Adaptasi

1105 Kata
Wijaya kaget ketika melihat binatang itu melintas di hadapannya. Ketika ingin mencarinya agar bisa dibuang ke luar ruangan, binatang itu telah menyelinap di suatu tempat yang sempit. Wijaya menata barang-barangnya di pojok ruangan, tanpa membongkar kopernya. Dia memulai membereskan barang-barang yang memang sudah ada di dalam sana. Bukan membuang, tapi menata ulang agar ruangan terlihat lebih luas. Setelah merasa bersih dan rapi, Wijaya melanjutkan untuk membersihkan diri. Sekitar pukul sembilan malam, Wijaya rebahan di kasur sembari menghubungi ibunya di Jakarta. Ratih sedang duduk di ruang tamu menikmati kesendirian ditemani dengan secangkir air teh panas dan roti kelapa. “Kamu sudah makan?” tanya ibunya sembari tersenyum manis yang terlihat dari layar lebar itu. “Belum, Ma. Lupa enggak beli makan, nanti perut dikasih air sampai kembung,” jawab Wijaya sembari tertawa receh. Waktu tak terasa telah semakin larut. Sambungan panggilan video telah berakhir. Wijaya memejamkan matanya dengan tenang. Tertidur sampai pukul lima pagi. Bangun, lalu menuju kamar mandi. Membersihkan diri selama lima belas menit saja. Menunaikan dua rakaat disambung berdoa agar diberi kesehatan dan keselamatan serta doa baik lainnya. Sekitar pukul setengah enam pagi, Wijaya pergi berolahraga menelusuri tepi jalanan kota Palembang, lebih tepatnya sekitar tempat kos. Setelah puas dengan lari, Wijaya mampir di sebuah warung kecil dengan berdagang bubur ayam. Memesan satu porsi dan satu botol air mineral. Memberikan energi di pagi hari dengan satu mangkuk bubur ayam yang gurih. “Mas, bukan orang sini?” tanya penjualnya yang ramah. “Bukan, Pak, saya dari Jakarta. Sedang berlibur saja,” jawab Wijaya dilanjutkan memberikan senyum ramahnya. Melestarikan ciri khas orang Jawa yang terkenal dengan keramahan dan sopan santunnya. “Bapak jualan sudah lama?” sambung Wijaya. “Sudah sepuluh tahun. Tapi, ya, namanya berdagang, kan, tetap ada pasang surutnya,” jawabnya lalu izin untuk kembali melayani pembeli yang lainnya. Wijaya menikmati sarapannya ditemani langit Palembang yang begitu memesona. Cerah berawan dan begitu bersih. Sebuah pemandangan yang membuat mata jauh lebih segar. Wijaya menyelesaikan sarapannya sekitar lima belas menit, kemudian kembali menelusuri jalanan. Beradaptasi dengan tempat baru merupakan kewajibannya saat ini. Sebab, berada di kota orang, ibarat kata harus memulai dari nol. Menyesuaikan dengan kultur bahasa dan budaya yang ada di tempat sekitar. Berjalan sembari menikmati jalanan yang mulai macet. Ternyata, kemacetan tidak hanya terjadi di Jakarta saja. Kota-kota lain pun telah mengalami hal itu. Tapi, bedanya di tempat baru itu Wijaya merasakan udara yang belum terlalu tercemar polusi udara. Melihat adanya beberapa becak yang berbaris di seberang jalan. Melangkahkan kaki untuk menyeberangi jalan saat lampu merah. Berkeliling selama setengah jam menggunakan jasa becak, membuat Wijaya mengetahui banyak hal. “Pak, tempat di Palembang yang masih kental akan sejarah di daerah mana?” tanya Wijaya dengan tukang becak yang masih setia mengayuh pedal agar becak bisa berjalan menelusuri jalanan. “Aduh, saya tidak tahu, Mas,” katanya mengelap keringat yang turun ke hidungnya, “mungkin, bisa bertanya sama anak-anak muda yang tahu tentang tempat wisata, Mas,” sambungnya. Wijaya mengangguk lalu membuka ponselnya. Memfoto pemandangan yang ada di kota Palembang. Begitu indah dan membuat mata lebih segar. Selain itu, dengan foto itu akan memberikan kenangan tersendiri di kemudian hari. Telah banyak gambar yang terjepret di ponselnya, Wijaya turun si tempat yang sama. Membayar uang sebanyak dua ratus ribu lalu melangkah kembali ke tempat kos. Masuk ke kamar mandi untuk membersihkan kotoran yang menempel di badannya. Setelah selesai, dia keluar kembali dari kos. Duduk di sebuah bangku pinggir jalan seorang diri. Merasa kebingungan lagi untuk mencari tempat yang sesuai untuk mencari tahu tentang tempat untuk penelitiannya. Benar-benar definisi adaptasi kembali. “Mas, kenapa?” tanya salah satu pemuda yang baru saja melintas. “Eh, maaf, ada apa?” jawab Wijaya yang merasa tidak mengerti dengan pertanyaannya. Apalagi, mereka tidak saling mengenal satu dengan yang lainnya. “Enggak, saya melihat kamu melamun, hp saja hampir terjatuh,” jawabnya duduk di sebelah Wijaya. “Apa ada sesuatu?” tanyanya dengan ramah. “Mas, saya kan baru saja sampai di sini. Saya dari Jakarta. Saya ingin mencari informasi tentang tempat-tempat yang bisa digunakan untuk penelitian,” kata Wijaya dengan jujur. Daripada berterus-terusan dengan pikirannya yang tetap saja pusing, lebih baik mencoba untuk mencari tahu dari orang lain, walaupun tidak mengenalinya. “Oh iya, namaku Wijaya,” sambung Wijaya. “Tempat penelitian? Memang mengangkat tema apa?” tanyanya. “Sejarah, tentang kerajaan-kerajaan dan beberapa tentang sejarah yang ada di sini,” jawab Wijaya dengan mantap. “Oke, nanti aku bantu. Oh iya, sampai lupa. Namaku Randa.” Pemuda itu mengambil ponselnya. Membuka internet untuk mencari tentang salah satu tempat bersejarah di daerah Palembang. Sebuah tempat yang memiliki sejarah tentang sebuah kerajaan. Kerajaan Sriwijaya yang begitu terkenal. Sebuah kerajaan yang berjaya di Pulau Sumatra ketika belum terbentuknya Negara Indonesia. “Randa, maaf, apa kamu tahu tempatnya?” tanya Wijaya yang merasa bosan menunggu Randa mencari informasi di internet. “Kenapa malah buka internet. Kalau buka di sana, aku juga bisa,” sambungnya. “Enggak usah banyak bacot!” teriaknya menunjukkan sebuah peta yang akan dilalui agar sampai di tempat yang dimaksud. “Tinggal ikuti gue saja,” sambungnya menatap Wijaya yang tengah duduk. Matanya memutar heran dengan perkataan Randa. Di sisi lain, dia merasa takut jika akan terjadi sesuatu. Mengingat, mereka merupakan dua orang yang saling asing. “Enggak usah canggung. Anggap saja sudah kenal lama. Aku tipe orang yang mudah beradaptasi sama orang. Daripada berlama-lama, mendingan juga langsung pergi ke tempat itu,” kata Randa menggendong tas ranselnya. Wijaya masih duduk di bangku dengan segala rasa resah. “Kalau kamu tetap bengong, bagaimana mau melakukan penelitian?” sambungnya menatap Wijaya dengan perasaan agak kesal. “Tunggu, kenapa kamu mau membantuku?” tanya Wijaya untuk memastikan agar tidak terjadi sesuatu di kemudian waktu. Wijaya masih terduduk di bangku. Sama sekali tidak bergeser ataupun berdiri. Sebab, masih merasa bingung dengan semua yang dihadapi saat ini. “Kamu tidak ada maksud lain kan?” sambungnya sembari meletakkan ponsel ke dalam tas kecil berwarna hitam yang ada di tubuhnya. “Karena aku baik.” Randa tertawa. “Karena aku tahu rasanya orang melakukan penelitian. Apalagi tidak ada teman, rasanya berat. Itu terjadi sama aku tahun lalu. Makanya, aku mau membantu kamu. Kebetulan juga, aku warga sini, jadi setidaknya mengerti walaupun hanya sedikit,” sambungnya. Wijaya berusaha meyakinkan hati. Kemudian, ikut Randa melangkah untuk menunu sebuah tempat sejarah pertama yang dijadikan tempat penelitiannya. Mereka harus menempuh beberapa kilo meter dengan memakan waktu yang lumayan lama. Dipenuhi perjuangan yang besar, akhirnya mereka telah sampai di tempat itu. “Nah, di sini tempat pertama yang bisa dijadikan sebagai wadah mencari informasi.” Randa melepas helm yang ada di kepalanya. “Maaf, Mas, tempat ini sedang .... “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN