Selamat Malam Tuk Yang Tersayang

1061 Kata
Wijaya terbangun dari tidurnya. Hari ini, dia telah membuat sebuah agenda untuk berselancar di internet. Mencari tahu banyak hal tentang sejarah yang akan dijadikan bahan penelitiannya. Hari ini, jadwal kuliahnya dibatalkan oleh dosen karena suatu alasan. Jadi, semenjak bangun, Wijaya telah siap duduk di kursi depan meja belajarnya. Membuka laptop lalu memulai membuka internet. Krek! Wijaya menghadap ke arah pintu. Ternyata, seorang perempuan paruh baya yang tengah membawa nampan berisi sepiring nasi goreng dan air putih. Wijaya menatap perempuan itu dengan wajah yang masih tidak enak untuk dilihat. Wajah yang masih dipenuhi peluh sisa tidur semalam. Perempuan paruh baya yang tengah mengenakan kaos berwarna biru muda berlengan panjang pun merasa geram dengannya. “Wijaya, bisa enggak, sih, kalau pagi itu bangun langsung cuci muka,” katanya meletakkan nampan itu ke meja. Lebih tepatnya, sebelah kanan siku lengan Wijaya. “Iya, Ma, nanti gampang, lah. Sudah mending keluar sekarang, lagi sibuk,” katanya dengan wajah yang tak suka dengan wanita itu. “Dasar anak durhaka!” teriaknya lalu membanting pintu. Wijaya mengelus d**a lalu menjambak rambutnya beberapa kali. Merasa bersalah karena berucap tidak sopan pada ibunya. Tapi, dia juga merasa kesal dengan sosok wanita yang telah membuatnya kehilangan figur laki-laki sebagai ayahnya. Wijaya hanya menatap nampan yang ada di meja dengan lirikan tak suka. Lalu, kembali fokus menatap laptop. Membaca lagi beberapa materi yang ia dapatkan. Sebuah materi tentang sebuah kerajaan. Sebuah sejarah dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang berasal dari daerah Sumatra. Kerajaan yang didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanangsa. Kerajaan yang memiliki arti agar kerajaan ini bisa mendapatkan kejayaan yang penuh gemilang. Setidaknya, satu poin yang Wijaya temukan pada satu website yang dibacanya. Masih banyak informasi yang perlu dikupas lagi olehnya. “Wijaya, tolong bantu, sebentar?” tanya Ratih—ibunya. “Mau apa lagi, sih. Gue lagi sibuk,” jawab Wijaya tanpa menatap ibunya. “Tolong belikan Mama obat, ya,” katanya dengan lirih, “tiba-tiba kepala rasanya mau pecah. Pusing banget,” sambungnya sembari bersandar pada pintu kamar Wijaya. “Ribet, sih. Beli sendiri bisa, kan?” jawab Wijaya mengambil jaket dan kunci motor. Tanpa mematikan laptopnya, Wijaya meninggalkan kamarnya. Melakukan motor ke arah yang sesuai dengan kata hatinya. Ratih melangkah ke arah meja. Mematikan laptop anaknya. Dia takut jika tidak segera dimatikan, akan membuat laptopnya rusak. Setelah itu keluar. Menutup pintu. Melangkahkan kaki untuk duduk di sofa ruang tamu. Menunggu kehadiran Wijaya yang membawakan obat untuknya. Padahal, dia sendiri tidak tahu ke mana perginya Wijaya. Kini, Wijaya tengah masuk ke dalam apotek. Meminta obat panas kepada pelayan. Membeli dua paket obat yang sesuai dengan anjurannya. Setelah itu, mengendarai motornya ke arah rumah. Tapi, secara tiba-tiba Aura menghentikan motornya. Terpaksa, dia harus berhenti dan melayani gadis yang tergila-gila padanya. “Kenapa?” tanya Wijaya. “Jaya, antar Aura ke kampus sebentar, ya,” jawabnya dengan bibir yang terukir senyuman manis. “Oke.” Ban motor itu melaju ke arah kampus. Sebuah instansi pendidikan yang ia gunakan untuk mencari ilmu. Tapi, kali ini dia hanya sedang mengantarkan seorang gadis. Gadis satu kelas dengan Wijaya. Walaupun, Aura begitu cantik, tapi tidak membuat Wijaya terpikat sekali pun. “Sudah, kan?” tanya Wijaya. Aura mengangguk dengan kedua tangan terlipat di belakang. Tanpa basa-basi, Wijaya melajukan motornya kembali. Mengendarainya ke arah rumah. Bagaimanapun, Ratih tetap ibunya yang perlu bantuan darinya. “Ini, obatnya,” kata Wijaya menaruh kantong plastik putih ke meja. Kemudian, meninggalkan Ratih ke dapur. Melepas jaket lalu duduk di kursi. Membuka tudung meja, tapi tidak ada makanan yang tersaji. Wijaya beranjak ke meja dapur. Membuat sebuah racikan bumbu. Dia ingin memasak sosis dan bakso dicampur sayur sawi. Dia yakin, ibunya belum masak, pagi tadi. Dia hanya membuat nasi goreng satu porsi untuk Wijaya, tapi tidak dihargai. Beberapa menit kemudian, masakan telah selesai. Wijaya mengambil satu porsi ke dalam piring. Memberikan makanan itu kepada Ratih yang masih duduk di ruang tamu. Tanpa berkata apa pun, Wijaya meletakkan piring ke meja. Kemudian, meninggalkannya ke kamar. Masuk ke kamar dengan perasaan yang tidak karuan. Antara sedih melihat ibunya kesakitan dan berbuat tega dengannya. Wijaya menggeleng lalu duduk di tepi ranjang. Membuka ponselnya untuk membaca informasi. Tapi, tidak ada pesan apa pun yang masuk, termasuk informasi mengenai kuliahnya. Selama satu jam dia berkutik dengan ponsel, sampai melupakan pekerjaan riset. Tersadar akan satu notifikasi. Adanya sebuah pesan yang menanyakan riset kepadanya. Sejak itu, Wijaya beranjak dengan meninggalkan ponsel di atas kasurnya. Duduk di depan mejanya. Menatap laptop dengan posisi berbeda. Buru-buru membukanya lalu menghidupkannya. Benar, informasi yang sudah dicari menghilang. Padahal, dia belum sempat menyimpannya. Berlari menemui Ratih yang sedang duduk menikmati makanannya. “Jaya, terima kasih, ya, masakannya enak,” katanya. “Kenapa, sih, bisanya merepotkan mulu! Kamu apain laptopnya? Jadi hilang semua informasi yang sudah dikumpulkan,” kata Wijaya lalu kembali ke kamarnya. Beberapa waktu kemudian, tepatnya sekitar pukul delapan malam. Wijaya terlelap di depan meja belajarnya. Tertidur dengan posisi terduduk. Terlihat penat yang belum hilang dari dahi dan wajahnya yang sedikit berkerut. “Jaya, maafkan Mama,” kata Ratih mengambil selimut. Membuka lipatan selimut milik Wijaya lalu menyelimuti tubuh yang sedang dilanda dinginnya udara malam. Kemudian, mengecup singkat dahi anaknya yang lama dirindukan. Tahukah, sebuah rindu yang sangat menyesakkan? Ya, seorang ibu yang merindukan sosok anaknya. Walaupun, setiap hari bertemu, tapi tak bertegur sapa. Itulah sebuah rasa rindu yang menyakiti hati dan d**a. “Selamat malam untuk kamu yang aku sayang,” kata Ratih sembari mengusap puncak kepala Wijaya dengan penuh kelembutan. “Selalu menjadi anak Mama yang baik, ya. Suatu saat, kamu akan mengerti tentang semua yang terjadi di keluarga kita,” sambungnya meninggalkan kamar. Malam yang begitu dingin itu membuat tubuh Ratih semakin menggigil. Seorang ibu yang sedang jatuh sakit itu, hanya ingin mendapatkan perhatian dari anaknya dengan penuh rasa tulus. Tapi, tidak mungkin akan terjadi. Air mata yang tidak disadari keberadaannya, telah menetes sampai ujung samudera. “Tuhan, berikan petunjukmu, tunjukkan siapa yang benar dan salah di hadapan putraku,” lirih Ratih sembari menatap langit melalui kaca jendela kamarnya. Tak terasa, kaca jendela itu berembun. Rupanya, di luar pun ikut menangis. Langit yang begitu ia sukai ikut dirundung rasa sedih yang ada di dalam hati. Hujan gerimis malam itu menemani Ratih dengan setia sampai tertidur di lantai dengan duduk bersandar dinginnya kaca. Tapi, tidak lama kemudian, Ratih tersadar dengan adanya rasa dingin yang membuat tubuhnya semakin meriang. Ratih beranjak untuk merebahkan diri di ranjang melanjutkan mimpi yang sudah berjalan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN