di fase yang sedang lelah. Oleh karena itu, dia melampiaskan kepada air agar jauh lebih merasa tenang.
“Jaya,” panggilnya.
“Iya, ada apa?” jawabnya tanpa menatap Gayatri yang berada di belakangnya. Boro-boro untuk menatapnya dalam waktu lama, meliriknya saja tidak. Ada apa dengan Wijaya? Lantas, perasaan apa yang hadir dengan anehnya di dalam hati Gayatri?
“Kamu kenapa?”
“Lagi main air saja. Kamu kalau mau mencuci pakaian, silakan “
Gayatri mengangguk lalu menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk mencuci. Padahal, ada rasa tak nyaman dalam hatinya. Melihat tingkah yang tidak biasa dari lelaki yang sedang mengisi hatinya.
Mengalihkan pikirannya, Gayatri mulai mencuci pakaiannya satu persatu. Beberapa menit kemudian, matanya telah tidak menemukan keberadaan Wijaya. Entah kapan laki-laki itu meninggalkan sungai.
Beberapa waktu kemudian, Gayatri telah selesai mengerjakan pekerjaannya. Pada saat menginjakkan kaki di depan rumahnya untuk menjemur pakaian, tiba-tiba saja matanya melihat adanya satu kelompok dengan banyak prajurit mengendarai kudanya. Siapa mereka sebenarnya?
“Gayatri, masuk ke rumah sekarang!” teriak Wijaya sembari berlari meninggalkan tempat. Gayatri pun hanya bisa menuruti perkataan dari pria itu. Masuk ke rumah lalu membantu ibunya yang sedang memasak. Walaupun, hatinya masih terasa ganjal dengan sekelompok orang tadi. Lalu, kenapa Wijaya berlari ke arah kerajaan?
“Kalian baik-baik di dalam rumah,” ujar Prabu Tengker meninggalkan rumah saat mendengar adanya suara bising dari luar rumah. Dia pergi melalui pintu belakang. Apakah akan ada perang hari ini? Pikiran Gayatri semakin kalut dengan asumsinya sendiri. Tapi, dia harus bisa mengelola perasaan tidak tenangnya, demi ibunya.
“Kang Mas!” teriak Tunggadewi menatap kepergian suaminya. “Gayatri, Ayah mau ke mana? Oh iya, di luar ada apa, kenapa ramai?”
“Gayatri tidak tahu, Bunda. Kita cukup di rumah berjaga diri seperti yang dikatakan Ayah. Nanti juga Ayah pasti pulang dengan keadaan yang baik-baik saja.” Gayatri melanjutkan untuk menjaga api dari kayu bakar agar tetap membara.
Gayatri melihat dari balik tirai. Suatu kejadian yang membuat hatinya cemas. Dua orang laki-laki yang ia cintai sedang berjuang di garis terdepan dalam melawan musuh. Benar kata raja beberapa waktu lalu, musuh bisa datang kapan saja. Bahkan, tanpa kabar yang jelas mereka datang tiba-tiba membawa sejumlah senjata berperang.
Beruntung, Wijaya telah memberikan banyak pengetahuan tentang cara mengelabuhi musuh. Berharap apa yang sudah disampaikan olehnya dapat dimengerti dan dipraktikkan oleh mereka. Tak disadari, Wijaya lengah sekejap. Alhasil, lengan kananya tertembak pistol milik lawan. Menahan sakit, Wijaya berlari untuk menjauh sementara waktu dari musuh.
“Jaya, bertahan sebentar,” lirik Prabu Tengker yang sedang berada di sebelah kanan Wijaya.
Beberapa waktu kemudian, ketua dari kelompok musuh menghentikan perangnya. Katanya, ada sesuatu di wilayah kekuasaannya yang mengharuskan mereka segera kembali demi keutuhan wilayah. Suatu hal yang aneh, mereka ingin merampas wilayah kerajaan kain, tapi rupanya kerajaannya sendiri sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Wijaya dibantu oleh Prabu Tengker kembali ke rumah. Masuk ke ruangan sederhana. Duduk di bangku sembari membantu membersihkan darah yang masih saja mengalir. “Dasar, memberi ilmu agar para pemuda bisa mengelabui musuh, rupanya kamu sendiri yang tertembak.” Prabu Tengker beranjak mengambil kain putih untuk menutup lukanya.
“Aw,” lirihnya.
“Ayah, Wijaya kenapa?” tanya Gayatri yang baru saja keluar dari kamarnya. Tidak lama kemudian, disusul oleh Tunggadewi. Mereka duduk bersama di sebuah ruangan yang jauh dari kata mewah. Tapi, pembicaraan mereka begitu berbobot dan mahal. Jarang-jarang, mereka membicarakan sesuatu yang baru dan masih terdengar tabu.
“Kamu itu aneh, orang lagi sakit masih sempat-sempatnya mengajak untuk membahas sesuatu yang berat. Bahkan, menahan rasa sakit di lukamu saja sudah berat, kan?” kata Tunggadewi sembari beranjak. Beliau berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum. Menyadari kondisi Wijaya yang pucat. Apalagi tubuhnya lemas akibat kehilangan banyak darah segarnya.
“Gayatri, kamu sudah hafal?” tanyanya tanpa menatap Gayatri, karena merasa takut dengan Prabu Tengker yang masih duduk manis di tempatnya.
“Iya, sudah. Tapi, ya, masih mengeja pelan-pelan.”
“Ayah tinggal sebentar,” katanya beranjak pergi.
Kini, tinggal ada Wijaya dan Gayatri saja di ruangan itu. Wijaya merintih kesakitan ketika lengannya terkena angin. “Sebentar saya ambilkan minum,” katanya sembari beranjak. Dia saja heran dengan ibunya yang tidak kunjung kembali membawakan minuman.
Wijaya merasakan rasa sakit di lengannya, tapi dirinya juga merasakan sebuah rasa rindu yang terobati. Rindu dengan suasana kumpul bersama keluarga. Kini, semuanya terobati walau bersama dengan keluarga Gayatri. Setidaknya, suasana itu kembali dalam beberapa waktu.
“Ternyata Bunda pergi juga, saya pikir membuat minum,” katanya meletakkan dua gelas di meja. Mempersilakan kepada Wijaya untuk menikmati jamuannya, walaupun hanya air putih dan ketela rebus. Menu sederhana yang mampu membuatnya semakin meleleh. Adanya jamuan itu memperlihatkan betapa ramahnya gadis itu. Selain itu, Wijaya semakin merasa terpesona akan tingkahnya kala menjamu dirinya. Merasa lebih istimewa dan terasa mendapatkan sesuatu yang spesial dari seseorang yang ada di dalam hati.
“Terima kasih, ya, rasanya kita malah seperti .... “
“Seperti apa?” tanya Gayatri dengan hati yang dibuat melayang.