Tanpa Restu

1577 Kata
“Wilayah di tempat ini sebagian besar adalah lahan kosong, lahan persawahan, perkebunan, dan ada sungai yang memberikan banyak benda hidup ataupun benda tidak hidup. Salah satu cara adalah memperbarui sistem persawahan. Gunakan air dari sungai untuk kegiatan pertanian. Sebab, masih banyak lahan kosong atau sawah yang tidak terawat. Kemudian, melakukan perubahan dalam sistem perdagangan.” Wijaya membuang napas panjangnya, “mungkin, hal ini akan sedikit sulit. Sebab, memang pertama kali. Bisa dikatakan bahan percobaan,” sambungnya. “Apa kamu memiliki langkah yang tepat?” tanya Raja Purnama yang telah mulai bisa mengontrol emosinya. Begitu juga dengan raja kerajaan sebelah yang masih terdiam. Entah, beliau mengerti atau tidak. “Sebenarnya tidak ada. Tapi, bisa melakukan penelitian, ya, memang harus melakukan percobaan terlebih dahulu.” Wijaya tersenyum menatap ke seluruh sudut ruangan. “Begini, kita mencoba untuk berdamai. Mencoba untuk saling bekerja sama. Optimis untuk bertujuan kehidupan yang lebih baik di masa depan.” “Baik, saya tunggu undangan dari Anda Raja Purnama,” ujarnya sembari meninggalkan ruangan. Sang pemilik tempat telah pergi tanpa memberikan ucapan penutupan. Melihat hal itu, sedikit memancing emosi dari Raja Purnama. Tapi, berkat Wijaya di sampingnya, Raja Purnama bisa sedikit meredakan emosinya. Mereka memilih untuk segera pergi dari tempat itu. Mengendarai kuda untuk mencapai tujuan kembali. “Wijaya, kenapa kamu mau membantu untuk menyelesaikan sengketa kerajaan?” tanya Raja Purnama dengan menatap serius ke pria itu. “Sebenarnya tidak ada alasan yang begitu kuat. Tapi, saya hanya memiliki niat untuk kehidupan yang lebih baik saja. Apabila kerajaan maju, semua masyarakat juga akan merasakan dampaknya.” Wijaya bergegas masuk ke dalam rumah sepetak. Tentu saja, setelah pamit kepada Raja Purnama. Walaupun dianggap seorang pria yang cerdas, Wijaya tidak akan pernah tinggi hati sampai melupakan tata krama dan norma. Semakin disanjung, seharusnya semakin berkaca diri. Setidaknya itu yang membuat Wijaya selalu rendah hati. Duduk di sebuah bangku, pikirannya masih terbayang dengan ucapan Gayatri beberapa jam yang lalu. Terpikir bagaimana dengan Prabu Tengker jika hal itu terjadi. Selain itu, Wijaya pun memikirkan dampak lain dengan permintaan dari Gayatri. “Wijaya, jangan egois,” lirihnya kala dalam lubuk hatinya menginginkan untuk menyanggupi permintaan gadis itu. Sekitar pukul tujuh malam, Wijaya membuka jendela yang ada di dekatnya. Beranjak menatap langit. Menikmati benda langit yang terlihat bertabur dengan indah. Menggapai bintang, rasanya tidak akan sanggup. Tapi, sebuah kehidupan harus memiliki tujuan setinggi bintang itu ada. Tujuan hidup Wijaya memang banyak, salah satunya bersatu dengan gadis itu. Wijaya ingin menuntaskan ibadah bersama seseorang yang memang ia cintai. Tak disangka, ternyata Gayatri pun sedang melihat langit yang sama dengan Wijaya. Hanya saja, gadis itu membuka jendela tidak sampai sepenuhnya terbuka. Dia hanya mengintip sembari menikmati indahnya angkasa. “Gayatri .... “ Gadis itu mendengar suara samar dari rumah di sebelahnya. Membuka jendela kayunya lebih lebar lagi. Terkejut kala melihat pria itu sedang menatap ke arahnya tanpa berkedip. Gayatri teringat dengan dirinya yang hanya memakai jarit. Sebuah jarit bermotif bunga warna cokelat melilit di tubuhnya. Sebuah kebiasaannya kala malam hari. “Maaf,” kata Gayatri sembari meraih selimut miliknya. Memakai kain lebar itu untuk menutupi tubuhnya. “Kamu belum tidur?” sambungnya sembari membuka kembali jendela kamarnya. Wijaya menjadi semakin salah tingkah. Melihat ciptaan Tuhan yang terlihat sempurna. Wajah yang simetri, kulit bersih berseri, dan rambut hitam kemerahan yang digerai semakin menambah pesona gadis itu. Rasanya, akan sangat berdosa jika Wijaya berterus-terusan menikmati indahnya gadis itu di saat bukan siapa-siapanya. “Wijaya, kamu tidak kenapa-kenapa, bukan?” tanya Gayatri membuyarkan lamunan pria itu. “Tidak. Kamu sendiri kenapa tidak tidur?” “Saya belum bisa tidur, Wijaya. Setiap kali mau tidur, saya terbayang-bayang dengan dirimu.” “Sudah tidurlah, sudah malam,” jawab pria itu sembari menutup pintu jendela yang ada di tempatnya. Tidak ingin terlalu jauh untuk berkelana dalam pikirannya tentang gadis itu. Padahal, Wijaya masih menginginkan wajah yang begitu meneduhkan hati itu. Beberapa hari kemudian, Wijaya bersama dengan Gayatri pergi ke sebuah tempat. Wilayah yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya. Mereka pergi sesuai dengan kesepakatan. Suatu keputusan besar yang mereka ambil berdua dua hari yang lalu. Kini, mereka telah duduk di sebuah pendopo. Istirahat sembari menyeduh air minum yang mereka bawa. Menunggu seseorang yang telah melakukan perjanjian sebelumnya. Tidak lama kemudian, datang seorang pria dengan pakaian berwarna putih panjang. Di tangannya membawa tasbih dan memakai ikat kepala selayaknya orang Arab. “Apa kalian sudah yakin?” tanyanya. “Siap,” jawabnya serempak. Selama kurang lebih setengah jam, Wijaya dan Gayatri telah sah menjadi sepasang suami istri. Sebuah keputusan besar yang tidak melihatkan restu dari orang tua. Bahkan, mengucapkan ijab kabul tanpa ada keluarga yang mengetahui. Mereka memutuskan hal ini dengan berbagai alasan. Salah satunya, mereka ingin terhindar dari zina yang lebih banyak lagi. Kedua saksi pun berasal dari orang-orang setempat. Pernikahan yang sama sekali tidak diketahui oleh keluarga Gayatri. Tapi, sebelum adanya pernikahan ini, Wijaya telah membicarakannya dengan Raja Purnama. “Saya harap, kamu bisa menanggung apa pun risikonya, nanti,” kata Wijaya setelah selesai dalam melangsungkan pernikahan itu. Memang, Wijaya bisa dikatakan naif. Laki-laki mana yang bisa menahan hasrat. Apalagi, sebuah cinta tulus yang ada di dalam hatinya begitu besar, sehingga mengalahkan segala ego dan perkataan yang pernah keluar dari mulutnya sendiri. Ya, Wijaya lelaki normal. Hanya saja, terjebak dalam dunia yang berbeda masa dengannya. Banyak hal yang harus dipelajari olehnya. Tapi, masalah cinta, dia kira sama saja. Sama-sama naif jika tidak terbawa perasaan. “Iya, Jaya. Tapi, tidak mungkin kalau kita kembali ke rumah. Sama saja kita akan berbeda atap.” “Gayatri, kita masih bisa untuk saling pandang. Bisa bertemu juga. Kalau kita tidak kembali ke rumah, Ayah sama Bunda pasti mencari mu,” jawab Wijaya sembari menarik lengan Gayatri. Mengajaknya untuk segera kembali ke rumah. Takut mereka akan kemalaman di jalan yang sunyi dan terjal itu. Di pertengahan jalan, Gayatri melihat adanya seekor ular besar berwarna hitam yang menghalangi jalan. Pikirannya semakin kacau di saat ular itu dengan santainya memandang ke arahnya. Lidahnya terjulur keluar beberapa kali. Bulu kuduknya berdiri seketika. Cobaan apalagi ini, Tuhan? Terlintas dalam pikirannya, kejadian ini bisa terjadi akibat melawan restu orang tua. Padahal, belum juga ada satu hari mereka mengucapkan janji di hadapan Tuhan. “Wijaya, bagaimana ini? Belum apa-apa saja, kita sudah mendapatkan masalah.” “Saya juga sudah bilang. Tapi, kamu terus mendesak untuk menikah. Saya, ya, menurut saja,” jawab Wijaya sembari menaburkan garam ke arah ular itu. Beruntung, Wijaya telah berjaga-jaga dengan menyimpan sebungkus garam di lilitan jaritnya. “Kenapa saya yang disalahkan. Bukankah kita sama-sama sepakat?” katanya cemberut. “Iya, kamu tidak salah. Saya yang salah, memang laki-laki selalu salah,” jawab Wijaya menggendong Gayatri setelah ular itu pergi. Mereka sampai di rumah sekitar pukul setengah enam sore. Walaupun sudah sah, mereka tidak bisa bersatu dalam satu atap. Gayatri tetap kembali ke rumah Prabu Tengker. Masuk ke rumah melalaui pintu belakang. Berharap tidak akan diketahui oleh ibu atau ayahnya. Nyatanya, keduanya malah menunggu kepulangannya di dapur sembari memasak singkong dan air. “Dari mana?” tanya Prabu Tengker tanpa menatap putrinya. “Dari ... Dari belajar sama teman-teman, tadi.” “Lain kali, pulangnya jangan sampai magrib. Anak gadis pamali,” kata ibunya. Rasanya sudah tidak pantas lagi untuk disebut anak gadis. Bahkan, disebut sebagai anak baik-baik saja rasanya sudah sangat tidak pantas. Gayatri tersenyum sembari melangkah ke depan. Masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaiannya. Tidak lama dari itu, Prabu Tengker bersama dengan istrinya masuk ke kamar Gayatri. Duduk di ranjang itu sembari mengamati putri semata wayangnya sedang bersiul bahagia. Seperti tidak biasanya. Rasa curiga pun muncul dari pikiran ayahnya. “Kamu kenapa terlihat bahagia?” tanyanya dengan suara pelan. “Ayah, Gayatri bahagia. Sebab, kerajaan akan aman sentosa. Tidak lagi ada perang-perang dadakan.” “Gayatri ... kamu serius?” tanya ibunya dengan senyuman yang merekah dari bibirnya. “Iya, jadi Raja Purnama dan Wijaya telah berhasil untuk mencapai kata damai bersama kerajaan sebelah. Justru, kita saling bekerja sama untuk memajukan daerah. Memaksimalkan sumber daya alam, salah satunya dengan pertanian.” Mendengar hal itu, Tunggadewi pun bersujud syukur kepada Tuhan selama beberapa detik. Setelah itu, melangkah ke arah Gayatri. Memeluknya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Akhirnya, apa yang diharapkan selama ini terwujud. “Gayatri, jadi kita tidak harus bersembunyi di almari, kolong ranjang, dan lainnya lagi?” katanya sembari mengusap air mata haru yang menetes di pipinya. Sebuah kabar baik yang membahagiakan masyarakat. Ternyata, kehadiran Wijaya benar-benar berpengaruh dalam lingkungan kerajaan. Dua raja yang saling berseteru, kini damai dan menjalin kerja sama. Selain itu, banyak kemajuan tentang pendidikan untuk pemuda dan pemudi. Betapa bangganya Gayatri memiliki pria idaman semua kembang desa. “Iya, Bunda.” “Syukur, kalau begitu,” ucap Prabu Tengker sembari mengusap wajahnya. Setelah kedua orang tuanya pergi, Gayatri membuka jendela kamarnya. Mengintip ke arah rumah sepetak itu. Ternyata, Wijaya telah lama menunggu Gayatri untuk membuka jendela itu. “Jangan lupa makan,” kata Wijaya dengan suara yang terdengar begitu manis. “Iya, besok kamu mau makan apa?” tanya Gayatri menunduk. “Manis sedikit, tanyanya,” goda Wijaya yang sedang menikmati kopi racikannya sendiri. Wijaya langsung menutup jendela. Tidak lama dari terdengarnya petir dari langit, hujan pun melanda dengan derasnya. Bahkan, disertai angin kencang yang mengguncang. Apakah ini pertanda bahwa Tuhan murka dengannya? Pria itu terdiam sembari merenungi dosa besar yang baru saja diperbuat. Walaupun, Tunggadewi dan Prabu Tengker belum mengetahui pernikahan itu, tentu saja Wijaya telah melukainya. Kembali lagi, suara petir dan angin kencang membuatnya tak bisa berkutik. Bahkan, atap yang hanya terbuat dari jerami pun terbang terbawa angin kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN