Keesokan harinya, Wijaya bersama dengan Gayatri sedang duduk di halaman rumah. Menunggu sinar mentari yang akan menghangatkan bumi. Tapi, nyatanya tak muncul. Gayatri memberikan satu piring singkong rebus dan air putih dalam gelas. Padahal, dalam pikiran pria itu akan diberi makanan yang spesial. Nyatanya, sama saja dengan makanan sebelum mereka menikah. Cuaca yang mendung pun mendukung adanya singkong rebus yang masih panas itu.
“Kenapa?” tanya Gayatri yang melihat pria di sebelahnya tampak lesu.
“Saya pikir akan diberi makanan yang spesial.”
“Jangan salah, walaupun hanya singkong rebus, tapi itu sangat spesial.” Gayatri tertawa tipis sembari menyentuh rambut pria itu. Di kepalanya terdapat semut merah yang jatuh dari batang pohon di belakangnya. “Kamu tahu apa yang membuat singkong rebus itu menjadi lebih spesial?” sambungnya.
“Memangnya apa?” tanya Wijaya.
“Pertama, singkong itu direbus oleh saya. Merebusnya disertai bumbu-bumbu cinta yang tulus dari hati.” Gayatri tertawa.
“Kamu belajar dari mana?” tanya Wijaya sembari mengacak rambut Gayatri yang sudah rapi digelung itu. “Lalu, keduanya apa? Bukankah barusan kamu mengatakan kata pertama?”
“Sabar, dong. Kedua, singkong itu dimakan oleh seseorang yang spesial di hatiku.” Gayatri menunduk.
“Kamu belajar dari mana? Kamu salah. Singkong menjadi makanan yang spesial itu karena dari pertumbuhan sampai pengolahannya itu sehat. Dari dalam tanah, tidak diberi pupuk berbahan yang membahayakan. Hanya membutuhkan zat mineral dalam pertumbuhannya “ Wijaya mengacak rambut Gayatri lalu beranjak. Takut jika ada orang lain yang mengetahui keintiman. Apalagi, waktu semakin siang, artinya Prabu Tengker ataupun Tunggadewi sewaktu-waktu keluar dari rumah.
Gayatri cemberut menatap punggung pria yang tengah berjalan menjauh darinya. Piring dan gelas yang masih utuh belum juga tersentuh. Tangannya mengambil kembali, lalu bergerak mengejar pria itu. Memberikannya tanpa ada sebuah kata yang berhasil keluar dari bibirnya. Kemudian, pergi dari halaman rumah sepetak itu.
Baru saja Wijaya meletakkan dua alat makan itu, Prabu Tengker telah memanggil namanya beberapa kali. Terpaksa, Wijaya harus menemuinya. Mereka duduk di bangku panjang yang ada di teras. Prabu Tengker meminta penjelasan mengenai hubungan antara dua kerajaan yang sedang berusaha untuk berdamai.
“Semoga saja dengan cara ini bisa memperbaiki hubungan. Nanti, pasti akan saya beri tahu langkah awal yang perlu dikerjakan. Saat ini masih saya pikirkan,” jawab Wijaya setelah selesai menceritakan apa yang telah terjadi saat berada di kerajaan sebelah, kemarin.
“Wijaya, apa tidak sebaiknya melakukan perbaikan terlebih dahulu di sungai. Pertanian juga membutuhkan aliran air yang lancar. Sedangkan, kondisi sungai yang tidak tertata, apa tidak mengganggu aliran air?”
“Saya juga sudah memikirkan hal itu. Akan tetapi, semua keputusan ada di tangan Baginda Raja.”
“Ya sudah, nanti kabari saja,” jawabnya sembari beranjak keluar dari rumah itu.
Terkadang, Wijaya dibuat bingung dengan sikap pria itu. Pria yang kini menjadi mertuanya. Sikap yang kadang baik, tapi bisa juga emosi. Tapi, menurut Wijaya, Prabu Tengker sebenarnya memiliki sifat yang baik. Hanya saja rasa lelah yang membuatnya cepat mengalami perubahan dalam mengelola amarah.
Beberapa jam kemudian, Wijaya beranjak. Melangkahkan kaki ke arah kerajaan. Bertemu dengan Raja Purnama untuk memberikan penjelasan yang ada di dalam pemikirannya. Sebuah langkah awal untuk memulai kerja sama dalam memajukan wilayah. Kakinya rela kesakitan ketika menginjak salah satu jenis rumput yang berduri. Mengingat sandal Wijaya yang telah menipis. Sampai akhirnya, Wijaya berhasil duduk di sebuah ruangan yang ada di kerajaan.
“Wijaya, ada apa?” tanyanya yang sedang melakukan pergerakan tubuhnya. Olahraga untuk menjaga kebugaran tubuhnya. “Ada masalah sama Gayatri?” sambungnya menghentikan kegiatannya.
“Tidak ada masalah, kok. Orang tua Gayatri juga belum tahu tentang hal itu. Saya ke sini untuk membicarakan mengenai pertanian, Baginda.” Wijaya menjabat tangan raja yang terhormat di kerajaan.
Mereka telah duduk di teras belakang rumah. Menikmati udara segar yang ada. Sembari menikmati langit yang masih saja mendung. “Jadi, bagaimana Wijaya?”
“Sebelumnya saya mohon maaf, apabila ada sesuatu yang kurang berkenan. Saya memiliki pemikiran untuk membuat sebuah irigasi. Jadi, irigasi itu membuat aliran air sungai. Jadi, kita melakukan perbaikan dalam penataan sungai. Bukan untuk menghilangkan batu-batu, hanya saja, kita memindahkan batu-batu besar yang sedikit menghambat aliran air. Selain itu, kita membuat saluran air ke lahan-lahan persawahan. Langkah ini bisa dibuat secara bertahap.”
“Saya terima pendapat dari kamu. Tapi, ada satu hal yang harus dipastikan. Apakah dengan irigasi itu akan memberikan dampak baik dalam pertanian?” tanya Raja Purnama sembari meneguk air putih yang baru saja diantar oleh petugas kerajaan. “Maksud saya, seberapa besar pengaruhnya?”
“Baginda, air itu salah satu sumber daya alam yang paling berpengaruh dalam kehidupan. Kota umpamakan saja dengan manusia, kita saja membutuhkan air untuk tetap bertahan. Selain itu, dengan air kita bisa mencuci piring, pakaian, dan lainnya. Tumbuhan pun membutuhkan air untuk mencari sumber makanannya. Tanpa air, tumbuhan akan layu, tapi kebanyakan air pun bisa saja mati. Jadi, menurut saya adanya irigasi sangat berpengaruh besar dalam pertanian. Oleh karena itu, saya memberikan pendapat pembentukan irigasi ini diutamakan. Masalah menanam tumbuhan, itu bisa diatur lebih lanjut.” Wijaya mengambil air minumnya untuk meringankan tenggorokan yang mengering, sekaligus menghilangkan rasa lelah yang ada di tubuhnya.
“Benar juga, Jaya. Lalu, kapan akan memulainya?” tanya Raja Purnama yang tersenyum semringah. Baru pertama kalinya dia bertemu sosok pria yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Bahkan, pemikirannya yang bisa dilogika dan masuk akal. “Apakah perlu untuk membahasnya bersama Raja Tutur?” tanya Raja Purnama.
“Seharusnya memang dibahas kembali bersama kedua belah pihak. Tujuannya agar tidak ada kesalahpahaman yang berakibat fatal lagi. Mengingat, mendapatkan jalur damai begitu sulit.” Wijaya beranjak untuk pamit ke sungai terdekat. Dia merasa ada panggilan alam yang tidak bisa ditunda lagi.
Kakinya menginjak sebuah batu yang ada di sungai. Tak disangka oleh Wijaya, batu itu memiliki sisi runcing yang m3mbuat kakinya semakin terluka. Apalagi, kaki yang memang sebelumnya telah luka kini semakin terluka. Rasanya semakin nyeri hebat dan terasa perih. Berusaha untuk melawan segala rasa yang ada di kakinya. Sampai akhirnya, dirinya berhasil menyelesaikan adanya panggilan alam itu.
Setelah selesai, Wijaya beranjak. Bergegas kembali ke kerajaan untuk meminta obat. Takutnya, luka di kakinya akan menimbulkan infeksi. “Kenapa bisa separah ini, Wijaya?” tanya Raja Purnama memberikan perhatian yang besar. Sebuah perhatian yang sama halnya untuk seorang anak kandungnya sendiri. Bahkan, bagi Raja Purnama, Wijaya bukan hanya anak tangannya, melainkan seperti anak kandungnya sendiri.
“Tadi, di jalan menerjang semak-semak, jadi seperti ini,” jawabnya sembari mencuci kakinya dengan air hangat.
Beberapa waktu kemudian, Wijaya telah sampai di rumah. Duduk di depan tungku sembari menikmati kopi yang telah diraciknya sendiri. Tak terasa, waktu telah sore. Wijaya teringat dengan statusnya sendiri. Memiliki seorang istri, akan tetapi tidak bisa bersatu dalam satu atap yang sama. Wijaya membuang pikirannya yang tiba-tiba galau. Wijaya melanjutkan untuk menghangatkan diri.
Tak terasa kayu bakarnya telah habis. Kini, dia beranjak untuk tidur menjemput mimpi indahnya. Berharap, sang istri bisa memenuhi mimpi malamnya. Tapi, nyatanya tidak hadir sama sekali. Wijaya merasa baru saja terlelap dalam mimpi, padahal saat ini telah terdengar ayam jago berkokok dengan suara lantangnya.
Tidak lama kemudian, Wijaya pergi bersama Raja Purnama untuk pergi ke kerajaan sebelah. Bertemu Raja Tutur untuk membicarakan tentang kerja sama itu. Walaupun sebenarnya, ada sedikit kerisauan dalam hati Wijaya. Takut jika sarannya tidak bisa diterima olehnya. Berusaha menepis apa yang ada di pikirannya. Mencoba untuk mengikhlaskan jika sarannya tidak diterima. Sebab, setiap orang memiliki cara pandang dan pemikiran yang perlu untuk didengar dan dirundingkan kembali.
Sebagai manusia biasa, Wijaya harus bisa untuk menerima segala pendapat yang ada. Tidak bisa egois dan ingin menang sendiri. Sikap seperti itu yang akan menghancurkan diri sendiri, pada akhirnya. Sebaik-baik manusia jika menyimpan rasa egois, pasti akan merasakan kehancuran. Oleh karena itu, menjadilah seorang manusia yang bisa menerima pendapat orang lain secara bijak. Setidaknya hal itu yang sedang dipelajari oleh Wijaya.
Sesampainya di kerajaan itu, Wijaya telah menjelaskan secara mendetail tentang irigasi. Sesuatu yang menjadi pemikirannya. Benar apa yang dipikirkannya. Raja Turut mendebat apa yang ia sampaikan. Menurutnya, dengan adanya perbaikan sungai itu akan membuang waktu saja. Keinginan Raja Tutur agar melangsungkan adanya penanaman di lahan-lahan kosong. Tujuannya, agar segera mendapatkan dana yang bisa digunakan sebagai modal operasional kerajaan yang lebih baik lagi.
“Maaf, untuk itu saya tidak setuju. Apakah tanaman itu akan tumbuh jika sistem irigasi saja buruk?” tanya Raja Purnama sembari berdiri. “Saya setuju dengan Wijaya. Analogi yang diberikannya begitu jelas.”
“Terserah saja. Terpenting, hasil yang akan kita dapatkan jauh lebih jelas. Saya tidak ingin menerima berbagai pemikiran, yang saya harapkan adalah hasil.”
“Kalau begitu, kapan bisa dimulai?” Raja Purnama kembali duduk di tempatnya.
“Lusa,” jawab Raja Tutur dengan tegas.
“Lusa? Apa ada dana?” tanya Raja Purnama.
“Dana pembuatan irigasi, pakai saja dari kedua kerajaan. Kita bisa kerahkan rakyat untuk saling bergotong royong. Kegiatan ini juga untuk mereka. Jadi, ada kewajiban yang harus mereka lakukan. Jangan hanya bisa menerima hak saja.”
“Anda kalau bicara enteng sekali,” lirih Raja Purnama.
“Loh, bukannya benar? Kalau perang saja mereka kuat, harusnya untuk gotong royong demi kebaikan, harusnya lebih kokoh,” jawabnya.
Di akhir, mereka memutuskan untuk melakukan gotong royong bersama kedua belah pihak. Selain melancarkan kegiatan, dengan adanya kegiatan ini pun akan memberikan dampak positif lainnya. Mempererat antar warga agar tidak terjadi perselisihan lagi. Mempererat silaturahmi dan menyatukan visi misi yang berbeda.
“Kalau begitu, saya tunggu di kerajaan,” kata Raja Purnama bangkit. Pamit untuk kembali. Sebab, masih banyak hal yang harus disiapkan. Selain itu, secara tiba-tiba kepalanya terasa pusing yang sulit untuk ditahan.
Selang satu hari kemudian, mereka telah siap di tepi sungai. Saling bergotong royong untuk membersihkan sungai. Sebuah pemandangan yang terlihat tak biasa. Kedua pihak yang selama ini hanya disibukkan perang untuk merebut sebuah kekuasaan, wilayah, dan lainnya, kini terlihat harmonis dengan kebersamaan.
Wijaya sendiri merasakan hal yang tidak pernah diduga. Dia telah berhasil membuat kedua belah pihak saling berdamai. Walaupun, masih ada sedikit perseteruan yang menyelimuti. Tapi, hal itu wajar saja terjadi. Sebab, sebuah kehidupan memang akan ada masalah-masalah kecil yang selalu menghampiri setiap waktu. Akan tetapi, harus ada cara menyikapi yang terbaik agar tidak semakin membesar.
“Wijaya, kamu berhasil mendamaikan kedua wilayah yang sebelumnya tidak karuan,” ujar salah satu pemuda.
“Iya, saya berharap selamanya akan seperti ini. Sudah, mari kita lanjutkan,” jawab Wijaya beranjak ke sungai.
Membantu memindahkan beberapa batu besar yang menghambat aliran air. Kemudian, membersihkan sampah-sampah yang ada di sana. Padahal, jika dilihat sungai itu tampak bersih. Nyatanya ketika tangan-tangan itu turun, sampah yang ada tidak sesuai dengan perkiraan. Sampah-sampah yang menggunung, mulai dari sampah organik maupun sampah anorganik. Wijaya membawa sampah-sampah itu untuk dikelola lebih lanjut, di suatu hari. Mengumpulkannya di sebuah karung besar, berdasarkan jenisnya.
Beberapa waktu kemudian, sungai itu jauh lebih terlihat indah. Penataan benda mati yang lebih rapi, aliran air yang makin lancar, dan tentu saja sampah itu tidak ada lagi. Wijaya duduk di tepi sungai bersama dengan pemuda lainnya.
“Terima kasih untuk hari ini. Kita telah berhasil membuat aliran sungai lebih baik lagi. Mungkin, besok atau lusa, saya harap warga saling gotong royong kembali untuk membuat saluran air yang menghubungkan ke sawah-sawah.” Raja Purnama berdiri sembari menunjukkan arah sawah yang paling dekat dengan sungai.
Setelah selesai, semua warga kembali. Begitu pula dengan Wijaya yang beranjak untuk meninggalkan sungai. Tapi, langkahnya terhentikan oleh panggilan dari raja.
“Mohon maaf, apakah ada yang perlu saya sampaikan lagi?” tanya Wijaya sembari menatap raja dengan serius.
“Terima kasih, kamu telah membantu kerajaan. Kehadiranmu sungguh membawa berkah yang besar.”
“Keberkahan datangnya dari Tuhan. Saya hanya perantara saja,” jawabnya dengan sopan.
“Iya, semoga kamu lekas bisa mendapatkan hari dari mertuamu, ya. Seharusnya, dengan ini saja Beliau sudah bisa menerima kamu. Tapi, ya, kamu tahu sendiri dengan sifatnya.”
Beberapa waktu kemudian, Wijaya telah duduk di depan tungku. Memasak air untuk kebutuhan minumnya. Tak lama dari itu, tiba-tiba datang seorang perempuan dari pintu belakang. “Wijaya, mau ambil piring, takutnya dicari sama Ayah,” katanya meminta piring yang tempo hari ia gunakan untuk memberikan singkong rebus
“Ambil saja di meja,” jawabnya tanpa menatap istrinya. Wijaya masih fokus dengan kayu bakar yang tidak kunjung menyala. Sebab, kayu itu memang masih basah.
Wijaya memilih meninggalkan tungku itu. Tubuhnya yang lelah dibuat semakin tak karuan dengan rasa kesalnya. Secara tidak sadar, Wijaya membanting sebuah panci yang ada di sana.
“Wijaya, kamu kenapa?” tanya Gayatri yang merasa kaget dengan sikap Wijaya. Perempuan itu mengerutkan keningnya karena penasaran dengan sikapnya yang berubah sedikit mengerikan. Apalagi, Gayatri baru pertama kali melihat cara Wijaya melampiaskan amarahnya. Hampir mirip dengan Prabu Tengker, hanya saja Wijaya memiliki pemikiran yang maju.
“Saya lupa kalau kamu kasih di sini. Maaf,” katanya.
“Terserah,” katanya sembari melangkah keluar.