Angan Wijaya

1592 Kata
Wijaya menunduk. Otaknya sedang merangkai kata untuk mengungkapkan semua rasa yang telah diramu dalam hati. Memikirkan apakah meminta bantuan dari Raja Purnama merupakan salah satu langkah yang tepat? “Wijaya, kamu mau meminta tolong untuk apa?” tanyanya kembali. “Saya menyukai Gayatri. Akan tetapi, saya tidak yakin jika Prabu Tengker akan menerima saya. Menurut Baginda, apa yang harus saya lakukan?” “Apa kamu serius?” tanyanya. Wijaya masih menunduk. Tidak ada keberanian untuk menatap sang raja. Tidak ada niat untuk Wijaya merendahkan seorang perempuan. Karena hal itu, dia tidak akan mengajak Gayatri menjalin hubungan yang tidak jelas. “Saya serius.” “Saya perlu tahu asal usul kamu, Wijaya. Prabu tidak akan menerima laki-laki menjadi menantunya, jika pria itu tidak memiliki latar belakang yang jelas. Bahkan, saya sendiri kaget dengan perkataanmu. Bukan saya tidak ingin membantu, tapi adanya kejelasan asal usul itu penting.” “Jika memang begitu, saya akan menjelaskan semua yang terjadi pada diri saya dengan jujur. Tapi, saya bingung untuk memulai bercerita, Baginda,” jawab Wijaya beranjak. “Ceritakan saja, Wijaya. Dimulai pelan-pelan.” “Sebenarnya saya terjebak di dunia ini. Bahkan, saya sendiri masih bingung dengan semua yang terjadi dalam diri saya saat ini. Kalaupun saya harus tinggal di sini selamanya, saya akan lakukan asal bisa bersama dengan Gayatri,” ujar Wijaya sembari berurai air mata, “saya sebenarnya berasal dari masa depan. Saya belum tahu dengan cara agar bisa kembali ke masa depan. Bahkan, untuk mencari tahunya saja saya merasa tidak sanggup hanya dengan logika saja,” sambungnya. “Masa depan?” tanyanya. “Iya. Tapi, saya berjanji tidak akan meninggalkan Gayatri, andai saya bisa bersamanya. Bahkan, ketika saya menemukan jalan untuk kembali ke masa depan pun saya akan tetap berada di sini bersamanya.” Raja Purnama masih merasa tidak percaya akan ucapan Wijaya. Sebuah kejadian aneh yang tidak pernah terjadi. Bahkan, dilogika saja rasanya tidak akan sampai untuk menemukan titik terangnya. Raja Purnama percaya dengan Wijaya. Dia akan membantu pria itu untuk bisa bersatu dengan Gayatri. Akan tetapi, dia ingin agar Wijaya mengucap janji di hadapannya dan di hadapan Tuhan untuk tidak pernah meninggalkan Gayatri dalam keadaan apa pun. “Saya berjanji di hadapan Tuhan dan Baginda raja untuk tidak meninggalkan Gayatri dalam keadaan apa pun. Saya berjanji akan bersamanya sampai akhir hayat,” katanya dengan suara yang lantang dan penuh keyakinan. “Semoga kamu bisa memegang janji itu. Wijaya, apa yang membuat kamu jatuh hati pada Gayatri?” “Saya ... menyukai pribadinya. Bagi saya fisik adalah paling terakhir,” jawab Wijaya menahan malu. “Jelas, mau nomor berapa pun itu ... Gayatri itu definisi perempuan yang sempurna. Sempurna akhlak maupun fisiknya. Hanya saja, dia memiliki Ayah yang pemikirannya sempit.” Baginda Raja tertawa tipis. “Saya minta agar kamu mempersiapkan diri. Pikirkan dulu dengan keputusanmu. Kalau sudah yakin dengan keputusanmu, datanglah ke saya. Saya akan membantumu untuk melamar gadis pujaan hatimu itu.” Raja Purnama pergi meninggalkan Wijaya seorang diri. Wijaya melangkah untuk meninggalkan tempat. Lebih baik kembali ke rumah lalu menyembah Tuhan. Meminta petunjuk agar niat baiknya diberi kejelasan. Apa yang dikatakan Raja Purnama memang benar, jangan sampai salah memutuskan sesuatu yang besar. Pernikahan bukanlah suatu ajang untuk permainan. Pernikahan adalah salah satu cara beribadah kepada Tuhan yang seharusnya disertai rasa kasih yang tulus. Membentuk suatu rumah tangga dengan mempersatukan dua insan bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan sembarangan. Kini, Wijaya sedang duduk di bangku panjang sembari merenungi semua yang harus dilakukan. Jangan sampai mengambil keputusan secara terburu-buru, Wijaya memilih untuk memejamkan matanya. Berharap mendapatkan pencerahan melalui mimpinya. Beberapa hari kemudian, Wijaya nekat untuk pergi ke kerajaan. Wijaya merasa telah siap dengan segala keputusannya. Wijaya ingin sebuah rasa yang telah lama ada di dalam hati tidak menjadikan fitnah di kemudian hari. Wijaya telah memutuskan untuk maju menikahi Gayatri. Dia tidak peduli dengan jawaban dari Gayatri maupun keluarga besarnya. Niatnya baik untuk menghindari fitnah dan zina yang akan berterusan jika tidak segera diluruskan. “Kamu sudah memikirkan matang-matang dan siap untuk kehilangan ibumu?” tanyanya. Wijaya terdiam. Selama beberapa hari dirinya terlalu egois. Hanya memikirkan rasa yang ada untuk gadis itu, tanpa memikirkan ibunya yang sedang menunggu di masa depan. Wijaya menunduk sembari menyeka air matanya. Teringat dengan sosok ibu yang telah berjuang untuknya. Tapi, untuk bisa bertemu dengan ibunya saja dia tidak tahu, bagaimana caranya. “Saya siap dengan segala konsekuensinya,” jawab Wijaya yang masih dipenuhi rasa ragu. “Baik, kalau begitu kita datang ke rumahnya,” jawabnya, “tapi, nanti malam.” Wijaya hanya mengangguk paham. Wijaya izin untuk kembali ke rumah sepetak yang ia tempati selama ini. Melangkahkan kaki dengan rasa yang tidak biasa. Hatinya seakan terombang-ambing. Menginginkan gadis idamannya, tapi juga memikirkan sosok ibu. Mana mungkin, seorang anak ikhlas untuk kehilangan ibunya, kecuali kematian. Bahkan, berpisah karena maut saja, rasanya untuk ikhlas begitu sulit. Lantas, sekarang dirinya harus berpisah karena berbeda masa. “Wijaya, jangan sampai salah langkah,” lirihnya sembari mengusap air mata yang berhasil lolos kembali. Wijaya pergi ke sungai untuk mengambil air. Stok air yang ada di gentong telah menyurut. Di sungai itu Wijaya bertemu dengan Gayatri bersama Prabu yang sedang mencari ikan. Wijaya tak berani untuk menyapa. Entah, apa yang terjadi padanya. Bahkan, dia tidak memikirkan kata-kata yang akan diucapkan malam nanti. “Wijaya,” panggil Prabu Tengker yang sedang berdiri di tengah sungai membawa bambu panjang yang digunakan untuk menombak ikan. “Eh, iya,” jawabnya. “Kamu mau sekalian mencari ikan?” tanyanya. Wijaya merasa aneh dengan sikap Prabu Tengker. Terkadang, dia seakan membencinya, tapi kadang juga begitu baik dengannya. Lalu, apa maksudnya dengan perkataan beberapa waktu lalu. Dia meminta Wijaya untuk pergi dan menjauh dari Raja Purnama. Tapi, Wijaya sendiri pun merasa menjadi seorang pecundang yang ingkar janji. Lantas, apakah Wijaya bisa memenuhi janjinya untuk Gayatri? “Tidak, saya makan sama singkong saja, nanti,” jawab Wijaya buru-buru mengambil air dengan dirigen berwarna biru. Saat ini, Wijaya merasa tak sanggup untuk melirik ke arah Gayatri. Padahal, biasanya dia selalu dengan sengaja mencuri pandang. Mungkin bisa disebut telah berzina mata dengan gadis itu. Apa karena dia telah berniat baik dengan Gayatri sehingga tak mampu untuk melecehkan gadis itu lagi? Wijaya pergi dengan mengangkat dirigen birunya. Tentu dengan kerendahan hatinya, Wijaya berpamitan untuk pergi lebih dulu. Baru saja beranjak dari sungai, kakinya tergelincir pasir yang berserakan di sana. Air yang berada di dalam dirigen pun tumpah tak bersisa. Beruntung dirigen itu tidak jatuh di badannya. Prabu Tengker yang mengetahui hal itu pun bergegas beranjak. Membuang bambu tombaknya ke sungai lalu berlari menghampiri pria itu. Membantu Wijaya yang telah basah kuyup untuk berdiri. “Kamu memikirkan apa?” tanyanya sembari memapah pria itu kembali ke rumah. Beruntung sungai itu hanya berada di belakang rumahnya saja. Jadi, kaki Wijaya tidak akan semakin parah lukanya. Tidak lama kemudian, Wijaya telah merasa lebih enak di kakinya, setelah di urut oleh Prabu Tengker. Kini, Wijaya duduk di bangku panjang sembari menunggu kedatangan raja. Kakinya telah berangsur membaik, tapi hatinya semakin terasa tak karuan. Rasa gugup lebih mendominasi di hatinya. Bahkan, pikirannya saja terasa tak sinkron dengan keadaan. Dua jam kemudian, raja telah datang bersama beberapa prajuritnya. Katanya, selain mengawal perjalanan, prajurit itu yang akan menjadi saksi lamarannya. Melamar seseorang secara sakral seharusnya membawa beberapa orang sebagai saksi untuk meminimalkan kesalahpahaman di kemudian hari. Kini, mereka telah duduk di ruang tamu rumah Gayatri. Duduk disertai rasa bingung dari pihak keluarga Gayatri. Terutama bagi Prabu Tengker yang secara dadakan kedatangan raja. Memang, bukan suatu hal yang asing bagi Prabu Tengker kedatangan tamu terhormat, tapi kali ini beliau datang tanpa ada kabar terlebih dahulu. Alhasil, Tunggadewi tidak bisa memberikan jamuan yang lebih layak lagi. “Santai saja, Prabu. Saya ke mari bukan untuk meminta makanan. Akan tetapi, ada sesuatu yang penting menyangkut anak gadismu.” Raja Purnama melirik ke arah Wijaya beberapa detik. “Ada apa dengan Gayatri? Apakah dia berbuat masalah? Itulah sebabnya saya tidak setuju jika anak perempuan terlalu dibebaskan. Mereka memang seharusnya berada di rumah untuk memenuhi kodratnya sebagai perempuan,” jawabnya dengan tatapan wajah yang terlihat begitu panik. “Bukan seperti itu, Prabu. Justru, Gayatri memberikan dampak positif untuk perempuan-perempuan sebayanya. Ada seseorang yang menginginkan putrimu,” jawab raja secara gamblang. Prabu Tengker dan Tunggadewi terlihat saling bertatapan. Mereka masih kebingungan dengan malam ini. “Maksud Baginda Raja?” lirih Tunggadewi dengan suara yang terdengar bergetar. “Ada laki-laki baik yang begitu serius dengan Gayatri. Dia memiliki angan untuk mempersunting Gayatri. Tapi, saya juga tidak bisa memaksakan kehendak kalian. Semua keputusan ada di tangan kalian.” “Siapa pria itu, Baginda? Apakah kami mengenalnya dengan baik?” Prabu Tengker menatap raja dengan tatapan yang tidak bisa diartikan lagi. Dia merasa tidak menyangka gadisnya telah ditemukan oleh seseorang yang mencintainya. Tapi, dia masih belum ikhlas jika putri semata wayangnya akan dipersunting oleh orang itu. Apalagi, dirinya masih belum mengetahui secara jelas asal usul pria itu. “Apakah .... “ Prabu Tengker menatap Wijaya sekilas. “Iya benar. Wijaya, laki-laki yang jatuh hati pada putrimu. Dia memiliki niat yang baik untuk putrimu. Saya datang ke sini untuknya. Sebab, saya yakin bahwa Wijaya bisa menjaga Gayatri selayaknya kamu dan istrimu menjaganya.” “Wijaya, kenapa kamu tidak datang bersama orang tuamu?” tanya Prabu Tengker dengan ekspresi wajah yang terlihat tidak suka. “Saya ... Saya belum bisa mengajak mereka datang ke sini. Oleh karena itu, saya meminta Raja Purnama untuk mewakili kedua orang tua saya,” jawab Wijaya menunduk ketakutan dengan tatapan Prabu Tengker. “Ayah, kenapa ramai?” tanya Gayatri yang memakai kerudung panjang di kepalanya. Mungkin, dia baru saja kembali dari langgar. “Ayah .... “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN