Wijaya menutup mulutnya. Memilih untuk tidak melanjutkan perkataannya. Tidak lama dari itu, mereka memilih untuk mengakhiri. Tanpa ada keputusan di akhir. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa dijadikan bahan untuk dikonsep matang-matang oleh Raja Purnama.
Hari telah berganti. Kini, tepatnya Hari Sabtu, Wijaya telah terbangun sebelum matahari terbit. Wijaya menyusuri sungai untuk mencari pencerahan. Terutama, mencari jalan untuk menginjakkan kaki ke wilayah kerajaan musuh. Entah, Wijaya saja masih tidak tahu dengan tujuannya. Tapi, Wijaya teringat dengan peta yang ada di kertas, kemarin. Menunjukkan bahwa letak kerajaan itu berada di seberang sungai.
“Entah, arus sungai mana yang harus saya lalui,” lirihnya sembari membuang kerikil ke sungai. “Semoga saja bisa menemukan tempat itu.”
Kakinya masih berusaha untuk melalui jalanan yang cukup terjal itu. Semangat memperjuangkan kerajaan masih membara di dalam jiwanya. Apa pun akan dilakukan oleh Wijaya. Mengorbankan nyawa pun tidak menjadi suatu masalah, baginya.
Berhenti di sebelah pohon pisang, Wijaya bertemu dengan Prabu Tengker. Menunduk untuk memberikan rasa hormat, tapi tidak mendapatkan respons darinya. Wijaya melangkahkan kaki dua langkah. Saat itu, Prabu Tengker memanggilnya.
“Ada apa, Tuan Prabu?” tanya Wijaya masih dengan segala rasa hormatnya.
“Kamu mau ke mana? Tempat ini sudah terlalu jauh dari rumah,” jawabnya.
Wijaya tidak menjawab pertanyaan dari Prabu Tengker. Hanya tersirat senyuman manis di ujung bibirnya. Sebab, dirinya pun tidak tahu akan mengatakan apa lagi. Tidak mungkin untuk menjelaskan mengenai keinginan. Memilih mengikuti langkah kaki Prabu Tengker. Kembali ke rumah. “Maaf, Tuan Prabu dari mana?” tanya Wijaya yang penasaran. Sebab, waktu yang belum terlalu siang, sudah bertemu dengan Prabu Tengker dengan arah yang berlawanan.
“Dini hari tadi, pergi mau mencari ayam sawah, tapi tidak dapat.”
Setelah beberapa waktu mereka menempuh perjalanan, kini mereka telah sampai di halaman rumah. Prabu Tengker masuk untuk istirahat. Sedangkan, Wijaya memilih untuk duduk di bawah pohon. Duduk di kayu besar yang tergeletak di sana. Menuliskan harapannya di tanah. Wijaya hanya ingin untuk bisa kembali ke dunianya, kalau tidak bisa mendapatkan kebahagiaan di tempat ini, apalagi tidak bisa mendapatkan Gayatri.
Sampai akhirnya, menemukan sinar mentari yang telah berada di atas kepalanya. Saat itu juga, Gayatri keluar dari rumah. Membawa nampan dari anyaman bambu untuk menjemur singkong. “Kamu sedang apa?” tanyanya sembari meletakkan nampan itu di atas pagar yang sengaja dibuat dari tanaman.
“Sedang membuang pegal di kaki,” jawab Wijaya dengan asal. Padahal, dirinya tidak memiliki arah tujuan. Hidupnya tengah terasa tak berguna. Bahkan, berada di tempat ini saja rasanya telah kehilangan tujuannya. Wijaya merasa gagal untuk melakukan pengorbanan untuk kerajaan. “Memang ada apa?” sambungnya.
“Membuang pegal, kok, kakinya ditekuk?” jawabannya yang membuat Wijaya langsung meluruskan kakinya. “Ha ha bisa juga ya kamu salah tingkah,” sambungnya.
Gayatri duduk di sebelah kanan Wijaya. Ikut berjemur setelah beberapa hari sinar matahari tidak menghangatkan tubuhnya. Wijaya yang menyadari hal itu bergeser. Tidak ingin terjadi kesalahpahaman dari Prabu Tengker jika sewaktu-waktu melihatnya.
“Wijaya, mau nikah lari sama saya?” tanyanya dengan menunduk.
“Apa yang membuatmu yakin sama saya?”
“Saya ... dibuat yakin dengan pengorbanan mu untuk kerajaan. Dengan begitu, kamu bisa berkorban dan tanggung jawab atas diriku. Secara logika, kamu rela memberikan nyawa untuk banyak orang, apalagi untuk saya,” katanya.
“Gayatri, saya mau kita bersabar dulu. Menunggu restu dari Ayah kamu,” jawab Wijaya tanpa menatap gadis itu.
Mata Gayatri yang memang sedang menatap ke bawah pun perlahan mengeja huruf-huruf yang dituliskan oleh Wijaya. Air matanya menetes kala selesai membaca tulisan itu. Tidak menyangka jika Wijaya akan pergi. Apa dia tidak ingin berjuang? Gayatri mengusap air matanya sebelum Wijaya mengetahui.
“Kamu ingin kembali ke tempat asal kamu?” tanya Gayatri dengan suara yang pelan.
“Suatu saat nanti. Tapi, tidak sekarang.”
“Apa kamu tidak mau berjuang untuk kita?”
Wijaya menghadap ke arah gadis itu. Menatap wajahnya yang telah terlihat pucat oleh air mata. “Hai, kamu menangis?” tanyanya sembari mengusap pipi Gayatri yang dipenuhi air mata nyaris mengering. “Putri kesayangan, jangan menangis,” sambungnya.
“Putri?” lirih Gayatri.
“Iya, putri dari Ayahanda Prabu,” jawab Wijaya mematahkan hati Gayatri yang sedang melambung tinggi.
Tidak lama kemudian, Gayatri teringat dengan api bakar yang masih menyala. Perempuan itu berlari ke rumah melalui pintu belakang. Melanjutkan kegiatannya sebagai seorang perempuan. Seseorang yang diwajibkan untuk berada di dapur dan bisa mengerjakan semuanya. Rasanya, seperti tidak adil, jika seorang perempuan dilahirkan hanya untuk dituntut banyak hal. Apalagi, seolah-olah dijadikan seperti b***k. Sedangkan, seorang anak laki-laki diistimewakan dan dimanja.
“Dasar pemikiran yang salah, tapi masih saja dilakukan,” lirih Wijaya sembari menggelengkan kepala menatap gadis itu berlari ke arah pintu belakang.
“Wijaya!” teriak salah satu pemuda. Sosok laki-laki yang bertubuh besar dari Wijaya. Pria yang bertugas menjadi prajurit kerajaan. Beliau datang untuk menjemput Wijaya.
“Memang mau ke mana?” tanya Wijaya untuk memastikan.
“Saya diutus Raja Purnama untuk mengantarkan kamu ke kerajaan sebelah. Raja Purnama telah sampai di sana. Rencana, Raja Purnama ingin mengambil jalur damai,” katanya.
Wijaya telah duduk di atas kuda yang dikendarai oleh prajurit. Menyusuri jalan setapak untuk sampai di kerajaan sebelah. Sebuah kerajaan kecil yang sering menyerang. Selalu berbuat keresahan di lingkungan masyarakat. Membuat Raja Purnama merasa pening dalam menyikapi permasalahan.
“Wijaya, nanti tolong bantu untuk menjadi penengah,” ujarnya.
Beliau berkata seperti akan ada sesuatu yang terjadi. Tapi, Wijaya sendiri telah merasa akan ada perdebatan di antara kedua raja. Dia hanya bisa menjadi pembela yang benar. Setidaknya dengan ini, Wijaya akan mengerti titik permasalahan yang menjadikan adanya peperangan. Perang antar kerajaan ataupun antar saudara. “Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Berdoa yang baik ke Tuhan.”
Satu jam duduk di atas tubuh kuda membuat badannya terasa nyeri. Apalagi, hal ini baru pertama kalinya untuk Wijaya. Mereka masuk ke dalam kerajaan yang jauh lebih kecil dari tempat ia tinggal selama beberapa bulan ini. Kini, mereka telah duduk dalam satu ruangan. Sebuah ruangan di paling belakang. Ruangan yang terletak di ruang terbuka. Jujur saja, suasana di kerajaan ini jauh lebih nyaman. Tapi, sayang banyak hal yang membuat kerajaan ini berada di ambang batas kejayaan. Mungkin, karena hal itu yang membuat mereka ingin mengambil alih kerajaan yang berada di tangan Raja Purnama.
“Wijaya,” kata Raja Purnama sembari mengajaknya untuk duduk di sebelahnya. “Dia bernama Wijaya. Laki-laki yang saya percaya untuk menjadi orang ketiga. Wijaya, saya mohon agar kamu bersikap netral untuk saat ini,” kata Raja Purnama menatap matanya dengan tajam.
“Purnama, kamu curang.”
“Mohon maaf, ini mulai saja belum, sudah harus berdebat?” kata Wijaya yang merasa kesal dengan kondisi saat ini. Dijadikan penengah antara kedua orang yang memiliki permasalahan cukup rumit. Bahkan hal sepele saja dijadikan suatu masalah besar. “Biar saya saja yang membuka jalur damai ini.”
Wijaya mengambil napas. Kemudian, membuangnya lagi. Beberapa kali berusaha untuk menetralkan hatinya. Jujur saja, Wijaya merasa tidak sanggup dan tidak pantas berada di tempat ini. Turut menangani masalah yang Wijaya sendiri tidak paham degan titik konfliknya.
“Sebelumnya, saya mau tanya, sebenarnya apa yang Anda harapkan dari kerajaan kami?” tanya Wijaya menatap dengan santai ke arah lawannya.
“Wilayah,” singkatnya.
“Memang ada apa dengan wilayah kami? Sehingga Anda terobsesi untuk mengambil alih dari tangan kami?” Wijaya tidak akan berhenti sampai merasa mendapatkan titik masalah yang terjadi selama ini. “Lalu, apakah Anda juga yang mengadu domba masyarakat?”
“Saya menginginkan wilayah yang memiliki banyak sumber daya. Dari segi alam, makhluk hidup, dan lainnya.”
“Hanya karena itu, Anda membuat ricuh di tempat kami? Bukankah Tuhan juga memberikan sumber daya itu? Lantas, masih saja kurang?”
“Semua yang ada di sini, masih kurang. Sebab, masih ada banyak hal yang bisa dinikmati di kerajaan yang saat ini masih ada di tangan Purnama.” Raja dari kerajaan yang menjadi musuh terbesar itu pun berdiri dengan angkuhnya. Tangannya berusaha untuk meraih tubuh Wijaya yang tengah duduk dengan sopan di tempatnya.
“Maaf, di sini kita sedang menjalani jalur damai. Kalau Anda bersikap seperti ini, artinya memang Anda yang selalu menjadi biang masalah.” Wijaya menyender pada punggung kursi. “Kalau Anda mengatakan kurang, artinya memang Anda ini angkuh, sombong, dan selalu merasa tidak puas. Kerajaan yang Anda kuasai saat ini sebenarnya tempat yang strategis. Air sungai mengalir deras dan jernih, alam yang hijau, dan pertambangan yang cukup bagus, tapi sayangnya hanya satu, memiliki pemimpin yang tidak bisa berpikir dengan baik. Tidak bisa mencari terobosan baru agar wilayahnya bisa maju.”
“Sebenarnya, Anda ingin menjadi penengah atau menjadi seseorang yang ditugaskan sebagai pengganti raja untuk menyerang saya?” jawabnya dengan tertawa. Matanya dengan tatapan mengejek ke arah Raja Purnama.
“Silakan Anda mengejek saya. Tapi, saya bangga memiliki salah satu warga yang berpikiran maju. Artinya, dia pemuda yang istimewa. Pemuda yang bisa membawa nama baik kerajaan, kelak. Memang, Anda yang hanya memiliki anak buah untuk menyerang kerajaan lain?” jawab Raja Purnama tak kalah sadis menatap pria yang ada di depannya.
“CUKUP!” teriak Wijaya berdiri. Berusaha untuk menghalangi kedua pria itu agar tidak melanjutkan perseteruan itu. “Bagaimana jika kalian berhenti untuk melakukan penyerangan. Alangkah baiknya, kita saling bekerja sama dalam memaksimalkan sumber daya yang ada agar dunia ini semakin maju.” Wijaya kembali duduk di tempatnya.
“Maksud kamu?” tanya kedua raja itu secara bersamaan.
Wijaya masih terdiam. Tangan kanannya digunakan sebagai pangkuan dagunya. Matanya terpejam beberapa saat. Dia memang sengaja melakukan hal itu. Tujuannya, agar kedua raja itu saling berkomunikasi. Sehingga, bisa mengalihkan pembicaraan yang mulai memanas.
“Maksud dari anak tanganmu apa?” tanyanya dengan suara yang jauh lebih pelan. Walaupun, tatapannya masih enggan untuk ke arah Raja Purnama.
“Tanyakan saja,” jawabnya singkat.
Wijaya masih saja sengaja untuk memejamkan mata. Dua detik kemudian, dia membuka mata sembari tertawa tipis. Akhirnya, kedua raja itu saling bicara dengan nada yang jauh lebih mengenakkan hati. “Maksud saya ... lakukan perubahan dalam mengelola sumber daya,” jawab Wijaya.
“Bisa dijelaskan?”