Wijaya beranjak membuka pintu jendela. Melihat ke angkasa, terlihat ada peluru. Wijaya merasa belum sanggup untuk pergi melawan musuh yang belum juga menyerah. Pria itu kembali duduk di bangku setelah melihat keadaan sekitar yang damai.
“Baru juga lekas kering lukanya, sudah berbuat ulah saja,” lirih Wijaya sembari memasukkan kayu bakar.
Beberapa saat kemudian, Wijaya mendengar adanya suara pistol beberapa kali. Wijaya merasa tidak nyaman dengan hal itu. Tapi, tubuhnya belum sehat seperti sebelumnya. Melihat ke arah rumah Prabu Tengker. Matanya tidak melihat adanya Prabu Tengker di sana. Padahal, pintu jendela rumah itu terbuka lebar.
“Prabu Tengker di mana?” lirihnya sembari menutup jendelanya, “semoga tidak ada sesuatu yang menggemparkan,” sambungnya.
Wijaya berpikir lebih jernih. Kondisi malam hari, siapa yang melakukan penyerangan? Tapi, bisa saja menjadi strategi baru dari musuh untuk melakukan penyerangan. Wijaya tidak habis pikir, buat apa mereka melakukan perebutan wilayah? Bukankah cukup mensyukuri apa yang sudah ada dan memaksimalkan potensi yang ada?
Tidak lama kemudian, Wijaya keluar dari rumahnya. Merasa penasaran dengan kondisi di luar sana. Menatap luar yang sunyi, melihat ke arah atas untuk mencari suara pistol. Ternyata, hanya seseorang yang sedang berburu burung. Wijaya kembali masuk. Duduk di bangku panjang. Ingin membuat matanya terlelap dalam mimpi telah tidak bisa lagi.
Dua hari setelah itu, Wijaya pergi menjalankan rutinitasnya. Mengambil air dalam dirigen. Persediaan air di rumahnya telah habis. Di sungai itu, dia bertemu dengan gadis itu. Wijaya tidak mendekatinya. Bukan karena rasa yang telah hambar, tapi Wijaya tidak ingin terjadi perselisihan dengan Prabu Tengker lagi.
“Wijaya, saya mau bicara sebentar saja,” katanya beranjak menghampiri Wijaya yang tengah meletakkan dirigen.
“Mau bicara apa?” jawabnya dengan mengibaskan lengan yang terasa pegal. Mengangkat air dalam dirigen bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan tenaga yang kuat untuk mengerjakan itu. Apalagi, langkahnya yang harus melewati jalan setapak dengan jalan menanjak. “Bicara saja, kenapa malah diam?”
“Wijaya, kamu sudah tidak .... “
“Tidak apa? Biasakan kalau bicara itu tuntas. Tidak perlu dipenggal-penggal. Biar semuanya jelas,” jawab Wijaya masih mengibaskan tangannya.
“Kamu sudah tidak menginginkan saya lagi?” kata Gayatri menunduk dengan satu tarikan napas. Mendengar Wijaya tertawa keras membuatnya mendongak. Memberanikan diri menatap wajah pria yang tengah melebarkan mulutnya. Beberapa kali Wijaya tertawa dengan menatap wajah Gayatri yang sedang mengerucutkan bibir. Benar, Gayatri merasa kesal karena seolah dipermainkan oleh Wijaya. “Kalau memang begitu, saya akan berhenti untuk berharap.”
“Memang mau kamu kaya bagaimana?” Wijaya menatap Gayatri dalam. Tangannya terlipat dengan rapi.
“Mau saya ... eh, kamu datang lagi ke rumah,” jawabnya secepat kilat.
“Datang? Ayahmu saja masih tidak suka dengan saya, Gayatri. Lalu, apa yang akan diberi untuk saya? Rasa sakit hati lagi?” jawab Wijaya membungkuk untuk mengangkat dirigennya kembali.
“Apa kamu sudah menyerah?”
“Menyerah? Gayatri, saya saja rela mati demi mempertahankan kerajaan. Bahkan, saya saja masih asing dengan tempat ini, asing dengan budaya, dan kegiatan yang ada di sini. Rasanya untuk menyerah mempertahankan kamu itu tidak mungkin. Kami harus tahu, kalau saya mencintai satu wanita, saya akan mencintainya dengan tulus. Jadi, tidak akan semudah yang kamu pikirkan untuk membuang perasaan saya terhadap kamu,” kata Wijaya sembari menyentuh puncak kepala Gayatri lalu mengangkat dirigen biru. Melangkahkan kaki kembali ke rumah. Dia harus segera memasak air untuk persediaan selama beberapa hari.
Cuaca yang panas membuat Wijaya harus menyediakan air putih dalam jumlah yang banyak. Walaupun masih ada pepohonan yang rimbun, tetap saja sinar mentari yang menyengat ke tubuhnya akan menghadirkan rasa haus. Apalagi, Wijaya salah satu manusia yang tidak bisa menahan rasa haus.
Setelah selesai memasak air, Wijaya keluar untuk berkeliling tepi hutan. Mencari kayu bakar sembari mencari dedaunan yang bisa dimasak. Rasanya, Wijaya telah bosan memakan singkong selama beberapa bulan. Sampai akhirnya, Wijaya bertemu dengan pohon singkong. Lagi-lagi, singkong yang ada di hidupnya. Tapi, kali ini Wijaya memetik daunnya yang masih muda. Memetik beberapa tangkai. Kemudian, membawanya pulang bersamaan dengan kayu yang telah ia ikat.
“Singkong lagi, tapi kali ini daunnya.” Wijaya mengambil air dengan batok. Mencuci daun singkong itu sampai bersih. Kemudian, direbusnya dengan air mendidih selama beberapa menit. “Hambar,” ujarnya ketika daun singkongnya telah masak.
Wijaya mengambil panci yang masih ada di tungku. Membawanya keluar untuk dibuang di belakang rumah. Tapi, di sana dia malah bertemu dengan Gayatri. Melihat gadis itu berpenampilan yang cukup berbeda. Memakai jarit sampai atas. Rambut yang digelung, tapi sudah mengendur. Benar-benar membuat Wijaya terdiam, tidak bisa berkutik. “Masyaallah, cantik sekali,” lirihnya sembari menundukkan kepalanya.
“Wijaya .... “ Gayatri memegang kain yang membalut tubuhnya. Kemudian, lari masuk melalui pintu belakang. Bisa dilihat wajah Gayatri yang memerah malu oleh mata Wijaya. Setelah gadis itu menghilang dari pandangannya, Wijaya melangkah kembali ke arah tempat sampah. Membuang sayur daun singkong yang hambar di sana.
“Loh kenapa di buang?” tanya Tunggadewi yang berdiri di ambang pintu belakang rumahnya.
“Rasanya hambar, Ibu,” jawabnya.
“Ha ha ... hambar seperti hubungan kamu dengan Gayatri, ya. Kalau mau memasak itu dikasih bumbu, jangan asal di masak,” katanya sembari melenggang masuk ke dapurnya. Tidak lama kemudian, kembali ke ambang pintu belakang rumahnya, tapi pria yang tinggal di rumah sebelah telah menghilang.
Tunggadewi masuk. Menghampiri Gayatri untuk meminta tolong kepada putrinya agar memberikan semangkuk sayur ke rumah Wijaya. Tapi, Gayatri menolaknya dengan halus. Padahal, Gayatri masih menyimpan rasa malu akibat kejadian beberapa waktu yang lalu. Apalagi, saat ini dirinya masih belum membersihkan diri.
“Gayatri, ayo antarkan dulu. Siapa tahu, nanti sikapnya manis lagi ke kamu,” goda Tunggadewi.
“Iya, Bunda. Gayatri mau membersihkan badan dulu,” katanya melenggang pergi membawa sabun dan pakaian ganti ke sungai. Sumber air satu-satunya yang ada di tempat itu. Mereka harus menggunakan sungai itu untuk segala jenis aktivitas, seperti mandi, air untuk memasak, pertanian, dan lainnya.
Gayatri tengah bermain air di sungai. Bahkan, tubuhnya belum juga dibersihkan. Dasar perempuan, bukannya mandi, tapi malah bermain air selayaknya anak kecil. Mungkin, hal itu bukan hanya Gayatri saja. Sebab, hampir pemudi yang ada di tempat itu pun melakukan hal yang sama. Memainkan air untuk mencari kebahagiaan dan ketenangan dalam dirinya.
“Maaf, saya tidak tahu kalau ada orang di sini,” kata Wijaya sembari menutup matanya. Gayatri yang kaget dengan kehadiran Wijaya pun membenarkan pakaian yang ada di tubuhnya. Beruntung, masih ada kain yang menutupi tubuh indahnya. “Maaf,” katanya sembari membalikkan badan.
“Makanya lain kali itu ucapkan permisi,” jawab Gayatri yang juga membalikkan tubuh.
“Loh ini kan sungai, tempat umum,” jawabnya.
Pria itu memilih untuk meninggalkan sungai. Mengalah dengan Gayatri yang sedang menikmati ritual. Dia merasa berdosa karena menatap gadis itu dengan tatapan yang tidak senonoh. Beruntung, Wijaya masih bisa mengelola diri. Masih bisa menahan hasrat. Ya, Wijaya pun laki-laki normal. Bisa saja dirinya tergoda bisikan iblis. Tapi, Wijaya masih memiliki iman yang melekat di dalam hatinya.
“Aduh,” kata Gayatri setelah Wijaya pergi dari hadapannya.
Secepat kilat Gayatri membersihkan diri. Takut jika ada orang lain yang mendadak datang ke sungai. Cukup memakan waktu sepuluh menit saja. Kemudian, dia kembali ke rumah. Masuk ke kamar untuk menyisir rambut dan berdandan diri.
“Gayatri, ini makanannya keburu dingin,” kata Tunggadewi.
Gayatri mengambil piring itu lalu keluar dari kamar. Melangkah ke arah rumah sepetak yabg dihuni oleh pria pujaannya. Tapi, entah kenapa pada saat kakinya berdiri di depan pintu, rasanya tidak sanggup untuk mengetuk pintu. Teringat dengan makanan yang ada di piring itu telah mendingin, Gayatri terpaksa memanggil penghuni rumah itu.
“Iya, ada perlu apa?” tanya Wijaya setelah membukakan pintu. Tapi, dia juga dibuat bingung dengan sikap Gayatri yang hanya menunduk. “Kamu marah sama kejadian tadi? Saya benar-benar meminta maaf, tidak ada maksud untuk melecehkan kamu,” sambungnya.
“Ini ada makanan dari Bunda. Semoga kamu suka,” kata Gayatri masih menunduk. Tangannya mengarahkan piring itu ke arah Wijaya.
“Terima kasih, tunggu sebentar, saya ambil piring dulu,” katanya.
Menunggu Wijaya yang tengah mengambil piring pun membuat Gayatri merasa lelah berdiri. Mendekat ke arah bangku yang ada di depan rumah. Mendudukkan diri di sana sembari menikmati cerahnya langit. Walaupun kondisi hatinya yang tidak baik-baik saja. Gayatri masih merasa kecewa dengan Wijaya yang sama sekali tidak pernah terlihat berjuang untuk cinta mereka di depan Prabu Tengker. Tapi, Gayatri pun sadar diri jika ayahnya memang sekeras batu.
“Makan dulu, ya,” ujarnya memberikan satu piring untuk Gayatri.
“Makan?” lirih Gayatri sembari menatap Wijaya tanpa berkedip.
“Iya, makan bareng. Ya, maaf saya tidak bermodal. Mengajak kamu makan dengan makanan yang kamu bawa dari rumah,” jawabnya sembari mengambilkan satu porsi sayur bayam ke piring Gayatri. “Ini di makannya sama singkong?” tanya Wijaya yang merasa heran. Aneh saja, dipikirnya. Padahal, memang singkong yang menjadi makanan pokok di wilayah itu.
“Eh, iya. Tapi, kalau kamu merasa aneh, makan sayurnya saja,” jawab Gayatri sembari mengedipkan mata beberapa kali.
Wijaya mengangguk sembari mengambil dua sendok sayur bayam ke piringnya. Kemudian, mengajak Gayatri untuk berdoa sebelum makan. Berdoa sebagai rasa syukur karena telah diberi nikmat berupa makanan. Sebab, masih banyak manusia yang tidak bisa makan di luar sana.
“Wijaya apa saya boleh meminta sesuatu?” tanya gadis itu dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Apa? Bertemu dengan Ayahmu?” jawab Wijaya dengan suara yang terdengar sopan.
“Saya mau menikah dengan kamu. Tapi, kalau kamu sudah tidak ada rasa dengan saya, saya tidak bisa memaksa.”
Wijaya batuk karena tersedak sayur bayam. Meneguk air putih yang ada di gelasnya. Air minum yang dibawa bersamaan dengan piring tadi. Wijaya masih tidak menyangka dengan permintaan Gayatri. Bagaimana mungkin dia meminta untuk dinikahi? Padahal, Gayatri sendiri paham jika Prabu Tengker belum juga memberikan izin dan restunya.
“Gayatri, apa kamu kehabisan obat?” jawab Wijaya berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Sekali lagi, pernikahan bukan sebuah permainan. Akan tetapi, suatu ibadah yang harus disertai dengan segala persiapan dan tanggung jawab. “Kenapa kamu secara tiba-tiba berbicara seperti itu?”
“Apa aku salah?”
“Tidak. Saya paham jika kamu ingin untuk sebuah kepastian dari saya. Tapi, kamu sendiri tahu bahwa Ayah tidak memberikan restu itu. Sebuah pernikahan tanpa ada restu dari orang tua tidak akan bahagia, Gayatri,” ujarnya.
“Kenapa kamu selalu mematahkan saya, Wijaya?” tanyanya menunduk. Air matanya mengalir deras. Bahkan terdengar suara sesak dari bibirnya. Gayatri menangis dengan tersedu di tempat.
Wijaya dibuat tidak bisa berpikir dengan jernih. Pikirannya kalut kala melihat Gayatri menangis. Dia tidak bisa melihat seorang perempuan menangis karena ulahnya. Apalagi seorang perempuan yang amat dicintainya. Akan tetapi, Wijaya masih terpikirkan dengan restu dari Prabu Tengker.
“Kita berjuang dulu. Nanti kalau memang sudah bisa bersatu, kita juga akan menikah,” kata Wijaya mencoba untuk mencari jalan tengah.
Gayatri merasa tidak adil dengan sikap Wijaya yang terlihat tidak berjuang. Padahal, Gayatri selalu melakukan apa pun agar ayahnya bisa memberikan restu itu. Lalu, kenapa Wijaya seakan bersikap telah menyerah untuk mendapatkan Gayatri?
“Gayatri, kenapa jadi pria itu sulit? Diam dianggap tidak berjuang. Banyak bicara dianggap pria yang pintar. Lalu, bersikap biasa saja dianggap sudah lupa. Kamu tahu, ada beberapa sesuatu yang sedang saya siapkan untuk mendapatkan hati Ayah. Saya hanya meminta supaya kamu bersabar. Memang, kamu mau nikah lari tanpa adanya restu orang tua?”
“Saya mau. Asalkan, saya bisa bersama kamu,” jawabnya masih menunduk.
“Tapi, saya tidak yakin. Saya kenal kamu. Saya tidak ingin adanya penyesalan di kemudian hari. Apalagi, kamu itu anak satu-satunya dari Ayah dan Bunda. Saya tidak ingin menjadikan hubungan kamu dengan mereka menjadi berantakan. Gayatri, saya tahu rasa sayang dan cinta itu, tapi kepada siapa saja kamu jatuh cinta, jangan sampai membuatmu menjadi bodoh dan buta hati,” kata Wijaya sembari menyentuh pelan puncak kepala gadis itu, “sekarang makan dulu, keburu dimakan semut,” sambungnya.
“Wijaya .... “
“Apa lagi, Dik? Sudah makan dulu,” jawab Wijaya tersenyum manis.
“Dik?”
“Iya, panggilan saya untuk kamu,” jawabnya lagi. Senyuman manisnya yang selalu membuat Gayatri tidak bisa melupakannya. Benar-benar manis nan meneduhkan hati kepada siapa saja yang menatapnya.
Setengah jam kemudian, Gayatri pamit untuk kembali. Melangkahkan kakinya ke arah rumah. Kini, duduk di rumahnya sembari menikmati bayangan manis yang terjadi hari ini. Sampai akhirnya, lamunannya terganggu saat ayahnya kembali dari kerajaan.
“Gayatri, Wijaya ada di rumah?” tanyanya sembari berdiri di ambang pintu.
“Kenapa Ayah tanya sama saya? Mungkin saja ada di rumah.”
“Ada sesuatu yang penting. Menyangkut kerajaan yang harus segera menyiapkan segala sesuatunya. Prediksi dari Raja Purnama akan ada perang yang jauh lebih besar daripada kemarin.”
Prabu Tengker kembali meninggalkan rumah. Mungkin, kakinya berjalan ke arah rumah sepetak miliknya. Gayatri melihat gerak-gerik ayahnya melalui jendela. Terkejut saat ayahnya berdiri di depan pintu rumah itu.
“Ayah .... “