Dua hari kemudian, Wijaya sedang mengikuti pembelajaran di ruang kelasnya. Di sana, tiba-tiba Aura duduk di bangku sebelahnya. Kebetulan, bangku itu kosong. “Ra, kamu kenapa di situ?” tanya salah satu mahasiswi di belakang Aura.
“Ya, sekali-kali duduk di depan.” Aura berdiri membenarkan roknya.
“Ra, kamu kan tinggi, kalau kamu duduk di situ, aku tidak bisa melihat papan tulis,” jawabnya.
Wijaya yang mendengarkan hal itu merasa tidak nyaman. Bukan karena perdebatan keduanya, akan tetapi ia merasakan tidak nyaman apabila salah satu temannya itu terganggu kegiatan belajarnya.
“Ra, kembali ke tempatmu.”
“Jaya, aku juga mau sekali-kali duduk di depan,” katanya dengan intonasi rendah seakan menggoda lawan bicaranya.
“Ra, jangan egois cuma karena mau duduk di sebelahku. Lihat belakangmu, dia terganggu kalau kamu duduk di situ. Kembali ke tempatmu.”
Aura mengalah daripada harus berdebat dan dinilai jelek oleh Wijaya. Aura berjalan ke belakang untuk kembali ke tempat duduknya. Tidak lama kemudian, dosen yang akan mengajar di kelasnya telah datang.
“Selamat pagi semuanya ... Baik, hari ini saya akan mengajak kalian bermain keliling dunia.” Dosen itu berjalan untuk mempersiapkan proyektor untuk presentasinya.
Setelah sekitar delapan menit, papan proyektor telah menyala. Di sana, telah terpampang sebuah presentasi milik dosen. Hari ini kelas diisi dengan pelajaran geografi. Jangan salah, di sini tidak hanya membahas tentang iklim, penduduk, dan lain-lain, akan tetapi seperti biasanya, dosen akan merembet membahas ke sejarah dari negara yang disinggahi ketika pembelajaran dimulai.
“Pak Aryo, sebelum pembelajaran dimulai, saya mau minta izin sebentar.” Tiffani—salah satu mahasiswi yang duduk di barisan belakang—mengangkat tangannya.
“Silakan,” jawab Pak Aryo—dosen geografi.
“Pak, saya minta izin untuk memberikan saran. Saya mohon kepada Bapak untuk tidak membahas perihal sejarah. Sebab, kepala kami sebagai mahasiswa seakan meledak jika harus menampung sejarah negara lain. Sejarah Indonesia saja, rasanya berat untuk diingat.”
Pernyataannya membuat seluruh isi kelas menjadi riuh. “Nah benar, Pak. Rasanya jauh lebih berat daripada putus cinta,” sahut salah satu mahasiswa yang terkenal urakan.
“Tenang ... Saya hari ini akan mengajak kalian bersenang-senang sebelum masuk ke materi. Saya tahu generasi muda seperti kalian ini sedang nyaman dengan hubungan yang dibilang serius, tapi statusnya tidak tercatat dengan resmi alias pacaran. Sekarang dengarkan sebuah lagu ini yang saya gunakan sebagai lagu penghantar materi.”
Pak Aryo memutar sebuah lagu. Dari isinya telah memberikan kesan yang biasa. Sebuah lagu bertemakan cinta. Akan tetapi, iramanya yang indah mampu membawa perasaan pendengarnya. Sebuah lagu milik Ify Alyssa bersama Adhitia Sofyan yang berjudul dua insan telah terdengar di indra pendengaran dengan merdu. Tapi, sayang Pak Aryo hanya memutar pada bagian reff saja.
“Pak, gak nyambung. Masa pelajaran geografi penghantarnya lagu cinta,” sanggah Jaya.
“Biar teman-temanmu bahagia.” Pak Aryo berjalan ke tengah-tengah mahasiswa. Ia membawa mouse yang bisa dipakai tanpa dihubungkan ke laptopnya.
“Baik, kita mulai dari jalan-jalan ke Benua Eropa. Kita masuk ke Negara Belanda.” Pak Aryo berjalan ke depan. “Pasti semua warga Indonesia kenal dengan Negara Belanda. Saking kenalnya, menamai semua orang asing dengan ‘Londo’. Negara Belanda menjajah Indonesia selama berapa lama?”
“Nah, baru tadi diprotes sama Fani, Pak!” teriak salah satu mahasiswa yang memakai kemeja polos berwarna hijau kebiru-biruan.
“Ha ha, iya juga ya, baik tidak perlu dijawab. Pasti sudah dijelaskan dengan dosen sejarah kalian. Sekarang, kita masuk ke bagian pertama yaitu tentang penduduk di sana. Nah, penduduk di Belanda itu ... menurut kalian bagaimana?”
Wijaya menaruh bolpoinnya di meja. “Negaranya berkulit berbeda dengan kita, Pak.”
“Jaya, apa yang menyebabkan kulit orang Indonesia berbeda dengan kulit orang Belanda?” jawab Pak Aryo.
Wijaya menghela napasnya. Semisal tahu akan ditanyai lebih mendetail, lebih baik Wijaya diam tidak menjawab. Akan tetapi, tidak sopan apabila tidak menanggapi seorang guru yang sedang bertanya. “Harus dijelaskan secara mendetail, Pak?” tanya Wijaya dengan sopan.
Pak Aryo hanya menganggukkan kepalanya. Artinya, Wijaya harus mencari kalimat yang sederhana agar bisa dipahami oleh teman-temannya. Padahal, dirinya belum paham dengan hal itu. Tetapi, ya, sudahlah, Wijaya harus menjawab sebisanya.
“Kalau dalam agama saya, perbedaan itu terjadi karena Allah memang menciptakan manusia beraneka ragam, Pak.” Wijaya tertawa dengan jawabannya sendiri. “Bukan, Pak, sabar. Saya hanya bercanda. Baik terjadinya perbedaan kulit itu disebabkan karena faktor melanin atau zat pigmen pada manusia, Pak.”
“Jaya ... itu dalam dunia IPA. Kita itu belajar tentang geografi.”
Wijaya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tersenyum lalu memegang bolpoinnya. Tidak lama kemudian, ia teringat tentang sesuatu yang pernah ia dapatkan dari sekolah menengah atasnya. “Pak, saya ingat. Jadi, kenapa warna kulit manusia bisa berbeda-beda karena disebabkan oleh faktor iklim. Jadi, sebenarnya masih berkaitan dengan melanin yang saya sebutkan tadi. Seseorang yang tinggal di wilayah tropis cenderung akan memiliki kulit lebih gelap, sebab produksi melanin meningkat akibat jumlah paparan sinar ultraviolet yang banyak. Sedangkan, di Negara Belanda yang memiliki iklim laut sedang, mengakibatkan warna kulit lebih cerah karena paparan sinar yang lebih rendah daripada iklim tropis. Eh, apakah benar seperti itu, Pak?”
“Ya, benar. Salah satu faktor adanya perbedaan warna kulit adalah iklim dari suatu negara. Masih membahas tentang penduduk Belanda. Orang di Belanda jauh lebih cerdas daripada warga Indonesia. Kenapa bisa demikian?” Pak Aryo berjalan kembali ke tempat duduknya. Ia mendudukkan diri di sana. “Sebab, orang-orang di negara maju memiliki sikap disiplin yang tinggi. Karena memang tingkat pendidikan yang bagus adalah salah satu ciri-ciri negara maju. Dari Negara Belanda kita bisa belajar banyak dalam hal pendidikan. Bukan berarti sistim pendidikan di Indonesia buruk. Saya mengaku, bahwa negara kita ini telah memberikan sistim yang bagus dalam dunia pendidikan. Akan tetapi, kembali lagi pada karakter anak Indonesia yang cenderung tidak disiplin. Hal ini bisa kita lihat, banyak mahasiswa yang terlambat masuk kelas.”
Membahas mengenai manusia tidak akan ada titik selesainya. Sebab, manusia memiliki kelebihan, kekurangan, dan keunikannya sendiri-sendiri. Pelajaran geografi yang membahas mengenai penduduk Negara Belanda telah selesai sejak satu jam yang lalu. Kini, Wijaya sedang bergulat dengan materi sejarah yang memang menjadi pokok dari jurusannya. Belajar geografi, sebenarnya seru dan menyenangkan. Akan tetapi, banyak aspek yang membuatnya tidak mengerti. Allah Maha Besar, dengan geografi, kita bisa menyadari bahwa Allah begitu hebat menciptakan planet bumi dengan keanekaragamannya yang ada di berbagai belahan bumi.
“Huft, seharusnya, gue berkunjung ke daerah yang dulunya sebagai tempat berdirinya kerajaan ini. Paling tidak, gue harus mengunjungi salah saru peninggalannya agar bisa melakukan penelitian untuk tugas ini.” Wijaya menutup laptopnya. Kemudian, ia memutuskan untuk kembali ke rumah.