“Wijaya!” teriak Prabu Tengker yang sedang menggedor-gedor pintu belakang.
“Maaf, ada apa? Apakah saya ada kesalahan?” kata Wijaya setelah keluar menemui Prabu Tengker. Mereka berdiri di dekat pintu. Berhadapan dengan wajah yang begitu terlihat menyeramkan, pikiran Wijaya telah terbang entah ke mana. Kalut dan takut jika pria di hadapannya telah mengetahui rahasianya.
“Kamu ada apa dengan Gayatri?” tanyanya.
“Saya hanya berteman saja dengan Gayatri. Memang ada apa?” tanya Wijaya dengan suara yang pelan. “Maaf, apa tidak sebaiknya duduk di dalam saja?” sambungnya sembari menawarkan untuk masuk.
“Tidak usah berbasa-basi. Kalau saya mau, saya sudah masuk sejak tadi. Rumah ini punya saya. Bahkan, dua kali juga saya membenarkan rumah ini setelah kamu tempati. Saya hanya mau tahu ada hubungan apa kamu dengan Gayatri?”
“Saya hanya berteman biasa saja dengan Gayatri,” jawab Wijaya yang merasa tidak tahu harus menjawab apa. Ingin jujur, tapi takut jika Prabu Tengker tidak bisa bersikap dengan bijak. Berbohong pun terasa berat di hatinya. Wijaya menjadi serba salah untuk saat ini.
Mendengar perkataan dari Wijaya yang kurang meyakinkan, Prabu Tengker memilih pergi. Mungkin, jalan yang bisa ia ambil adalah mencari tahu dengan caranya sendiri. Mencari informasi dari orang lain ataupun dengan mengulik sendiri. Bertanya kepada Wijaya ataupun Gayatri tidak akan bisa mendapatkan jawaban yang sesuai dengan harapannya. Padahal, dari dalam hatinya, Prabu Tengker telah yakin jika di antara keduanya terdapat hubungan yang tidak diketahuinya.
“Kang Mas, dari mana?” tanya Tunggadewi saat pria itu hendak masuk melalui pintu belakang.
“Rumah sebelah,” singkatnya melenggang masuk.
Tunggadewi yang merasa tidak nyaman dengan jawaban dari suaminya pun bergegas mengikuti langkah kaki pria itu. Duduk di ruang paling depan hanya berdua saja. Saling diam, karena tidak tahu akan memulai pembicaraan. Tambah lagi, perasaan Prabu Tengker yang sedang tidak baik-baik saja, membuat Tunggadewi takut salah bicara.
“Coba kamu tanyakan sama Gayatri. Saya merasa ada sesuatu di antara dia dengan Wijaya,” kata Prabu Tengker tanpa menatap wajah istrinya.
Tunggadewi hanya mengangguk. Beranjak untuk membuang sampah yang telah menggunung di dapur. Tidak lama kemudian, Gayatri masuk melalui pintu belakang. Tunggadewi masih bersikap biasa saja. Walaupun, dalam hatinya ingin sekali untuk menanyakan apa hubungannya dengan Wijaya. Sampai membuat ayahnya terlihat sedang marah.
“Bunda kenapa ... kenapa melihat Gayatri seperti itu?” tanya Gayatri yang merasa tidak baik-baik saja. Apalagi, sorot mata dari ibunya seakan-akan sedang menatap seorang musuh.
“Nanti saja. Bunda membuang sampah dulu,” jawabnya membawa keranjang sampah keluar.
Setelah membuang sampah, Tunggadewi memilih untuk menyapu rumah yang masih terlihat berantakan. Apalagi alas rumah yang terlihat berdebu. Walaupun lantai rumahnya masih dari tanah asli, jika bersih dan tidak terlihat berdebu akan membuat suasana yang semakin nyaman untuk ditempati.
Gayatri pun bergegas untuk membantu ibunya. Mengambil sapu lidi untuk menyapu halaman rumah. Seketika, Prabu Tengker tidak mengizinkan putrinya menyapu luar rumah. Pria itu berdiri di ambang pintu tengah. Menatap ke arah Gayatri dengan tatapan yang tidak biasa. “Tukaran sama Bunda.”
Satu detik kemudian, Wijaya memilih untuk meninggalkan ruangan itu. Melampiaskan rasa kesal dan amarahnya ke sebuah bantal yang ia gantungkan. Meninju bantal itu beberapa kali sampai mendapatkan kepuasan. Prabu Tengker merasa ada yang tidak baik dengan Gayatri. Melihat kedekatan putrinya dengan pria itu selama beberapa hari terakhir, membuat Prabu yakin ada sesuatu yang memang mereka tutupi.
“Semoga itu hanya firasat saja. Saya yakin Gayatri tidak akan melanggar apa yang saya larang,” lirihnya.
Beberapa hari kemudian, Wijaya sedang bersama dengan Gayatri di sungai. Tempat favorit mereka untuk saling bertemu. Tapi, tidak disangka oleh mereka, Prabu Tengker mengikuti gerak gerik mereka. Berdiri tepat di belakangnya.
“Sekarang jelaskan semuanya, Gayatri!” teriaknya tanpa menyentuh putrinya.
“Ayah sejak kapan berada di sini?” tanya Gayatri sembari berdiri menghadap ke pria yang menjadi sosok ayahnya itu. Menatap matanya yang terlihat menakutkan. Bahkan, dari raut wajahnya terlihat jelas sedang marah kepadanya. “Ayah ikut Gayatri dulu,” katanya sembari meraih lengan kanan ayahnya. Tapi, ditepis oleh pria itu.
Gayatri menunggu ayahnya untuk membalikkan badan. Tapi, pria itu masih saja tidak bergerak. Masih menatap Wijaya dengan raut wajah yang belum juga berubah. Gayatri yang menyadari ayahnya tengah dilanda emosi pun mencoba untuk menjelaskan. Tapi, suaranya tak kunjung bisa mengeluarkan kata-kata. Berakhir dengan air mata yang runtuh dari tempatnya membanjiri wajahnya.
“Biarkan saya yang menjelaskan,” kata Wijaya sembari berdiri. Melangkahkan kaki agar sejajar dengan Gayatri. Menatap pria yang sedang menatapnya dengan tajam.
Prabu Tengker tidak menjawab pria itu. Memilih berbalik badan lalu pergi meninggalkan sungai. Gayatri pun mengikuti langkah kaki ayahnya. Menambah jarak langkah agar bisa mengejar sosok pria itu.
“Ayah,” panggil Gayatri yang tidak direspons olehnya. Pria itu memilih untuk masuk ke dalam. Duduk di ruang depan. Membuka jendela untuk mencari angin. “Ayah, dengarkan penjelasan Gayatri,” kata perempuan itu sembari menyusul duduk di sebelahnya. Sedangkan, Wijaya tengah berdiri di ambang pintu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara dari Tunggadewi dari arah dapur memanggil Gayatri. Langkah kaki wanita itu semakin mendekat. Kini, beliau berdiri tepat di belakang Wijaya.
“Wijaya, kamu sedang apa?” tanyanya.
“Jelaskan sekarang,” kata Prabu Tengker sembari menatap ke arah Tunggadewi yang masih berdiri di ambang pintu. Prabu Tengker pun memintanya untuk segera duduk. Wanita itu juga perlu tahu apa yang sudah diperbuat oleh Gayatri di belakang orang tuanya.
“Ayo jelaskan!” teriak laki-laki itu. “Kamu ke sini, sekarang!” tunjuknya ke arah Wijaya.
Wijaya beranjak dari ambang pintu. Mendekat ke arah satu keluarga yang sedang bersitegang. Duduk di dekat Gayatri yang sedang menghadap ke arah ayahnya. Menunduk sembari mengambil napas. Kemudian, membuangnya lagi. “Biar saya yang menjelaskan.”
“Silakan,” jawabnya tanpa menatap keduanya.
“Beberapa hari yang lalu, saya dan Gayatri telah melaksanakan ... sebuah pernikahan di salah satu ulama yang ada di kampung sebelah. Di sana juga ada Raja Purnama sebagai saksi.” Wijaya menunduk. Tidak tahan melihat wajah ayah dari istrinya yang sedang marah. Bahkan, kedua telapak tangannya mengepal sempurna.
“Menikah?” tanya Tunggadewi yang masih terkejut dengan ucapan Wijaya. “Gayatri, jawab Bunda, apa yang dimaksud dengan perkataan dari Wijaya?”
“Semua itu memang benar. Tapi, yang salah Gayatri. Waktu itu, Gayatri berpikir dengan pernikahan akan menghindari zina. Apalagi, Gayatri dan Wijaya juga sering ketemu. Jadi, lebih aman jika ada pernikahan.”
“Kenapa tidak bilang dari awal?” tanya Tunggadewi sembari dibanjiri air matanya.
“Maaf, Bunda. Gayatri tahu kalau Ayah tidak akan setuju dengan hubungan kami. Mau bicara dengan alasan apa pun, pasti Ayah tidak akan merestui kami. Gayatri minta maaf,” jawab Gayatri sembari bersimpuh di pangkuan ibunya.
Prabu Tengker beranjak. Meninggalkan mereka yang sedang menangis di tempat. Wijaya berlari untuk mengikuti Prabu Tengker. Ternyata, pria itu sedang berdiri di dekat sungai. Membuang batu kecil-kecil ke sungai. “Saya mohon maaf. Bukan karena tidak menghargai Anda sebagai Ayah dari Gayatri. Saya sangat menghargai dan menghormati Anda. Akan tetapi, waktu itu Gayatri meminta saya untuk menikahinya. Alasannya benar seperti yang dikatakan Gayatri tadi.”
“Semua sudah terjadi. Saya tidak bisa berbuat banyak lagi.”
Prabu Tengker pergi meninggalkan Wijaya. Rasanya, sedang tidak bisa untuk berpikir dengan baik. Ada rasa kesal, marah, dan kecewa dalam hatinya terhadap Gayatri. Prabu Tengker merasa tidak dihargai sebagai ayahnya. Padahal, Prabu sangat menunggu waktu ketiak putrinya menikah untuk menjadi walinya. Akan tetapi, semua itu telah bubar tanpa ada kata tercapai.
Wijaya kembali masuk ke rumah Gayatri. Melihat seorang ibu dan anak yang saling terdiam. Bahkan, terlihat dingin dan sunyi. Padahal, biasanya mereka selalu bersenda gurau dan saling bercengkerama. Wijaya merasa bersalah dengan kejadian ini. Kakinya melangkah ke arah Tunggadewi. Berjongkok sembari meraih telapak tangan seorang wanita yang telah menjadi mertuanya.
“Ibu, saya minta maaf. Tidak ada maksud saya untuk mematahkan hati Ibu dan Ayah. Sekali lagi, saya meminta maaf. Saya mohon jangan memarahi Gayatri.” Wijaya melepaskan genggaman tangannya. Mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
“Semuanya sudah terjadi.”
Tunggadewi beranjak dari ruangan itu. Masuk ke kamar meninggalkan Gayatri yang masih terduduk di tanah sembari menunduk. Bibirnya membeku sampai terlihat pucat. Apalagi matanya yang sangat terlihat jelas membengkak. “Bangun, ini memang salah kita. Gayatri, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini.” Wijaya menarik lengan istrinya.
Mereka duduk di bangku itu. Suasana yang masih sama. Saling terdiam dan berkutat dengan pikiran sendiri-sendiri. Kini, Gayatri tidak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu harus mengatakan kalimat apa untuk mendapatkan kepercayaan dari kedua orang tuanya.
“Wijaya, saya takut kalau Ayah dan Bunda benci sama saya,” lirihnya yang masih menunduk. Air katanya masih saja mengalir deras. Bahkan, air mata yang tadinya telah mengering, kini kembali basah.
“Tidak, semarah apa pun Ayah dan Ibu, mereka akan selalu sayang sama kamu. Perlahan, pasti mereka akan menerima, kok. Tidak ada orang tua yang tega membenci anaknya sendiri, walaupun anak itu berbuat kesalahan yang begitu fatal,” ujarnya sembari memeluk Gayatri. Berharap dengan pelukannya bisa memberikan ketenangan kepada Gayatri.
“Kamu akan membantu saya, kan?” tanyanya.
“ Saya akan ada bersama kamu. Bersama-sama mendapatkan restu dan maaf dari Ayah dan Ibu,” jawab Wijaya melepaskan pelukannya.
Tidak lama kemudian, Prabu Tengker telah kembali. Tanpa menyapa, beliau masuk ke kamarnya. Rasa hancur di dalam hati Gayatri semakin menjadi kala melihat ayahnya yang tidak menggubrisnya. Padahal, biasanya Prabu Tengker selalu menyapanya. Bahkan, selalu menanyakan kabar anaknya selama satu hari itu. Kini, semuanya tinggal kenangan. Apakah selamanya akan tetap dingin seperti ini?
“Sesuatu yang beku pasti akan mencair. Kita hanya perlu berbuat sesuatu yang bisa menghangatkannya,” kata Wijaya seakan tahu apa yang ada di dalam hati Gayatri.
Gayatri dan Wijaya masih menetap di ruangan itu sampai keesokan harinya. Pagi ini, sekitar pukul empat pagi, Prabu Tengker dan Tunggadewi belum juga membaik. Masih bersikap dingin, walaupun Tunggadewi tetap menyiapkan sarapan untuk mereka. Satu jam kemudian, mereka berada di dapur. Menikmati makanan sederhana yang sudah dimasak oleh Tunggadewi.
“Nanti ada kegiatan di kerajaan untuk membahas lebih lanjut tentang kerja sama itu,” katanya tanpa menatap ke arah Wijaya sama sekali.
Setelah selesai makan, Wijaya bersama Prabu Tengker berjalan ke kerajaan. Sepanjang perjalanan, sama sekali tidak ada percakapan. Langkah kaki yang hanya diiringi dengan suara kicauan burung. Serta bunyi dari langkah kaki itu sendiri. Sampai akhirnya mereka berdiri di depan kerajaan pun masih hening. Masih enggan untuk memulai pembicaraan.
Prajurit yang bertugas di depan pun mengantarkan kedua pria itu untuk menghadap ke raja. Kini, mereka telah duduk bersama di sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk rapat. Di ruangan itu pun ada beberapa perwakilan dari warga. “Saya juga mengundang perwakilan dari warga agar tidak ada kesalahpahaman ketika turun lapangan,” ujar Raja Purnama sebelum ada yang bertanya tentang kehadiran dari kalangan warga.
Justru, hal itu yang membuat Wijaya semakin salut terhadap raja itu. Seorang pemimpin yang bisa menyamakan derajat dengan warga. Sama sekali tidak pernah memandang kasta. Pemimpin yang seperti ini yang akan membawa suatu wilayah semakin maju. Wijaya tersenyum kagum dengan tindakan beliau.
“Sebelumnya saya mohon maaf, apakah setelah selesai rapat bisa berbicara berdua dengan Baginda Raja?” kata Prabu Tengker sebelum acara dimulai.
“Silakan, Prabu. Nanti, setelah acaranya selesai, Anda tetap di sini saja,” jawabnya sembari tersenyum, “Wijaya, seperti yang sudah disampaikan kemarin, bahwa langkah selanjutnya kita akan membuat saluran air. Nah, saluran ini kita buat menggunakan bahan apa saja, selain itu berapa dana yang harus dikeluarkan?” tanya Raja Purnama sembari mengambil satu daun lontar. “Tuliskan di sini,” sambungnya memberikan daun itu ke Wijaya.
Wijaya menuliskan beberapa bahan yang sekiranya bisa berguna. Walaupun, sebenarnya masih ragu. Mau bagaimanapun, Wijaya harus bisa bersikap profesional saat melihat wajah Prabu Tengker sedang menatapnya dengan tatapan tidak sukanya.
“Maaf, Baginda apa tidak sebaiknya Anda saja yang menuliskannya,” kata Wijaya menyerahkan daun lontar yang sudah sempat ia gunakan.
“Kamu lanjutkan saja,” katanya.
Wijaya telah menuliskan barang-barang yang diperlukan. “Maaf, Baginda Raja, saya menuliskan bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan irigasi sistem irigasi permukaan.”
“Irigasi permukaan?” tanya Raja Purnama yang masih belum mengerti dengan hal itu. Setahunya, hanya sebuah irigasi dengan membawa air menggunakan wadah lalu dituangkan ke setiap tanaman atau disebut dengan menyiram.
“Irigasi permukaan itu cara mengalirkan air di atas permukaan dengan ketinggian air sekitar sepuluh sampai lima belas senti meter di atas permukaan tanah. Jadi, nanti langsung mengambil air dari sungai melalui bangunan bendungan kemudian dialirkan melalui gravitasi ke lahan pertanian.” Wijaya menjelaskan sedikit tentang apa yang ia tahu. Setidaknya dengan itu, warga lainnya bisa mengerti dengan maksudnya. Wijaya mengambil jenis ini karena ingin memanfaatkan sumber daya alam yang sudah disediakan oleh Tuhan di lingkungan itu.
“Tidak apa-apa. Apakah ada yang ingin ditanyakan mengenai irigasi ini?” tanya Raja Purnama kepada warga yang masih setia di tempat duduknya masing-masing.