Prabu mengangguk lalu mengambil satu potong kue lapis. Setelah itu, dia memilih untuk beranjak dengan alasan akan pergi ke belakang. Dia ingin mencari udara segar dari pepohonan yang ada di belakang kerajaan.
“Sudah biarkan saja,” kata raja sembari mengusap bibirnya. “Bagaimana kalau kapan-kapan kamu bagikan resep pembuatan kue lapisnya ke para pemudi, tujuannya agar ada variasi makanan baru untuk warga. Ya, walaupun sulit untuk membuat tepung singkongnya,” sambungnya.
“Boleh, Baginda. Tapi, bagi saya lebih baik kita mempelajari baca dan tulis terlebih dahulu. Kedua hal itu yang akan menemani seiring berjalannya hidup mereka,” jawab Wijaya yang menggunakan logikanya.
“Bagus, terima kasih banyak, ya. Mari kita keliling kerajaan. Saya akan menceritakan kurang lebih tentang sejarah kerajaan ini. Ya, walaupun sudah terjadi di masa lalu, tapi kita juga bisa belajar dari apa yang pernah terjadi, kan?” katanya sembari beranjak.
Raja mengajak Wijaya mengelilingi kerajaan. Mulai dari bagian depan. Sebuah gerbang yang begitu indah, di balik indahnya gerbang itu ada sesuatu yang menjadi kilas balik. Semuanya tidak ada yang dengan mudahnya terjadi. Bahkan, hanya sebuah gerbang kerajaan yang memiliki banyak cerita. Salah satu kisah di balik adanya gerbang itu adalah adanya kehancuran sebelum raja yang sekarang. Dibangunnya gerbang itu untuk titik awal bangkitnya kerajaan. Adanya gerbang itu salah satu pelampiasan untuk membangkitkan semangat dalam mempertahankan kerajaan. Kemajuan dan pembaharuan dalam kerajaan tidak hanya dalam persiapan berperang, akan tetapi adanya pembaharuan struktur bangunan.
“Sejauh ini, kami masih menjaga keaslian dari bangunan kerajaan. Hanya saja, kami menambah bangunan baru yang bisa digunakan untuk memfasilitasi warga dalam mengerjakan berbagai pekerjaan. Salah satunya, adanya ruang terbuka di belakang, warga bisa menggunakannya untuk berlatih kuda ataupun dasar-dasar berperang,” katanya.
“Jadi untuk bangunan-bangunan candi di samping itu .... “
“Itu semua bertahap. Ada yang dari zaman raja pertama sampai yang terakhir, kemarin. Pada masa saya, saya tidak ingin menambah terlalu banyak candi. Tapi, saya ingin memajukan kerajaan dengan cara yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Oleh karena itu, saya bersyukur bertemu dengan kamu, Wijaya.”
Raja mengajak Wijaya untuk melanjutkan berjalan berkeliling kerajaan. Sampai menginjakkan kaki di belakang kerajaan, mereka duduk di bersama Prabu Tengker. Menatap ke arah depan yang dipenuhi pohon-pohon besar dan bambu. Memang, sedikit menyeramkan, tapi memberikan udara sejuk yang dijadikan sumber bernapas untuk sebagian warga yang tinggal di sana.
“Baginda raja, kenapa di sana ditanami banyak pohon besar?”
“Tidak apa-apa. Memang dari dulu sudah ada. Kami tidak ada niat untuk memotongnya. Sebab, di sana juga ada makhluk yang berhak untuk tinggal. Jadi, kita sebagai manusia tidak boleh egois untuk menguasai bumi.” Raja Purnama pun beranjak. Melangkah satu langkah untuk mengambil plastik. Membawanya ke sebuah tempat sampah yang ada di sana. Memasukkannya sesuai dengan jenisnya.
“Baginda Raja, saya izin untuk kembali terlebih dahulu,” kata Wijaya yang memahami kode dari Prabu Tengker yang ada di sampingnya.
Wijaya pun teringat dengan persyaratan dari Prabu Tengker. Dia akan berusaha untuk menjauh dari raja. Tapi, Wijaya akan tetap melanjutkan kegiatannya, berbagi ilmu kepada pemuda dan pemudi. Wijaya ingin ilmunya bisa bermanfaat dan membawa kemajuan di kerajaan. Kakinya melangkah meninggalkan kerajaan. Walaupun, sebenarnya dirinya masih ingin berbincang lebih banyak tentang kerajaan.
“Wijaya, kok enggak bareng Ayah?” tanyanya.
“Iya, saya pulang terlebih dahulu. Memang ada apa?”
Gayatri hanya menggeleng. “Gayatri, tunggu sebentar,” kata Wijaya sembari menundukkan kepala dalam beberapa detik. Kemudian, tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Saya mau berbicara sesuatu yang penting sama kamu.”
“Mau ke mana?” tanya Gayatri kaget dengan sikap Wijaya yang menyeret lengannya. Entah, pria itu akan membawanya ke mana. Tapi, sejujurnya ada rasa khawatir di hati Gayatri. Dia merasa takut dengan sikap pria itu. Sebab, pertama kalinya Wijaya seakan memaksanya untuk ikut bersamanya. “Wijaya lenganku sakit,” sambung Gayatri.
“Maaf, saya mau berbicara sesuatu yang penting. Gayatri, kalau suatu saat saya pergi, bagaimana?”
Gayatri terdiam beberapa saat. Hatinya serasa hancur kala mendengar ucapan yang lolos dari bibir pria itu. “Kenapa kamu tanya seperti itu?”
“Manusia tidak ada yang abadi. Saya ingin tahu dengan jawabanmu,” jawab Wijaya menatap mata Gayatri dalam. “Heh, malah melamun,” katanya sembari menggerakkan telapak tangannya di depan mata Gayatri. Mungkin, gadis itu terkesima dengan tatapan mata pria itu.
“Maaf, ada apa?”
“Bagaimana kalau saya tidak ada lagi?” tanya Wijaya mengulangi pertanyaannya lagi.
“Saya akan sedih, karena kehilangan teman yang begitu baik dan mengajari saya banyak hal. Semoga, kita selalu diberi kesehatan, sampai akhirnya kita bisa berteman sampai tua nanti,” jawabnya.
Beberapa waktu kemudian, Wijaya tersadar dengan statusnya. Dia hanya dianggap sebagai teman, tak lebih. “Gayatri, mau belajar lagi?” tanyanya.
“Boleh, saya panggilkan teman-teman dulu, ya,” jawabnya lalu pergi meninggalkan Wijaya. Bagi Gayatri, pergi dari tempat itu jauh lebih baik. Jantung dan hatinya jauh lebih membaik. Jujur saja, berada di dekat Wijaya hanya berdua saja membuat hatinya tidak tenang. Bergetar hebat dan membuatnya tak bisa berbicara banyak hal.
Sembari menunggu Gayatri dan beberapa pemudi untuk belajar bareng, Wijaya duduk di sebuah kayu besar yang tumbang. Tangannya memainkan ranting untuk menuliskan beberapa kata yang masih mudah untuk dipelajari.
“Lama banget,” lirihnya sembari meletakkan ranting di tanah. “Keburu sore,” sambungnya.
“Kamu sedang apa, Wijaya?” tanya Raja Purnama yang tiba-tiba saja berdiri di hadapannya. Mungkin, saking tidak fokusnya sampai tidak sadar jika sang raja kerajaan menghampirinya.
“Maaf, Baginda, saya tidak fokus sampai tidak menyadari kehadiran Baginda,” jawab Wijaya sembari menyalami tangan kanan beliau.
“Tidak apa-apa. Kamu sedang apa sendirian di sini?”
“Menunggu beberapa pemuda dan pemudi yang ingin belajar bersama saya. Hari ini, saya ingin mengajarkan kepada mereka cara membaca. Ya, dengan membaca kita tahu, bahwa membaca akan mengantarkan kita ke depan jendela dunia. Menambah wawasan dan pengetahuan dari suatu bacaan. Jadi, itulah sebabnya saya ingin mengajarkan baca dan tulis kepada mereka agar tidak buta aksara,” jawab Wijaya setelah mempersilakan sang raja untuk duduk, walaupun di tempat yang kurang layak.
“Bagus, Wijaya. Tapi, saya kira mereka tidak akan datang. Sebab, matahari saja sudah mulai tenggelam.”
Wijaya menatap ke arah barat. Benar, matahari telah mulai terbenam. Mulai menghilang dari pandangannya. Tapi, dia memberi senja yang berkesan, walau hanya dalam sekejap. Sama halnya dengan Gayatri hari ini. Gadis itu berhasil membuat seorang Wijaya terpana akan pesonanya, walau hanya dalam beberapa waktu saja. Lalu, menghilang sampai saat ini, tanpa memberi kepastian.
Wijaya melangkah ke halaman depan. Masuk ke dalam rumah. Dia yakin ada sesuatu yang terjadi pada Gayatri. Walaupun begitu, Wijaya sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukan. Merenungi apa yang sudah ia ucapkan.
Tak tersadar, dirinya tertidur dengan pulas. Rasa sakit di lengannya mulai menghilang terbawa oleh suasana tidur yang terasa nyenyak. Telinganya mendengar suara ayam jago berkokok. Padahal, rasanya baru satu jam dirinya tertidur. Wijaya terbangun dengan badan yang terasa lebih enteng. Artinya, malam tadi tidurnya jauh lebih berkualitas.
Melangkahkan kaki untuk mencuci wajahnya. Kemudian, keluar dari rumah. Jalan kaki menyusuri sekitar rumahnya. Hitung-hitung melemaskan otot-otot kakinya. Sampai akhirnya, matanya melihat seorang gadis yang membuatnya menunggu lama, kemarin.
“Wijaya, maaf, kemarin .... “
Wijaya menghiraukan gadis itu. Melenggang pergi dari hadapannya. Dia masih merasa kecewa dengan sikapnya. Padahal, Wijaya telah ikhlas menunggu dan memberikan apa yang ia miliki. Nyatanya, Gayatri seakan tidak menghargai pengorbanannya.
Gayatri yang merasa bersalah pun mengejar Wijaya yang sudah beberapa meter di depannya. Saking kecepatan jalannya yang tidak biasa, Gayatri terjatuh karena terlilit kakinya sendiri. Merintih kesakitan atas luka di kakinya yang terkena batu-batuan.
“Makanya hati-hati,” kata Wijaya mengulurkan tangannya. Ternyata, dia tetap peduli dengan Gayatri. Wijaya rela lari balik ke arah Gayatri tersungkur di tanah.
“Maaf,” lirih Gayatri.
Tidak lama dari itu, ada Raja Purnama yang datang ke arah mereka. Beliau mengajak Wijaya untuk berdiskusi sesuatu. Tapi, Wijaya menolak secara halus. Teringat dengan kesepakatan bersama Prabu Tengker beberapa waktu lalu. Alasan yang terlontar dari bibirnya tak membuat Raja Purnama percaya begitu saja. Walaupun, baru mengenal Wijaya, raja sudah bisa menilai tentang pribadi seorang Wijaya. Akhirnya, Wijaya ikut bersamanya. Gayatri yang mengerti akan kerahasiaan kerajaan pun mengalah dengan kembali ke rumahnya.
“Ada apa Baginda Raja?” tanyanya setelah sampai di hutan, sedikit menengah.
“Wijaya, ada apa dengan dirimu? Sejak kemarin sore, saya perhatikan ada sikap kamu yang tidak biasa. Kamu kalau ada masalah, bisa cerita dengan saya,” katanya.
“Tidak ada masalah apa-apa, kok. Oh iya, apa yang harus dikerjakan untuk pembaharuan kerajaan?” jawab Wijaya sembari membenarkan jarit yang melilit di pinggangnya.
“Sementara ini, kita kerjakan seperti yang sudah kamu kerjakan. Bagi saya, ilmu dan pengetahuan warga jauh lebih penting. Wijaya, sebenarnya kamu berasal dari mana?”
Wijaya tidak bisa menjawab. Terdiam karena tak tahu harus mengucapkan apa-apa. Bingung untuk menceritakan tentang asal usul dirinya yang dari masa depan. Tapi, dia tidak bisa untuk mengungkapkan hal itu, sebelum dirinya menemukan sebuah benda yang bisa mengantarkannya kembali ke masa depan.
“Saya dari pulau lain, tapi saya tersesat sampai di sini,” jawabnya berbohong.
“Lalu, apakah kamu akan kembali ke asalmu?”
“Kemungkinan besar, iya. Saya pun rindu dengan keluarga. Tapi, saya masih ingin di sini untuk berbagi dengan teman-teman. Nanti, ketika waktunya sudah tepat, saya akan kembali.”
Raja Purnama hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa untuk menahan Wijaya agar tetap berada di tempatnya. Sebab, di mana dirinya akan tinggal itu hak dari Wijaya yang tidak bisa digugat oleh siapa pun. “Semoga apa yang ingin kamu kerjakan di sini, bisa segera selesai,” kata raja.
“Terima kasih, Baginda Raja, apakah saya boleh meminta tolong?”
“Minta tolong untuk apa?”