Rembulan Malam

1119 Kata
Malam harinya, Wijaya terduduk di dekat jendela kamarnya. Membuka gorden untuk melihat dengan jelas air yang menetes di kaca. Di temani air hujan yang menyejukkan, sekaligus menyesakkan d**a. Wijaya termenung memikirkan tugas yang seharusnya segera usai. Tapi, tidak bisa dikerjakan langsung. Sebab, dibutuhkan sebuah riset yang lebih mendalam. Menatap ke luar sembari menatap langit yang menggelap. Air yang masih turun, belum berhenti. Rembulan pun tidak menampakkan diri. Sampai bintang yang sama sekali tidak terlihat. Mengembalikan kursi ke tempat semula. Lalu merebahkan diri ke ranjangnya. Tertidur sampai subuh dengan nyenyak. “Alhamdulillah,” lirihnya. Melangkah ke ruang makan untuk sarapan. Kemudian, pergi ke kampus dengan mengendarai mobilnya. Sampai di kelas, Wijaya memilih duduk di bangku paling belakang. Dia enggan untuk bersebelahan dengan Aura. Perempuan yang mengejar-ngejar dirinya. “Loh, kok kamu di belakang?” tanya Aura sembari menunjuk Wijaya. “Biar enggak jadi anak pintar, terus. Sesekali jadi anak yang terlihat biasa saja,” jawabnya masih memainkan ponselnya. Tiga jam kemudian, kelas telah selesai. Wijaya bergegas pergi ke tempat parkir dengan menggendong tas ransel dan jaket denim yang tersampir di pundaknya. Mengemudikan mobilnya ke sebuah tempat. Sebuah restoran yang berciri khas makanan nusantara. Memesan gudeg satu porsi dengan air putih satu gelas. Duduk di bangku panjang paling ujung depan. Menikmati pemandangan yang sejuk karena adanya hujan gerimis. Berteduh sembari memainkan ponselnya dan menunggu pesanannya. “Silakan menikmati menu spesial di restoran kami,” ucapnya sembari meletakkan makanan yang dipesan. “Terima kasih,” jawab Wijaya. Satu jam berteduh di restoran itu, Wijaya kembali ke mobil. Mengendarai mobil ke arah jalan menuju rumah. Dia masih ada banyak pekerjaan yang perlu dikerjakan. Hanya butuh sekitar setengah jam, Wijaya telah duduk manis di depan laptopnya. Mengetikkan beberapa kata, kemudian merasa tidak ada kalimat yang bisa untuk diketik lagi. Keluar dari kamar menuju dapur. Membuat secangkir kopi kesukaannya agar sedikit tenang. Kemudian, menuju teras rumah menikmati orang-orang yang melewati depan rumah dengan ramah. Mengambil rokok dari kantong celananya. Menyesapnya sesekali sampai habis setengah. Bagian lainnya, ia buang ke tempat sampah yang tidak jauh dari kursinya. “Wijaya, ayo berpikir keras,” lirihnya sembari membawa cangkirnya. Lalu kembali masuk. Wijaya membuka pintu yang menghubungkan dengan balkon. Melangkah lalu duduk di sana sembari menikmati indahnya pemandangan langit ibu kota yang indah. Cuaca yang sejuk akibat mendung yang belum usai. Terdengar suara dering telepon. Terpaksa, Wijaya harus mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja kerjanya. Kemudian, kembali duduk di balkon untuk mencari ketenangan bersama pemandangan yang menenangkan mata, hati, dan pikiran. “Aura ... kenapa?” tanya Wijaya setelah menjawab salam. “Jaya, nanti malam berangkat ke konser, bisa enggak?” “Konser?” tanya Wijaya yang kurang menyukai dengan konser musik. Dia tidak begitu menyukai dunia yang penuh keramaian dan bising. “Memang konsernya di mana?” sambung Wijaya setelah mendengar itu tampak mengemis agar Wijaya bisa menemaninya. “Dekat, kok. Enggak jauh dari kampus,” jawabnya. “Oke, nanti kamu kirim alamatnya saja, ketemu di sana,” jawab Wijaya lalu mematikan sambungan telepon tanpa ada izin sebelumnya. Wijaya menuju depan almari. Membuka pintu lalu mengambil sebuah kemeja berwarna putih bercorak daun warna biru. Tidak kemudian, Wijaya menyetrika bajunya sendiri. Dia tidak akan menambah pekerjaan asistennya yang telah banyak beban. Kini, waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Wijaya telah sampai di depan tempat konser. Wijaya menunggu Aura yang masih ada di jalan. “Hai, terima kasih, ya, sudah mau menemani ke konser,” katanya dengan tersenyum manis. Wijaya hanya mengangguk pelan. “Andai saja, ke sini sama perempuan yang memang aku sukai,” lirihnya. “Jaya, kamu suka sama Aura?” tanyanya. Wijaya hanya menatapnya sekejap. Dia melangkah pergi untuk mendekat ke arah panggung. Dia mengikuti acara konser salah satu artis yang diidolakan oleh Aura. Seorang penyanyi kondang yang baru saja naik daun. Tapi, Wijaya merasa tidak nyaman berada di lingkungan saat ini. Berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan lagu. “Ra, lima menit lagi pulang,” kata Wijaya sembari menyentuh pundak perempuan yang sedang berjoget ria mengikuti melodi dangdut itu. Tapi, Aura hanya menatap matanya sekilas. Beberapa waktu kemudian, acara telah diganti dengan perayaan kembang api sebagai celah acara berjoget dan bernyanyi bareng. Mereka menatap langit yang ramai dengan kembang api. Sebuah perayaan yang sedikit mewah dan bisa membuat tenang pikirannya yang masih harus dipenuhi dengan riset sejarah. Tapi, ada sesuatu yang menarik matanya. Di antara ribuan kembang api yang menyala indah, ada sebuah rembulan yang terang. Benda langit yang memberi warna malam itu. Wijaya memejamkan matanya. Dia teringat akan perkataan dari ibunya bahwa, ketika melihat rembulan di langit dengan bundar indah, ucapkan doa yang terbaik kepada Tuhan. “Tuhan, berikan aku kesuksesan dalam segala hal,” kata Wijaya dengan suara yang nyaris tidak terdengar. “Jaya, kamu tahu kenapa kembang api itu bisa terlihat indah?” tanya Aura sembari membenarkan rambut panjangnya yang telah tidak rapi lagi. “Kenapa memang?” jawabnya tanpa menatap gadis di sebelah kanannya. “Karena mengelilingi rembulan dan aku menatapnya bersama kamu,” godanya. “Pulang, ya,” kata Wijaya sembari melangkah meninggalkan tempat itu. Aura hanya menatap kepergian temannya itu. Lebih tepatnya, gebetan yang belum juga bisa meluluhkan hati. Wijaya sendiri meninggalkan tempat dengan mobilnya. Sekitar tiga puluh menit, akhirnya mobil sudah sampai di halaman rumahnya. Wijaya duduk di ruang tamu seorang diri. Memainkan ponselnya dengan membuka sebuah aplikasi video. Mencari sesuatu yang bisa menghiburnya. Saat ini, dia terlihat suntuk dan belum merasakan kantuk. Sekitar pukul setengah dua belas malam, tiba-tiba saja ada sebuah asap yang keluar dari arah dapurnya. Wijaya melenggang ke dapur untuk melihat sesuatu. Tapi, tidak ada apa-apa di sana. Bahkan, kompor saja dalam keadaan mati. Wijaya menggelengkan kepala. Merasakan keanehan itu lalu lari menuju kamar. Menutup pintu dengan dikunci lalu merebahkan diri. Tapi, tetap saja matanya belum bisa di pejamkan. Bahkan, malah semakin terasa segar. Beranjak dari ranjang lalu mengambil sarungnya. Keluar duduk di balkon menikmati suasana yang tidak nyaman di tengah malam. Tapi, dengan begitu, Wijaya merasakan suasana yang biasa saja. Seakan-akan telah terbiasa dengan hal itu. Menatap ke atas, bulan masih ada di langit. Begitu indahnya langit saat itu. Dia mengabadikan langit dengan sebuah kamera ponselnya. “Biarkanlah. Bulan tidak hanya dinikmati oleh perempuan saja,” katanya. Membuka pesan dari grup kelas. Di sana ada sebuah pembagian tugas yang harus dikerjakan dalam waktu satu minggu ke depan. Padahal, tugas itu telah diberikan sejak beberapa hari yang lalu. Mungkin, maksud dari dosennya adalah informasi perpanjangan waktu pengumpulan saja. “Untung, jadi bisa mencari riset lebih banyak,” katanya menutup pintu yang menghubungkan dengan balkon. Meletakkan ponsel ke meja samping ranjang lalu menjemput mimpi sekitar pukul setengah satu dini hari. Sebuah kebiasaan buruk yang tidak seharusnya dipelihara. Memejamkan mata dengan posisi tidur menghadap ke kanan. Terbawa mimpi yang mungkin akan menjadi kenyataan di suatu hari nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN