Wijaya tidak menjawab pertanyaan dari Prabu Tengker. Sampai akhirnya, beliau pergi kembali untuk segera ke sungai. Sedangkan, Wijaya masih bersama dengan dua wanita di rumah itu untuk melanjutkan bersih-bersih.
Beberapa waktu kemudian, Wijaya mengangkat singkong itu. Bahan dengan tekstur yang kering. “Disimpan dulu, tanganku masih nyeri,” kata Wijaya memberikan singkong itu kepada Gayatri.
Setelah itu, Wijaya kembali ke rumahnya untuk istirahat. Selain itu, waktu pun telah menunjukkan pukul enam sore. Ditemani ruangan yang begitu bersih dan rapi. Dirinya beristirahat sembari membersihkan luka di lengannya agar segera sembuh.
Sedangkan, Gayatri masih berada di dapur bersama dengan Tunggadewi. Dia menghangatkan tubuhnya di dekat bara api. “Memang ini mau dipakai untuk apa?” tanya Prabu Tengker yang baru saja keluar dari ruang tengah rumahnya.
“Gayatri tidak tahu, Ayah. Itu tadi ulah Wijaya,” jawab Gayatri masih menghadap ke arah tungku.
Keesokan harinya, Wijaya pergi ke sungai. Mengambil air untuk stok di rumah. Tak sengaja melihat Gayatri yang sedang membawa pakaian kotornya di dalam keranjang dari rotan. “Kamu mau ke sungai?” tanya Wijaya.
“Iya, kamu mau mengambil air?” Gayatri melihat Wijaya yang hanya mengangguk. “Mending jangan dulu, tanganmu saja masih sakit,” sambung Gayatri.
Wijaya melangkahkan kaki tanpa menjawab perkataan dari gadis itu. Dia tidak ingin menjadi laki-laki yang lemah. Luka di tangannya sudah jauh lebih membaik. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk merepotkan orang lain.
Mengambil air di sungai menggunakan bekas dirigen besar berwarna biru. Tidak kama kemudian, Gayatri telah sampai di sungai. Tatapan mereka bertemu dalam beberapa detik. Sebuah hal yang disukai oleh Wijaya, tatapan teduh milik gadis itu. Wijaya melenggang melalui sebelah kanan gadis itu. Mengangkat dirigen besar itu pada bahunya. Terasa nyeri di lengannya, tapi tidak menyurutkan semangatnya untuk membawa air itu sampai di rumah.
“Duh, apa ada yang salah, ya?” lirih Gayatri setelah Wijaya pergi dari hadapannya.
Beberapa waktu kemudian, Wijaya datang ke rumah Gayatri. Dia ingin membuat sesuatu yang baru. Terutama pada makanan yang akan dikonsumsi. Singkong rebus setiap hari, sebuah makanan sederhana yang lezat, tapi juga merasakan bosan.
“Wijaya kamu mau membuat apa?” tanya Tunggadewi yang sedang menumbuk singkong rebus. Sebuah olahan singkong yang baru dia tahu. Sebab, selama ini Wijaya hanya bisa menyantap singkong rebus tanpa ada bahan pendukung lainnya. “Ini namanya mau membuat gethuk,” sambungnya yang mengerti arah mata Wijaya.
“Oh iya, nanti saya pinjam alat untuk menumbuknya, ya,” jawabnya tersenyum.
Wijaya melangkah ke bangku kecil yang ada di dekatnya. Duduk di sana melihat cara Tunggadewi menumbuk singkong rebus. Tidak lama kemudian, Prabu Tengker masuk melalui pintu belakang. “Sedang membuat apa?”
“Makanan untuk sarapan,” jawab wanita yang mengenakan kebaya berwarna hitam itu.
“Kamu sudah berapa lama di sini?” tanyanya ke arah Wijaya yang sedang duduk di bangku. Bahkan, dirinya dengan santai menghadap ke api untuk mencari kehangatan di tengah rada nyeri lengannya akibat terkena air sewaktu di sungai tadi.
“Baru saja, kok, calon Ayah mertua,” jawab Wijaya asal.
Tidak lama kemudian, Wijaya mengambil singkong yang telah mengering. Menuangkan sedikit demi sedikit ke dalam wadah dari kayu itu. Menumbuknya sampai memiliki tekstur lembut. Bahkan, terlihat sangat lembut. Dia melakukan hal itu sampai menghabiskan kurang lebih enam jam.
“Tanganmu baik-baik saja?” tanya Prabu Tengker yang masih tidak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh laki-laki itu.
“Tidak apa, kok,” Wijaya masih melanjutkan menumbuk singkong yang kedua kalinya.
“Sini, biarkan saya ganti,” katanya.
Prabu Tengker melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Wijaya. Walaupun, dalam pikirannya masih bingung dengan kegunaan bahan itu. “Nantinya ini dipakai untuk apa?”
“Bisa untuk membuat makanan yang berbeda. Seperti, roti,” jawab Wijaya.
Beberapa waktu kemudian, semua singkong telah selesai ditumbuk. Mereka menikmati singkong rebus yang telah diolah menjadi gethuk. Selama satu hari penuh, Wijaya menghaluskan singkong itu. Sebuah tepung tradisional yang bisa dimanfaatkan untuk membuat aneka makanan yang lebih kekinian. Salah satu cara yang dilakukan Wijaya agar kerajaan lebih maju. Bukan hanya dari segi pemikiran saja, tapi semua aspek seharusnya dilakukan pembaharuan. Akan tetapi, tidak juga meninggalkan apa yang menjadi ciri khas mereka.
Sekitar pukul tujuh malam, baginda raja datang ke rumah Prabu Tengker untuk menghadiri undangan dari tuan rumah. Beberapa waktu lalu, Prabu Tengker memang mengundang raja untuk melihat sebuah olahan dari Wijaya.
“Maaf, Baginda, seharusnya saya yang membawa olahan ini ke kerajaan untuk meminta persetujuan ataupun masukan. Tapi, sekarang malah Baginda yang datang ke mari,” kata Wijaya lalu memperlihatkan bubuk yang telah ia hasilkan.
“Tidak apa-apa, Wijaya. Saya bangga dengan kamu. Walaupun, saya tidak tahu dari mana asal kamu. Tapi, kamu membawa banyak sesuatu untuk kerajaan. Kemarin, kamu berhasil membuka pemikiran pemuda dan pemudi, memberikan ilmu sedikit demi sedikit, lalu sekarang kamu membuat sebuah olahan yang berbeda. Kalau saya boleh tahu, apa kegunaan dari olahan ini?” tanyanya setelah melepaskan pelukan.
“Sebelumnya, silakan duduk, Baginda,” jawab Wijaya mengajak raja untuk duduk di bangku yang ada di rumah Prabu Tengker. Mereka duduk bersama di satu ruangan, ditemani dengan minuman air putih dan gethuk. “Olahan ini, seperti gandum, tapi dibuatnya dari singkong. Olahan ini nantinya bisa diolah lagi. Bisa untuk membuat roti. Sebuah makanan untuk selingan singkong rebus.”
“Baik, selain itu, kegunaannya apa lagi?” tanya raja lagi.
Wijaya terdiam. Sebenarnya, dirinya belum mengerti dengan bahan itu. Bahkan, tekstur yang didapatkan ketika tepung itu dicampur dengan air, saja dirinya belum tahu. “Begini, saya sebenarnya pun belum tahu lebih banyak. Bagaimana jika kita sama-sama mencari lebih lanjut kegunaan dari tepung ini?”
“Caranya?” tanya Tunggadewi yang turut penasaran.
Wijaya beranjak mengambil air dan satu mangkok yang terbuat dari gerabah. Kembali duduk di tempatnya. Menuangkan beberapa sendok tepung, kemudian memberikan air untuk melihat tekstur. Ternyata, tekstur setelah diberi air, adonan itu terlihat begitu mengental.
“Masa iya bisa buat kue,” kata Gayatri.
“Iya, juga, sih. Tapi, suatu saat nanti, pasti akan ada olahan yang bisa dicampurkan dengan bahan ini. Akan ada kue dan beberapa olahan makanan yang membutuhkan bahan ini. Mungkin, besok bisa saya coba lagi untuk membuat salah satu makanan yang menggunakan bahan ini.” Wijaya menatap ke arah raja untuk mendapatkan dukungan dalam percobaannya.
Raja yang memiliki sifat dermawan pun menyanggupi apa yang akan dilakukan oleh Wijaya. Bahkan, dia akan membantu dalam hal itu. Alasannya, jelas saja, kegiatan itu akan membawa kerajaan lebih maju dan akan diakui oleh dunia.
Setelah terjadinya sebuah kesepakatan, akhirnya mereka membubarkan diri. Wijaya pun telah sampai di rumahnya kembali. Istirahat setelah seharian berkutat dengan singkong dan alat menumbuk. Tangannya terasa sakit, apalagi bagian lengan yang baru saja akan sembuh, kini terasa sangat nyeri. Bahkan, rasanya dia ingin menangis sekeras mungkin. Tapi, dia mengurungkannya. Bukankah tidak lucu jika seorang laki-laki bak pahlawan, secara tiba-tiba mengeluarkan air mata?
Keesokan harinya, Wijaya telah siap untuk pergi ke kerajaan. Tapi, pada saat ingin mengambil bubuk tepung itu, Prabu Tengker tidak mengizinkannya. Lantas ada apa dengannya? Wijaya bingung dengan tingkah Prabu.
“Baik, tapi ada syaratnya,” katanya, “setelah itu, kamu pergi dari tempat ini. Saya tidak suka kalau kamu menjadi dekat dan dianggap tangan kanan oleh Raja,” sambungnya sembari tersenyum licik.
Sekitar pukul setengah tujuh, mereka berjalan ke kerajaan bersama. Sampai di sana, Wijaya bersama Prabu Tengker masuk ke bagian dapur. Banyak pembantu yang sedang memasak dan mengolah aneka masakan. “Bu, ada gandum?” tanya Wijaya kepada salah satu petugas kerajaan yang sedang menyalakan kompor.
Wijaya mulai mengeksekusi gandum dengan campuran tepung yang dibawa. Jika berbicara teori, Wijaya tidak bisa. Apalagi, untuk memasak makanan yang berbeda dari biasanya. Tentu saja, tidak bisa. Tapi, demi sebuah inovasi, dia rela mengorbankan waktu dan tenaganya. Mulai membuat adonan, selayaknya adonan kue.
“Maaf, seharusnya bukan gandum. Ehm, Bu, ada tepung yang digunakan untuk membuat bubur?” tanya Wijaya menghentikan tangannya yang mengaduk adonan.
Wijaya mengulangi membuat adonan. Mencampurkan air santan, tepung beras, dan tepung singkong. Kemudian, ditambah dengan sedikit garam, dan gula sesuai seleranya. Kemudian, menyalakan api untuk memasaknya sampai mengental. Kemudian, dia membaginya menjadi dua bagian.
Bagian pertama, ia mencampurkan warna hijau yang dihasilkan dari daun suji. Kemudian, satu bagian lagi dicampurkan warna merah keunguan yang dihasilkan dari buah naga. Sebuah paduan warna yang cantik untuk membuat kue lapis. Sebuah makanan yang Wijaya olah pertama kali. Perihal rasa, dia tidak tahu akan seperti apa nantinya.
Semua proses pengukusan telah selesai. Kue yang dimaksud oleh Wijaya pun telah selesai. Menunggu dingin untuk bisa mencicipi. “Wijaya, kamu makan apa? Kenapa otakmu begitu cerdas?” tanya raja dengan bangganya. Sebuah rasa bangga yang tidak akan berhenti terhadap sosok pria yang membawa kerajaan lebih baik lagi, walaupun secara perlahan.
“Saya makan, ya, makanan biasa. Sama saja dengan orang-orang.”
Mereka melangkah ke arah ruang tengah kerajaan. Duduk sembari berbincang santai. Disertai canda dan tawa agar bisa mencairkan suasana yang tidak kaku. “Wijaya, ini sudah dingin,” kata salah satu pegawai kerajaan yang bekerja di bagian dapur.
“Terima kasih,” jawabnya.
Prabu Tengker bersama dengan raja pun mencicipi olahan itu. Sebuah kue pertama yang mereka konsumsi. Selama ini, di kerajaan ada tepung beras, akan tetapi hanya sebatas untuk diolah menjadi bubur saja. “Radanya enak, apalagi dengan bahan-bahan alami yang ada di dalamnya. Membuat makanan ini sehat dan layak untun dikonsumsi.”
“Kalian, coba ini kuenya,” kata raja sembari menunjuk beberapa pekerja kerajaan yang sedang membersihkan bagian ruang tengah. Aksi dari sang raja pun membuat Wijaya kagum dengannya. Sosok pemimpin yang tidak pernah memandang seseorang dari harta dan jabatan. Wijaya yakin bahwa kerajaan akan bangkit dan maju bersama pemimpin yang baik dan royal kepada siapa saja.
Beberapa pekerja pun menghampiri ke arah raja. Menerima satu piring berisi kue yang telah dimasak oleh Wijaya. Mereka pun satu pendapat dengan raja. Cita rasa dari kue itu begitu berbeda. Mungkin, karena pertama kalinya menikmati makanan bernama kue.
“Prabu, kamu tidak ingin mencicipinya?” tanya raja sembari menatap wajah Prabu Tengker yang duduk di sebelah kanannya.