Adu Pandangan

1089 Kata
Gayatri mendengar suara yang begitu khas di telinganya pun menoleh ke arah sumber suara. Wijaya menatapnya dengan senyuman manis. “Jangan lupa, dihafalkan,” kata Wijaya lalu melanjutkan untuk masuk ke rumah. Beberapa jam kemudian, sekitar pukul tujuh malam, terdengar suara gaduh dari arah rumah Gayatri. Wijaya merasa penasaran pun memutuskan untuk melihatnya. Melangkahkan kaki ke arah rumah sang pujaan hati. “Maaf, sebenarnya ada apa?” tanya Wijaya yang masih duduk di ambang pintu yang terbuka lebar. “Prabu, siapa dia?” tanya sang raja yang duduk di dekat pintu kayu. “Saya pun tidak tahu, sejak beberapa hari yang lalu dia sudah berada di tempat ini.” “Hm, masuklah wahai pemuda,” katanya sembari menunjuk ke arah Wijaya. Melangkahkan kaki yang dipenuhi rasa bimbang. Wijaya merasa tidak pantas untuk bergabung bersama raja dan beberapa prajurit di rumah itu. Menurut raja, adanya rapat di rumah Prabu Tengker adalah sesuatu yang aman. Sebab, jika mereka membahas suatu rahasia di kerajaan, bisa saja akan ada mata-mata dari orang luar untuk mencuri informasi. Wijaya pun mengerti dengan pandangan dari raja. “Baginda Raja, saya mohon maaf apabila tidak sopan telah bergabung di ruangan ini,” kata Wijaya sembari menundukkan badannya. “Tidak apa-apa. Justru, adanya pemuda seperti kamu yang saya inginkan pendapatnya. Silakan jika kamu memiliki pendapat, bisa untuk disampaikan. Tapi, kamu bisa untuk menyimak pembahasan dari topik yang sedang dibicarakan terlebih dahulu.” Raja menengok ke arah Prabu Tengker. Orang yang menjadi kepercayaannya selama beberapa tahun. “Prabu, apakah langkah yang sudah dibahas waktu itu, sudah yakin manjur untuk kerajaan semakin kuat?” tanyanya. Wijaya yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa diam. Matanya berkeliling untuk mencari gadis yang diincarnya. Mencuri-curi pandang, walaupun hanya beberapa detik saja. Sayangnya, dia tidak menemukan sosok gadis itu. “Kalau menurut saya sudah yakin, Raja. Sebab, dengan mengerahkan pemuda-pemuda untuk dilatih tentang perang akan membantu dalam menghadapi lawan.” “Maaf, Raja, apa yang Anda maksud? Apakah Anda ingin mengerahkan semua pemuda untuk ikut dalam perang?” tanya Wijaya yang mulai paham dengan pembicaraan mereka. “Baginda Raja, saya memiliki pemikiran yang mungkin saja bisa diterima. Menurut saya, agar kerajaan bisa lebih kuat dan dapat memenangkan dalam perang, tidak hanya dengan adanya pelatihan perang, tapi dengan adanya ilmu dan pola pikir yang jauh lebih terbuka dan sedikit modern.” Seisi ruangan pun secara langsung menatapnya. Merasa heran sekaligus bingung dengan perkataannya. Wijaya berdiri lalu melangkah keluar. Berdiri di ambang pintu sembari menatap seisi ruangan dengan serius. “Maaf, saya lupa untuk mengajak Raja dan lainnya untuk mengikuti saya keluar,” ujarnya sembari tersenyum dan tangan kanan menggaruk kepalanya. “Boleh untuk ikut saya, sebentar?” sambungnya. Mereka berada di halaman rumah. “Jadi, tolong berikan saya waktu untuk menyampaikan pendapat saya. Menurut saya, lebih baik kita membahasnya di sini. Tujuannya, agar lebih santai dan damai karena ditemani semilir angin yang menyejukkan. Baik, begini, saya memiliki pemikiran. Tapi, jika ada yang salah, saya mohon maaf. Siapa tahu, bisa digunakan untuk menghadapi situasi saat ini. Raja, menurut saya, sebaiknya sebelum mengerahkan pemuda, kita harus bisa mengubah pola pikirnya terlebih dahulu. Bahkan, seharusnya pola pikir baru ini juga diterapkan oleh kita sendiri. Kita harus bisa menyetel pikiran kita untuk sesuatu yang baik. Sesuatu yang bernilai positif dan selalu optimis. Kalau kita hanya mengandalkan fisik untuk berperang, saya pastikan akan kalah. Tapi, kalau kita berperang dengan akal, insyaallah akan menang. Kenapa demikian? Sebab, ketika kita memiliki pola pikir yang bagus, ketika ada masalah di tengah-tengah peperangan, kita akan mampu untuk mencari jalan agar bisa bangkit kembali dan melanjutkan tugas.” Wijaya membuang napas sembari berjalan ke depan satu langkah. Berhadapan dengan dua orang yang jauh lebih tua darinya. Sebenarnya, hatinya grogi untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi, Wijaya harus berani mengungkapkan hal itu demi tercapainya tujuan. Wijaya menginginkan adanya kesamaan derajat bagi laki-laki maupun perempuan. “Wijaya, pemikiranmu begitu sempurna. Kamu masih muda, tapi seperti orang yang sudah memiliki pengalaman lebih luas. Lalu, langkah awal yang harus dilakukan apa? Apakah mengumpulkan semua pemuda?” tanya Raja sembari menyentuh pundak Wijaya dengan bangga. “Benar, tapi jangan melupakan peran seorang perempuan. Para pemudi pun memiliki kewajiban dalam upaya kemajuan kerajaan. Bahkan, mereka juga memiliki kewajiban untuk turut serta dalam mempertahankan kekuasaan dan kejayaan kerajaan. Mereka tidak hanya bisa dalam hal dapur saja. Mereka harus bisa semuanya, termasuk kegiatan yang dimiliki laki-laki. Bukan berarti, saya menyuruh para pemudi untuk ikut dalam peperangan fisik, nantinya. Tapi, mereka akan diberi tugas dalam kemajuan kerajaan. Caranya dengan memberikan mereka kebebasan dan menyetarakan derajat perempuan terhadap laki-laki. Adakan organisasi untuk membangun kerajaan yang cerdas,” jawab Wijaya penuh dengan keyakinan, walaupun mengungkapkannya dengan suara yang terdengar bergetar. “Tidak, perempuan cukup berada di rumah untuk melakukan tugas rumah. Buat apa punya ilmu kalau hanya berada di rumah,” jawab Prabu Tengker dengan suara yang menggebu-gebu. “Mohon maaf, Baginda Prabu, saya hanya menyampaikan pemikiran saya saja. Lagi pula, kecerdasan penerus atau seorang anak itu berasal dari ibunya. Jika kita tidak mendidik para pemudi mulai saat ini, mau jadi apa masa depan, nanti?” “Cukup. Saya akan menampung semua pendapat yang masuk. Saya permisi kembali untuk memikirkan keputusannya.” Raja pergi kembali ke kerajaan bersama para prajuritnya. Tidak lama pun, Prabu Tengker kembali masuk. Wijaya yang merasa tidak enak hati pun melangkah kembali dengan beban pikirannya. Duduk di bangku panjang dekat tungku di malam hari. Ditemani angin yang kencang beserta hujan badai, membuatnya menyalakan api dari kayu bakar. “Semoga saja, pendapatku dipakai oleh Raja. Kasihan kalau mendengar cerita Gayatri yang dikekang untuk keluar rumah. Bahkan, sekadar bermain dan berbagi pendapat bersama temannya saja tidak diberi izin. Apakah orang tua harus sekejam itu dengan dalih keselamatan anaknya?” lirih Wijaya sembari menggosokkan batu untuk membuat api. Wijaya berbaring di bangku panjang ditemani api dalam tungku. Sekalian dirinya memasak air untuk minum keesokan harinya. Hujan yang secara tiba-tiba mengguyur membuatnya meriang kedinginan. Padahal, dia rebahan hanya berjarak setengah meter saja. Tidak terasa matanya terpejam saking lelahnya. Tidur di bangku panjang tanpa ada rasa takut jatuh atau apa pun. Sampai akhirnya, telinganya mendengar suara ayam yang berkokok. Wijaya terbangun lalu menyeduh air putih dari teko. Tidak lama kemudian, Wijaya pergi menelusuri tepi hutan untuk mencari kayu bakar. Persediaan kayu di rumah telah menipis. Sebab, setiap malam dia harus menyalakan api unggun untuk penerangan. Wijaya tidak bisa tertidur dalam keadaan gelap gulita. Kakinya merasa tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang melilit di sana. Merasakan sensasi geli akibat lilitan itu. Matanya menatap ke bawah, betapa terkejutnya kala melihat sesuatu dengan warna cokelat. Sontak saja, dirinya menjerit dengan keras karena ketakutan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN