Diskusi Panjang

1081 Kata
Gayatri bergegas keluar rumah. Takut jika harus terjadi peperangan antara keduanya. Apalagi, saat Gayatri menatapnya melalui jendela, ayahnya sedang terlihat sangat marah dengan Wijaya. Tidak lama kemudian, Tunggadewi muncul dari ambang pintu tengah. “Gayatri!” teriaknya sembari ikut berlari mengejar anaknya. Gayatri berhenti. Membalikkan badan, menghadap ke arah ibunya. Lalu, kembali lari ke arah ayahnya. Begitu pula dengan Tunggadewi. Mereka menginjakkan kaki di teras rumah satu petak itu. Kehadiran kedua wanita membuat Prabu Tengker dan Wijaya terheran-heran. Bahkan, kedua pria itu menatap dengan tatapan yang terlihat berbeda. “Kalian kenapa?” tanya Prabu Tengker sembari mengusap keringat yang menetes di wajah istrinya. “Ada apa?” “Gayatri yang lebih dulu ke sini,” jawab Tunggadewi sembari tersenyum manis. Tangannya menyentuh lengan Tunggadewi yang sedang mengusap keringat. Bagaimana dia tidak berkeringat, berkutat di dapur untuk menyiapkan air hangat untuk suaminya. Lalu, berlarian mengejar Gayatri. “Kang Mas sendiri kenapa ke sini?” sambungnya. “Ada urusan sebentar. Kenapa?” jawabnya. “Ayah, pulang saja, ayo.” Gayatri menarik lengan ayahnya. Tapi, ditepis oleh pria itu. “Kalian saja pulang. Masih harus membahas tentang suatu hal.” Prabu Tengker menggandeng Wijaya agar masuk ke rumah itu. Prabu ingin membahas sesuatu yang penting. Bahkan, bersifat rahasia. Kini, keduanya duduk di bangku panjang itu. Padahal, di depan rumah itu masih ada Gayatri ataupun ibunya untuk menguping pembicaraan. “Wijaya, entah kapan akan terjadi perang lagi. Pihak kerajaan sebelah tidak akan berhenti untuk melawan kita. Karena tujuan mereka hanya ingin menguasai dan mengambil alih kerajaan. Kita harus bisa merencanakan strategi baru yang lebih ampuh.” “Bisa saja. Tapi, tidak bisa memutuskan sendiri. Kita harus merundingkan hal ini bersama dengan Raja Purnama ataupun anggota perang lainnya. Selain membahas strategi, kita harus menyiapkan pos keamanan. Berjaga-jaga jika ada sesuatu yang terjadi. Pos itu juga digunakan wanita untuk berlindung.” “Kalau begitu, lebih baik dibicarakan besok bersama di kerajaan.” Prabu Tengker keluar. Terkejut dengan kedua wanita yang menjadi separuh jiwanya masih setia di depan rumah. “Pulang,” ujarnya sembari melangkahkan kaki lebih dahulu. Waktu telah berganti. Sekitar pukul delapan pagi, Wijaya berangkat ke kerajaan. Mengikuti diskusi panjang demi sebuah kerajaan. Wilayah dan kekuasaan kerajaan sedang berada di ujung tanduk. Tapi, mereka tidak akan berhenti untuk berjuang mempertahankannya. Kini, Wijaya bersama raja dan pasukan perang sedang duduk di sebuah ruangan. Membahas beberapa kemungkinan musuh akan datang. Bisa saja secara dadakan seperti waktu itu. Sehingga, mereka harus mengatur strategi dengan matang. “Baginda raja, apabila ada kemungkinan lebih besar, apakah akan ada kemungkinan warga lain, terutama wanita akan ikut terkena dampaknya?” tanya Wijaya yang teringat dengan nasib para wanita yang hanya bisa bersembunyi di dalam rumah. “Bisa jadi. Oleh karena adanya kemungkinan itu, saya ingin kita memiliki strategi yang tepat. Jangan lagi salah ambil langkah. Bahkan, kamu dua kali tumbang dalam peperangan. Tapi, saya menyukai pendapat dari kamu yang sesuai dengan pemikiran saya.” “Baginda, mohon maaf jika saya lancang. Seperti yang barusan Anda sampaikan, ada kemungkinan wanita akan ikut terkena dampak, apa sebaiknya kita melakukan evakuasi terlebih dahulu untuk mereka?” kata salah satu pasukan perang yang duduk di ujung belakang. “Bisa saja. Tapi, dibutuhkan waktu untuk mencari tempat yang cocok. Karena, kalau kita salah mengambil tempat, mereka bisa saja menyerang ke tempat evakuasi. Akhirnya, mereka menyerang wanita-wanita itu.” Raja Purnama mengambil sebuah peta kertas yang ada di dalam peti kayu. “Prabu, coba lihat peta ini, carilah satu tempat yang menurutmu aman.” “Padahal kita itu hanya akan menghadapi lawan, bukan untuk berdagang. Kenapa harus ada strategi?” timpal salah satu warga yang duduk di sebelah kanan, barisan nomor tiga dari belakang. Prabu Tengker mengembuskan napas. “Nah, itu Anda tahu bahwa seorang pedagang saja membutuhkan strategi agar dagangannya laku. Strategi kita dalam melawan musuh itu juga berfungsi agar bisa mencapai tujuan, yaitu wilayah kita tidak jatuh kepada mereka.” “Benar, Prabu. Jadi, memang saat ini kita ibaratkan sedang berniaga saja. Tujuan kita hanya satu mempertahankan kerajaan agar tidak runtuh, apalagi jatuh ke tangan musuh.” Raja Purnama beranjak keluar untuk mengambil beberapa camilan dan minuman. Padahal, dia memiliki pembantu yang bisa saja disuruh-suruh. Tapi, beliau memilih untuk menjamu tamu kehormatannya dengan tangannya sendiri. Rakyat dan pasukan perang merupakan orang-orang yang terhormat baginya. Sebab, mereka yang akan maju untuk bertaruh nyawa hanya demi kerajaan. “ Silakan menikmati makanan dulu, di sana,” ujarnya memberikan arahan ke suatu ruangan yang digunakan makan raja bersama keluarga besar inti kerajaan. Semua orang yang ada di ruangan itu pun bergegas untuk menikmati makanan yang sudah disediakan. Menikmati makanan enak dan lezat hanya bisa di kerajaan saja. Sebab, untuk bisa membeli daging saja mereka harus bekerja selama beberapa bulan. “Akhirnya bisa makan enak lagi,” celetuk salah satu di antara mereka. Akibatnya, mereka saling melontarkan bahan bercanda, walaupun terdengar kasar dan mengejek. Tapi, tidak ada satu pun yang merasa tersinggung. Justru, karena hal itu yang membuat mereka tertawa lepas, sebelum menghadapi peperangan yang tidak tahu kapan akan terjadi. Satu jam lebih telah berjalan. Mereka kembali ke sebuah ruangan yang sebelumnya. Melanjutkan untuk membahas sesuatu yang belum mendapatkan keputusannya. Duduk sesuai dengan formasi awal. Mereka saling terdiam untuk menunggu raja membuka kembali. “Ayo dimulai lagi, kenapa malah terdiam,” ucapnya. “Sebentar, Baginda, perut saya terasa sedikit mual,” jawab Wijaya mengelus perutnya. “Itu mah kamu kebanyakan makan daging,” kata Prabu Tengker sembari tertawa tipis. Karenanya membuat suasana di dalam ruangan menjadi gaduh. Mereka tertawa mengikuti Prabu Tengker. “Sepertinya memang begitu.” “Prabu, bukannya kamu sudah digantikan oleh Wijaya?” ledek salah satu prajurit kerajaan. “Kenapa masih saja datang ke kerajaan?” sambungnya. “Tanya saja sama Raja Purnama,” kata Prabu dengan santai. “Prabu sudah saya ambil lagi. Soalnya dia berperan untuk melawan musuh dengan keahliannya berperang.” Raja Purnama menyeduh air putihnya, “maaf, kurang sopan,” sambungnya meletakkan gelasnya. “Maaf, Baginda, apakah ada cara lain agar kita tidak melakukan perlawanan? Bukan untuk m3njadi seorang pecundang, kalau bukan kita yang menghentikan peperangan ini, siapa lagi? Apakah peperangan ini akan terus terjadi sampai adanya cucu dan cicit kita?” kata Wijaya dengan beraninya. Terlintas di kepalanya yang menginginkan kerajaan segera merdeka. Apalagi, peperangan yang tak ada usainya akan mempersulit kehidupan di generasi berikutnya. “Sebenarnya dari lama, kita juga ingin damai. Tapi, musuh yang selalu memulai. Mungkin, visa dengan bernegosiasi. Tapi, akan berakhir dengan permintaan mereka. Karena sebenarnya yang diinginkan hanya wilayah kekuasaan kerajaan ini saja.” “Saya akan .... “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN